Larang Logam Tanah Jarang, China Tambah Ancaman pada Industri Teknologi Tinggi
Hingga 60 persen penambangan LTJ global dikendalikan China. Beijing juga mengendalikan 90 persen pengelolan dan pemurnian LTJ. China sulit disaingi pada sektor itu.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
BEIJING, JUMAT — Beijing menambah ancaman pada kelangsungan industri teknologi tinggi di sejumlah negara. Ancaman terbaru berupa larangan ekspor teknologi penambangan dan pengolahan logam tanah jarang (LTJ).
Dilaporkan The Financial Times dan Reuters pada Jumat (22/12/2023), larangan itu diumumkan Kementerian Perdagangan China. Walakin, Beijing tidak memaparkan lebih lanjut soal larangan itu.
Hal yang jelas, larangan itu diumumkan beberapa bulan setelah Beijing mengetatkan ekspor sejumlah LTJ. Beijing menetapkan izin ekspor lebih ketat bagi galium, germanium, dan grafit. Mineral-mineral yang tergolong LTJ itu penting dalam pembuatan aneka produk teknologi tinggi.
China memakai alasan keamanan nasional dalam pengetatan izin ekspor tiga jenis LTJ itu. Sementara untuk pembatasan ekspor teknologi penambangan dan pengolahan, China belum mengungkap alasan apa pun.
Hal yang jelas, pembatasan ekspor diungkap beberapa pekan setelah delegasi China bertemu Uni Eropa. Dalam pertemuan itu, China, antara lain, meminta UE mengekspor aneka mesin pembuat semikonduktor. UE menolak permintaan itu.
Banyak fungsi
Aneka LTJ, antara lain, dipakai dalam produksi magnet untuk kendaraan listrik hingga turbin angin. Setiap unit pesawat tempur tercanggih AS, F-35, membutuhkan total 417 kilogram aneka jenis LTE. Ponsel hingga mobil listrik juga membutuhkan LTE.
Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan, 60 persen penambangan LTJ global dikendalikan China. Beijing juga mengendalikan 90 persen pengelolan dan pemurnian LTJ.
Badan Informasi Energi Amerika Serikat menyebut produsen non-China hanya mampu memproduksi total 90.000 ton LTJ sepanjang 2022. Sebaliknya, China bisa menghasilkan 200.000 ton aneka jenis LTJ.
IEA menyebut, permintaan LTJ akan meningkat 700 persen dalam 27 tahun mendatang. Sebab, mineral itu dibutuhkan dalam transisi energi dan produksi kendaraan listrik.
IEA juga menyebut, rata-rata butuh 15 tahun untuk proses penambangan LTJ. Waktu sepanjang itu dibutuhkan sejak proses eksplorasi sampai penambangan pertama bisa dilakukan. Taksiran waktu itu membuat banyak pihak ragu Barat bisa menyaingi China soal LTJ.
Pasar timpang
Menteri Sumber Daya Mineral Australia Madeleine King menyebutkan, pasar mineral global memang timpang. Hal itu tidak lepas dari kebijakan AS, EU, dan sejumlah negara lain. Proses perizinan untuk penambangan dan pengolahan mineral di sejumlah negara amat rumit. Sebaliknya, China telah lama memberi kemudahan untuk proses itu.
Karena itu, kini China praktis menguasai pasokan aneka mineral penting untuk proses transisi energi dan produksi aneka produk teknologi. Sejumlah negara bergantung pada China untuk pasokan aneka mineral penting. ”Sejujurnya, ini bukan pasar yang adil. Soal mineral penting dan logam tanah jarang, China mendominasi pasar,” ujarnya.
Fakta itu membuat King menyebut gagasan memisahkan rantai pasok dari China nyaris mustahil diwujudkan. ”Mereka (China) lebih maju dua dekade dibandingkan banyak negara. Mereka telah banyak berinvestasi di situ,” katanya.
Pada September 2023, Komisioner Perdagangan Internal UE Thierry Breton mengakui, UE telah kalah soal pasokan mineral. ”Kami kalah dalam persaingan untuk penambangan dan pengolahan. Hal ini karena kami punya lebih sedikit cadangan dibandingkan kawasan lain, (proses) administrasi lebih rumit, biaya energi (lebih mahal),” ujarnya.
Cadangan mineral UE bukan hanya sedikit. Proses penambangan dan pengolahannya juga rumit. Butuh proses panjang untuk mendapatkan izin penambangan dan pendirian pabrik pengolahan hasil tambang di UE.
King menilai, UE terlalu lamban mengamankan pasokan mineral dari negara dan kawasan lain. Pemerintah dan swasta China, Amerika Serikat, Korea Selatan, hingga Jepang telah jauh meninggalkan UE di Australia.
Negara-negara itu terus menikmati akses mineral Australia. China, misalnya, menerima hingga 96 persen litium Australia. AS, Jepang, Korsel menanamkan modal di sektor pertambangan mineral Australia.
Sebaliknya, UE terlalu sibuk mengeluh dan menuntut berbagai hal dalam perundingan perjanjian dagang dengan Australia. Adapun pengusaha UE sibuk mengeluhkan soal harga. ”Gerak cepat atau Anda akan ketinggalan perahu,” ujarnya.
Brussels, menurut King, tidak hanya perlu menanamkan modalnya di negara-negara pemilik mineral. UE juga perlu menghormati negara-negara pemilik mineral.
Secara spesifik, ia menyebut UE berusaha mengubah aturan di Australia selama proses perundingan perjanjian dagang Brussels-Canberra. UE mau Australia mencabut aturan soal perbedaan harga mineral di pasar di dalam negeri dan luar negeri. Selama ini harga mineral di pasar Australia bisa lebih murah dibandingkan harga untuk ekspor. (AFP/REUTERS)