logo Kompas.id
InternasionalTahun 2024, Tahun “Menakutkan”...
Iklan

Tahun 2024, Tahun “Menakutkan” Bagi Demokrasi

Tahun 2024 akan penuh drama dengan 64 negara yang akan pemilu, termasuk Indonesia. Ada kekhawatiran demokrasi akan terkikis melihat dinamika politik dunia belakangan ini.

Oleh
LUKI AULIA
· 7 menit baca
Mantan Presiden AS Donald Trump keluar panggung setelah berbicara pada rapat umum kaukus, pada 19 Desember 2023, di Waterloo, Iowa, AS.
AP/CHARLIE NEIBERGALL

Mantan Presiden AS Donald Trump keluar panggung setelah berbicara pada rapat umum kaukus, pada 19 Desember 2023, di Waterloo, Iowa, AS.

Tahun ini akan menjadi tahun paling heboh sekaligus mendebarkan. Akan ada 64 negara, termasuk Indonesia, menggelar pemilu nasional. Hasil pemilu tersebut dinilai akan memengaruhi tatanan global sekaligus menentukan nasib demokrasi di masa depan. Dari 64 negara itu, ada negara-negara yang terkuat dan terkaya seperti Amerika Serikat, India, dan Inggris.

Ada juga beberapa negara paling lemah seperti Sudan Selatan, negara paling lalim seperti Rusia dan Iran, serta negara-negara paling stres seperti Taiwan dan Ukraina. Beberapa pemilu akan berlangsung secara terbuka, bebas, dan adil. Tetapi ada juga yang tidak bahkan hasilnya sudah hampir bisa dipastikan, seperti misalnya Rusia, India, Ukraina, dan Korea Utara.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Baca juga: AS Kompak Berangus Trump dan Pendukungnya

Data 64 negara itu dihimpun majalah Time, 28 Desember 2023, dari data National Democrat Institute, International Foundation for Electoral Systems, Anchor Change, dan lain-lain. Ke-64 negara yang mewakili hampir setengah populasi dunia itu antara lain India, Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Rusia, Meksiko, Iran, Inggris, Afrika Selatan, Korea Selatan, Aljazair, Ukraina, Uzbekistan, Ghana, Mozambik, Madagaskar, Venezuela, Korea Utara, Taiwan, Suriah, Mali, Sri Lanka, Romania, Chad, Senegal, Kamboja, Rwanda, Tunisia, Belgia, Dominika, Jordania, Sudan Selatan, Czech, Azerbaijan, Portugal, Belarusia, Togo, Austria, El Savador, Slovakia, Finlandia, Mauritania, Panama, Kroasia, Georgia, Mongolia, Uruguay, Moldova, Lithuania, Botswana, Namibia, Guinea Bissau, Macedonia Utara, Mauritius, Komoro, Bhutan, Kepulauan Solomon, Maladewa, Islandia, Kiribati, San Marino, Palau, dan Tuvalu.

https://cdn-assetd.kompas.id/Z2amL-wOg_J7LTJl8NQ0GWPnI80=/1024x683/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F02%2F1ab56adc-e373-4e63-baa5-447bc94f9d9e_jpg.jpg

Arsip-Dalam arsip file foto 6 Januari 2021 ini terlihat para pendukung Pesiden AS Donald Trump berbuat rusuh di Gedung Capitol di Washington, AS.

Pemilu di beberapa negara yang akan menjadi sorotan karena terkait dengan arah demokrasi di masa depan dan dampaknya pada dunia. Salah satu yang bakal paling disorot adalah pemilu di AS, November mendatang. Presiden AS ke-45, Donald Trump akan kembali mencalonkan diri dan disebut-sebut berpotensi besar akan terpilih kembali. Majalah The Economist pernah menyebutkan jika Trump terpilih lagi, akan menjadi “ancaman besar bagi dunia”.

Baca juga: Trump Berpotensi Memenangi Tarung Ulang atas Biden

Pemilu di Rusia juga akan disorot terkait dengan kelanjutan perang di Ukraina. Pemilihan parlemen di UE juga akan menentukan penanganan isu-isu penting seperti migrasi, terutama dengan bangkitnya kelompok populisme sayap kanan.

Peneliti di Pusat Studi Strategis dan Pertahanan Australia National University Matthew Sussex kepada media Australia SBS, mengkhawatirkan kekuatan anti-demokrasi di Eropa yang akan terpacu jika Trump menang. Kemenangan Trump, kata peneliti isu internasional dan keamanan di lembaga kajian The Australia Institut Emma Shortis, juga berarti AS akan kembali menutup dirinya dari dunia karena Trump menggelorakan lagi semangat “Make Amerika Great Again”. AS bisa jadi akan menarik diri dari Pakta Pertahanan Altantik Utara (NATO), menutup perbatasan dengan Meksiko, dan menghentikan bantuan uang untuk negara lain, termasuk Ukraina.

Diktator

Kekhawatiran lain juga datang dari Rusia dengan Presiden Vladimir Putin yang hendak memperpanjang kekuasaannya enam tahun lagi melalui pemilu Maret mendatang. Sussex yakin Putin akan terpilih lagi karena hanya Putin yang mampu menyatukan klan Kremlin yang berbeda. Putin berharap akan bisa memperpanjang kekuasaannya hingga 24 tahun.

Arsip - Presiden AS Donald Trump bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin saat KTT G-20 di Hamburg, Jerman, pada 7 Juli 2017.
AP/EVAN VUCCI

Arsip - Presiden AS Donald Trump bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin saat KTT G-20 di Hamburg, Jerman, pada 7 Juli 2017.

Pada tahun 2020, Putin mengubah konstitusi sehingga secara teoritis dia bisa tetap berkuasa hingga 2036 dan ini artinya Putin akan bisa berkuasa lebih lama daripada Joseph Stalin, diktator Uni Soviet (1929-1953). Karena perang di Ukraina dimanfaatkan sebagai isu untuk membungkam siapa saja yang berbeda pendapat atau menentangnya, kecil kemungkinan ada yang akan menghalangi jalan Putin. Jika Putin berkuasa lagi berarti Rusia tidak akan menghormati hukum dan norma internasional. “Putin tidak akan segan-segan menggunakan cara-cara seperti sabotase untuk mencapai tujuannya,” kata Sussex.

Baca juga: Putin Akan Pakai Senjata Nuklir jika Keamanan Rusia Terancam

Iklan

Majalah The Economist, 16 November 2023, menyebutkan terpilihnya Trump akan mendorong Putin terus menyerang Ukraina dan menyingkirkan negara-negara bekas Soviet seperti Moldova atau negara-negara Baltik. Ini karena menurut Trump, AS sudah menghabiskan terlalu banyak uang untuk Eropa. Israel juga bisa jadi semakin tidak terkendali karena Trump akan memberikan dukungan tanpa syarat kepada Israel.

Tanpa tekanan dari AS, Israel tidak akan mau menyepakati konsensus internal untuk perundingan perdamaian dengan Palestina. Di Asia, China yang akan senang kalau Trump menang karena Trump kemungkinan akan meninggalkan Taiwan karena Trump tidak paham alasan AS harus berperang dengan China hanya untuk membela Taiwan.

Dalam foto yang dirilis Kantor Kepresidenan Taiwan ini terlihat Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (tengah) menyampaikan pidato Tahun Baru di samping Wakil Presiden William Lai (kiri) di atas panggung di Taipei, Taiwan, Senin (1/1/2024).
AP/TAIWAN PRESIDENTIAL OFFICE

Dalam foto yang dirilis Kantor Kepresidenan Taiwan ini terlihat Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (tengah) menyampaikan pidato Tahun Baru di samping Wakil Presiden William Lai (kiri) di atas panggung di Taipei, Taiwan, Senin (1/1/2024).

Taiwan akan menggelar pemilihan presiden dan parlemen, 13 Januari mendatang. Hasilnya dapat menentukan cara Presiden China Xi Jinping mengambil alih Taiwan yang masih dianggap sebagai bagian dari China. China tidak menyukai calon presiden Taiwan Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik karena dianggap separatis dan Xi dikabarkan sudah meminta militer untuk ancang-ancang menyerang Taiwan pada 2027.

Baca juga: Taiwan, Si Kecil-kecil Cabe Rawit

Harian The Guardian, 18 Desember 2023, menyebutkan jika Partai Progresif Demokratik yang pro-kemerdekaan Taiwan menang lagi, China akan marah dan bisa bertindak lebih agresif. Berbeda jika misalnya partai oposisi Kuomintang yang menang karena Kuomintang dianggap lebih ramah kepada China. Seperti Taiwan di masa kepemimpinan Presiden Ma Ying-jeou (2008-2016).

Populisme

Pemilu lain yang masuk kategori “mengkhawatirkan” adalah di India, negara demokrasi dengan populasi terbesar di dunia. Perdana Menteri Narendra Modi dan partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata, mengincar masa jabatan ketiga pada pemilu April dan Mei mendatang. Modi yang mendorong agenda nasionalis Hindu itu dinilai melemahkan institusi demokrasi yang dibangun sejak kemerdekaan India pada 1947. Selama berkuasa, gaya kepemimpinan Modi yang tanpa kompromi menguntungkan investor asing tetapi menoreh banyak pelanggaran HAM, terutama terhadap kelompok minoritas Muslim.

Seorang polisi (kiri) mengambil patung Perdana Menteri India Narendra Modi dari pengunjuk rasa saat unjuk rasa para pemimpin aliansi oposisi INDIA menentang penangguhan lebih dari 140 anggota parlemen dari parlemen, di New Delhi, India, pada 22 Desember 2023.
AP/ALTAF QADRI

Seorang polisi (kiri) mengambil patung Perdana Menteri India Narendra Modi dari pengunjuk rasa saat unjuk rasa para pemimpin aliansi oposisi INDIA menentang penangguhan lebih dari 140 anggota parlemen dari parlemen, di New Delhi, India, pada 22 Desember 2023.

Pemerintahan Modi dinilai otokratis dan ini tercermin dari pembatasan jurnalisme independen dan tindakan keras dan brutal tentara di wilayah Kashmir. Jika Modi menang lagi, isu ekonomi akan tetap menjadi fokus utama dan penegakan HAM dikesampingkan. Meski kerap menindas kebebasan sipil, Modi diyakini akan tetap menjadi pilihan favorit. Apalagi setelah berhasil meningkatkan posisi India di panggung dunia dengan keberhasilan program ruang angkasanya.

Baca juga: Demokrasi Perancis Hadapi Rasialisme Sistemik dan Gelombang Kerusuhan

Pemilihan Parlemen Eropa, Juni mendatang, juga berisiko tinggi karena partai-partai sayap kanan akan dominan. Ini akan berdampak pada sikap kebijakan Uni Eropa terhadap isu-isu krusial seperti imigrasi, perubahan iklim, dan perluasan keanggotaan UE. Jika partai-partai sayap kanan yang nasionalis-populis menang dikhawatirkan sentimen anti-migran dan xenofobia akan meluas.

“Lansekap politik di Eropa akan berubah. Kelompok sayap kanan bisa sukses di pemilihan parlemen Eropa. Ini bisa jadi indikasi posisi kelompok sayap kanan di negara-negara Eropa,” kata Shortis.

Polisi menangkap pengunjuk rasa kelompok aktivis iklim Just Stop Oil di luar Downing Street di London, pada 23 November 2023. Inggris adalah salah satu negara demokrasi tertua di dunia, tetapi beberapa pihak khawatir hak-hak dan kebebasan penting kini terancam karena pembatasan protes yang diberlakukan pemerintah konservatif.
AP/FRANK AUGSTEIN

Polisi menangkap pengunjuk rasa kelompok aktivis iklim Just Stop Oil di luar Downing Street di London, pada 23 November 2023. Inggris adalah salah satu negara demokrasi tertua di dunia, tetapi beberapa pihak khawatir hak-hak dan kebebasan penting kini terancam karena pembatasan protes yang diberlakukan pemerintah konservatif.

Guru Besar Hubungan Internasional di the University of Melbourne, Australia, Andrew Walter, menilai populisme berkembang di Eropa dan ini sudah terlihat dari kemenangan Partai Kebebasan PVV yang anti-Islam dan anti-UE pimpinan Geert Wilder di Belanda, November lalu. Bukti lain, kemenangan partai sayap kanan Italia, Brothers of Italy pimpinan Giorgina Meloni, tahun lalu. Meski demikian, tetap ada secercah harapan dari Polandia setelah mantan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk berkuasa dengan platform yang sangat pro-UE.

Baca juga: Demokrasi Terberangus di Rumah Magna Charta

Lembaga pengawas independen di AS, Freedom House, dalam laporannya tahun ini menyimpulkan kebebasan global menurun selama 17 tahun berturut-turut. Faktor penyebabnya antara lain korupsi dan kekuasaan otoriter seperti di China, Rusia, Iran, dan Venezuela. Aktivis HAM dan pendiri lembaga kajian Justitia, Jacob Jomo Danstrøm Mchangama, dalam majalah Foreign Policy, menulis prinsip kebebasan berpendapat yang penting bagi berfungsinya demokrasi secara penuh juga diserang.

“Bahkan negara-negara demokrasi terbuka menerapkan langkah-langkah pembatasan untuk memerangi berbagai ancaman termasuk ujaran kebencian, disinformasi, ekstremisme, dan gangguan publik,” tulis Mchangama yang menyinggung soal peningkatan peraturan daring UE dan pembatasan protes pro-Palestina.

Berbagai survei atau jajak pendapat menunjukkan ketidakpuasan terhadap cara kerja demokrasi, terutama di AS dan Eropa yang justru menjadi tempat lahirnya demokrasi. Seperti jajak pendapat Ipsos KnowledgePanel yang dilakukan di AS, Inggris, Perancis, Italia, Swedia, Polandia, dan Kroasia dan dipublikasikan 12 Desember lalu. Hasilnya menunjukkan, responden di tujuh negara itu menilai sistem demokrasi saat ini hanya berpihak pada kelompok kaya dan berkuasa.

Sekitar 7 dari 10 orang AS menilai situasi demokrasi menurun dalam beberapa tahun terakhir dan 73 persen responden di Perancis juga setuju. Lebih dari 6 dari 10 orang di Inggris juga menilai demokrasi berjalan kurang baik dibandingkan lima tahun lalu. Responden di semua negara yang disurvei -kecuali Kroasia- menilai perlu ada perubahan yang radikal. (REUTERS/AFP)

Editor:
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000