Warga Gaza bertahan hidup dengan segala macam cara. Namun, dunia seakan menutup mata pada penderitaan mereka.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Kota Gaza berada di tepi jurang kehancurannya. Pasukan Israel telah mengepung setiap sudut kota dari darat, laut dan udara. Pada Jumat (20/10/2023) pagi, pasukan darat Israel dikabarkan tengah bersiap untuk ”membumihanguskan” Gaza. Israel mengulangi ancamannya setelah memberikan ultimatum sepekan lalu kepada warga Gaza untuk meninggalkan rumah mereka.
Setidaknya 1 juta warga di Gaza utara telah mengungsi ke wilayah selatan. Mereka kini terjebak, tanpa jalan ke luar, tanpa jaminan keamanan sama sekali. Serangan Israel tak berhenti, termasuk ke wilayah yang disebut-sebut sebagai zona aman.
Hasil pembicaraan beberapa negara menyebut bahwa Mesir bersedia membuka gerbang perbatasannya dengan Jalur Gaza untuk mengirim bantuan kemanusiaan. Hanya 20 truk per hari yang diizinkan masuk. Akan tetapi, mengutip Al Jazeera, Jumat, bantuan itu belum tersalurkan.
Bantuan makanan, obat-obatan, alat pemurni air, hingga selimut masih menumpuk di dekat gerbang perbatasan Rafah. Ada keraguan pintu perbatasan akan dibuka sesuai rencana karena serangan terus terjadi.
Sehari sebelumnya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) kembali gagal melaksanakan fungsinya, yakni membantu menurunkan ketegangan dan memungkinkan dibukanya koridor kemanusiaan di Gaza. Draf resolusi DK PBB yang disusun Brasil selaku Presiden DK PBB gagal disepakati setelah diveto Amerika Serikat.
Alasan AS, seperti disampaikan Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, Presiden Joe Biden tengah mengupayakan jalur diplomatik untuk membuka gerbang Rafah. ”Kita harus membiarkan diplomasi itu berjalan,” ujarnya.
Nyatanya, sampai saat ini bantuan masih macet. Situasi itu membuat kehidupan warga Gaza semakin sulit.
Azmi Keshawi (59) meninggalkan Gaza utara setelah ultimatum Israel keluar. Kini dia berlindung di Khan Younis, Gaza selatan, bersama istri, empat anaknya, dan cucunya. Mereka bertahan hidup dengan segala cara.
Sudah berhari-hari Keshawi sekeluarga tidak mandi, terutama sejak Israel memutus pasokan air dan bahan bakar ke Gaza. Untuk minum, mereka mendapatkan pasokan dari sekolah yang dikelola PBB. Setiap keluarga mendapatkan satu jeriken air dari alat pemurni air yang bersumber dari bawah tanah Gaza.
Akan tetapi, air itu rasanya asin. Untuk bisa diminum, air perlu disaring kembali dan direbus, terutama untuk cucunya yang masih kecil. Keshawi berharap tidak melihat air yang mereka gunakan. Cairan berwarna kuning itu tak jelas asalnya, diduga dari gerobak keledai penjualnya.
Ia memilih tidak memberi tahu keluarganya. ”Ini bukan waktunya untuk pilih-pilih. Kami tidak tahu apakah sesuatu akan tersedia besok,” katanya.
Keshawi punya uang untuk membeli makanan bagi keluarganya. Pekerjaannya sebagai peneliti di lembaga International Crisis Group membuatnya bisa hidup layak. Namun, dalam kondisi sekarang nyaris sulit mencari makanan untuk bertahan hidup karena hampir tidak ada yang bisa dibeli.
Seperti keluarga Palestina lainnya, anak-anak sering makan roti basi dan minum susu bubuk. Beberapa warga Palestina yang memiliki peternakan ayam dan kompor gas menjual hasil ternak mereka kepada warga lainnya. Mereka rela mengantre berjam-jam untuk mendapatkan sepiring nasi dan ayam.
Tak jarang, untuk mendapatkan roti, dia harus mengantre beberapa jam. Saking lamanya, antrean menjadi kacau. Tidak ada pilihan lain karena banyak toko roti hancur lebur dibom militer Israel. Sebagian lainnya tutup karena tidak mempunyai cukup air dan listrik. Pihak berwenang masih mengerjakan logistik untuk pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza dari Mesir.
Rumah tempat Keshawi mengungsi bersama keluarganya pun seadanya. Toilet di rumah hampir penuh dengan air seni. Air yang bisa mereka sisakan untuk mencuci piring kemudian mereka gunakan untuk membuang sampah ke toilet.
Malam hari adalah yang paling sulit. Ketika serangan udara terjadi di dekat para pengungsi dan ledakan terjadi di langit, orang-orang dewasa mengerahkan keberanian untuk menenangkan anak-anak. ”Ledakan!”, lalu mereka berteriak dan bersorak ketika bom bergemuruh. Bayi-bayi itu tertawa.
Anak-anak yang lebih besar ketakutan. Mereka menonton berita dan mengetahui serangan udara tersebut telah menghancurkan ribuan rumah dan menewaskan lebih dari 4.000 warga Palestina. Serangan itu bahkan berjarak hanya 1 kilometer dari rumah aman yang mereka tempati.
Keshawi memasang wajah berani. Namun, sering kali dia tidak bisa berhenti menangis. ”Ini benar-benar membunuh saya. Itu benar-benar menghancurkan hatiku,” tuturnya.
Yang membuatnya marah, seluruh dunia menyaksikan penderitaan rakyat Palestina, tetapi tak cukup banyak berbuat untuk menghentikan kekerasan Israel.
Kepala Badan Bantuan PBB untuk Palestina (UNWRA) Phillipe Lazzarini menyatakan, dunia telah kehilangan rasa kemanusiaannya. Dia menyebut, kekerasan bersenjata yang telah membunuh ribuan warga sipil tidak akan memberikan keamanan dan perdamaian di wilayah tersebut.
”Kita berada dalam situasi ketika lebih dari 1 juta orang diperintahkan mengungsi. Jadi, ini hukuman kolektif, dan hukuman kolektif melanggar hukum kemanusiaan internasional,” katanya.
Lazzarini meminta agar para pihak yang terlibat konflik menghormati hukum internasional. Dia mengatakan, krisis kemanusiaan sangat nyata terjadi di Gaza. Mereka kekurangan segalanya. ”Tidak ada air. Hanya ada empat toilet untuk 4.000 orang. Bencana di depan mata kita akan menjadi lebih buruk lagi,” kata Lazzarini.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis, mengatakan, truk-truk bantuan sudah siap diberangkatkan. Belum jelas kapan gerbang dibuka. ”Mudah-mudahan besok,” ujarnya. (AP)