Sulit Sekali Menghitung Korban Perang Gaza yang Lebih Buruk dari Perang Dunia II
Serangan Israel ke Gaza menghancurkan lebih banyak bangunan dan membunuh lebih banyak orang dibandingkan serangan Sekutu ke Jerman atau Irak.
Setelah hampir tiga bulan perang, Israel tidak kunjung mencapai tujuan menyerbu Gaza. Serangan yang lebih buruk dari berbagai pengeboman Sekutu itu hanya menghasilkan kehancuran.
Berbagai pihak, antara lain lewat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, berusaha menghentikan perang itu. Sayangnya, Amerika Serikat dan Israel terus menolak dorongan gencatan senjata.
Agenda pemungutan suara DK PBB soal resolusi mengenai gencatan senjata di Gaza kembali dibatalkan pada Kamis (21/12/2023) sore waktu New York, AS, atau Jumat pagi WIB. Agenda itu sudah dibatalkan empat hari berturut-turut.
Sebab, AS berkeras tidak mau ada gencatan senjata di Gaza. AS beralasan, gencatan senjata sekarang hanya akan memberi Hamas waktu menyusun ulang kekuatannya.
Baca Juga : Tidak Ada Kabar Baik dari Palestina
Tidak hanya menolak gencatan senjata, AS juga terus mengirimkan persenjataan bagi Israel untuk menyerbu Gaza. Sejumlah peneliti yang diwawancara Associated Press menyimpulkan setidaknya ada tiga jenis amunisi AS yang dipakai Israel untuk melumat Gaza.
Gaza salah satu penghukuman kolektif paling parah dalam sejarah. Gaza kini berada di puncak daftar kehancuran akibat pengeboman.
Israel, antara lain, memakai amunisi berpemandu ganda atau JADM. Sebagian amunisi dipasangi peledak hampir satu ton. ”Bom itu menghancurkan daratan. Melumat seluruh bangunan,” kata penyelidik kejahatan perang di PBB yang juga mantan pejabat Departemen Pertahanan AS, Marc Garlasco.
Siapa pun yang berada dalam radius 30 meter dari pusat ledakan bom berpeledak sebanyak 1.000 kilogram itu dipastikan mati seketika. Sementara orang yang berada 350 meter dari pusat ledakan itu bisa terkena serpihan penyebab cedera serius.
Selain JADM, AS juga diduga memasok amunisi berketepatan tinggi yang dikenal sebagai SPICE. Seperti JADM, SPICE bisa dipasang pada amunisi berpeledak hampir satu ton. Bom itu diproduksi bersama AS-Israel.
Israel juga melepaskan bom-bom tanpa pemandu atau kerap disebut bom bodoh. Banyak foto menunjukkan jet-jet Israel melepaskan bom jenis itu ke berbagai lokasi di Gaza.
Dampak serangan
Dalam hampir tiga bulan perang, Israel ditaksir paling sedikit melancarkan 22.000 serangan udara ke Gaza. Skala pengeboman Gaza 2023 mengalahkan pengeboman AS ke Jerman pada Perang Dunia II.
Baca juga Australia Tak Mau Kirim Kapal Perang dalam Operasi Pengamanan Laut Merah
Pakar sejarah militer AS, Robert Pape, menyebutkan, AS menyerang 51 kota di Jerman dalam tiga tahun PD II. Akibatnya, 45 persen wilayah kota-kota itu hancur. Kerusakan itu setara 10 persen dari seluruh bangunan di Jerman kala itu.
Sementara pada 2017, AS menyerbu Irak dengan dalih memburu Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Akibat serangan itu, 10.000 warga sipil Irak tewas.
Sementara di Gaza tahun 2023, setidaknya 15.000 perempuan, anak-anak, dan warga lansia tewas dan hampir seluruh bangunannya hancur. Semua terjadi dalam 2,5 bulan saja. ”Gaza salah satu penghukuman kolektif paling parah dalam sejarah. Gaza kini berada di puncak daftar kehancuran akibat pengeboman,” kata Pape.
Kepala Forum Kajian Palestina pada Moshe Dayan Center for Middle Eastern and African Studies Michael Milstein menyebut bahwa sejauh ini perang hanya menghasilkan kehancuran Gaza. ”Walakin, Israel masih jauh dari menghancurkan Hamas. Mayoritas perjuangannya masih hidup, punya roket,” katanya kepada media Israel, The Jerusalem Post.
Padahal, berulang kali pemerintah Israel menekankan tujuan serbuan Gaza untuk memusnahkan Hamas. Israel menekankan, perang akan berlanjut sampai Hamas dikalahkan.
Milstein mengatakan, penghancuran berbagai bangunan pemerintahan di Gaza tidak berguna untuk mengalahkan Hamas. Sebab, Hamas tidak membutuhkan bangunan-bangunan itu untuk meneruskan perlawanan terhadap Israel. ”Bagi Hamas, perlawanan paling penting,” katanya.
Menghitung korban
Presiden AS Joe Biden pernah menyatakan keraguan pada jumlah korban tewas di Gaza. Menurut dia, jumlah korban tewas Palestina tidak bisa dipercaya.
Baca juga: Korban Tewas di Gaza Tembus 20.000 Jiwa, Gencatan Senjata Masih Alot
Padahal, Israel pun menaksir ada ribuan orang tewas di Gaza. Sebagian ditemukan tewas di antara bangunan. Sebagian lagi dikhawatirkan masih terkubur di bawah puing bangunan yang hancur akibat serangan Israel. Sebagian tewas dengan tubuh masih utuh, sebagian lagi tidak.
Para pekerja di kamar mayat bisa mendeteksi korban yang jenazahnya utuh. Di Rumah Sakit Nasser, petugas akan mengidentifikasi korban utuh dan mengonfirmasinya ke keluarga. Data itu dimasukkan ke Kementerian Kesehatan Palestina. Sementara potongan tubuh atau jenazah yang tidak utuh harus disimpan di lemari pendingin.
Juru bicara cabang Kemenkes di Gaza, dr Ashraf Al-Qidra, rutin mengumumkan jumlah korban. Kadang, ia mengungkap identitas para korban. Semua dilakukan sampai akhir November 2023.
Mulai Desember 2023, Kemenkes mengumumkan kesulitan mengumpulkan data dari sisi utara Gaza. Komunikasi ke sana terganggu, rumah sakit pun banyak berhenti beroperasi karena dihancurkan Israel.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penghentian operasi berbagai RS jadi alasan jumlah korban asli lebih rendah dari yang diumumkan Kemenkes. WHO menduga, sebagian korban tidak dihitung karena masih tertimbun atau tidak dibawa ke rumah sakit.
Baca Juga : AS Veto Gencatan Senjata di Gaza dan Jatuhkan Sanksi untuk Negara Lain
Demi memastikan keakuratan data, akademisi, advokat, dan relawan di Eropa, AS, dan India bekerja menganalisis data dari Kementerian Kesehatan Gaza per 26 Oktober 2023 itu. Mereka bermaksud merinci dan menentukan jumlah korban sipil. Sejumlah peneliti lain menyisir media sosial dan menyimpan unggahan untuk dianalisis.
Salah satu peneliti yang terlibat adalah Airwars, organisasi nirlaba yang berbasis di London dan berafiliasi dengan Departemen Media dan Komunikasi di Goldsmith, Universitas London. Direktur Airways, Emily Tripp, menyatakan, sebanyak 20 sukarelawan ikut bekerja pada proyek itu untuk mengumpulkan catatan rinci korban jiwa. Sejauh ini, Airwars sudah mengidentifikasi 900-an warga sipil yang tewas.
Kesulitannya, menurut Tripp, antara lain, warga sipil terpaksa berpindah terus. Akibatnya, sulit mencari tetangga atau kerabat yang bisa mengidentifikasi mereka.
Sementara studi dari Jurnal Kesehatan Lancet mendapati kesimpulan ada korelasi antara orang yang terbunuh dengan usia. ”Data yang disajikan jauh dari fabrikasi. Meskipun tidak ada data yang 100 persen sempurna, data Palestina berkualitas,” ujar Zeina Jamaluddine, mahasiswa S-3 kedokteran pada Fakultas Kesehatan dan Pengobatan Tropis London yang turut menulis dalam Jurnal Lancet.
Selain data kematian, Kemenkes di Gaza juga mengumumkan lebih dari 52.500 orang terluka dalam perang. WHO menunjukkan meningkatnya risiko penyakit karena kurangnya air bersih, makanan, dan perawatan medis.
Baca Juga : Mendambakan Solusi bagi Israel - Palestina
Profesor Sejarah Arab Modern pada Universitas Rice di Texas, Abdel Razzaq Takriti, menyatakan, meskipun konflik dan pengungsian merupakan bagian dari sejarah, ”demi masa kini, masa depan, dan masa lalu kita perlu memiliki penafsiran angka yang akurat”. (Reuters/AP)