Logam Tanah Jarang dan Peluang Kemandirian Teknologi
Kebutuhan logam tanah jarang atau LTJ dalam negeri dipenuhi dari impor, padahal potensi dalam negeri tinggi. Sebaiknya pemerintah memberikan insentif kepada BUMN dan swasta untuk melakukan penelitian atas potensi LTJ.
Oleh
NAUFAL AZIZI
·4 menit baca
Didie SW
-
Temuan kandungan logam tanah jarang (LTJ/rare earth) di lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, mesti segera ditindaklanjuti. Potensi critical law material yang diteliti oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tersebut bisa punya pengaruh signifikan sebagai sumber bahan baku energi. Tak hanya itu, jenis mineral ini cukup bernilai tinggi dalam mengontrol pemenuhan kebutuhan gaya hidup kekinian hingga pertahanan negara.
Ya, LTJ merupakan bahan baku komponen krusial dalam pembuatan telepon pintar (smartphone), alat elektronik, kilang minyak, otomotif, satelit, hingga peralatan militer. Ini bisa mengantisipasi proyeksi kelangkaan cip hingga 2023 yang dihadapi oleh produsen mobil dan ponsel.
Masuk dalam kategori cadangan mineral kritis, LTJ banyak berguna untuk mendorong kemajuan industri dan antisipasi perkembangan teknologi energi bersih. Sejalan dengan target pemerintah mewujudkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen di tahun 2023. Momen yang tepat bagi posisi Indonesia memilih isu transisi energi sebagai presidensi G-20 di mana salah satunya mendiskusikan mengenai peningkatan smart and clean technology.
Secara umum, LTJ masih banyak didominasi untuk kebutuhan katalis sebesar 75 persen. Tak salah apabila banyak negara di dunia tengah berebut menjadikan LTJ sebagai sumber bahan baku energi. Misalnya, Amerika Serikat menggenjot pengembangan LTJ dari daur ulang lampu neon tua. Namun, dominasi LTJ jauh lebih tinggi di China di mana mereka mengonsumsi hingga 53 persen LTJ dunia. Selain itu, China juga menjadi produsen terbesar sebanyak 140.000 metrik ton pada tahun 2020 dan memiliki cadangan sebesar 44.000 metrik ton.
Laporan BP Statistical Review of World Energy 2021 menyatakan bahwa produksi LTJ meningkat sebesar 23,2 persen di dunia dan banyak dipengaruhi dari pertumbuhan di Australia dan Amerika Serikat. Faktor ini melatarbelakangi proyeksi Badan Energi Internasional (IEA) yang mengungkapkan kebutuhan LTJ meningkat tujuh kali lipat di tahun 2040 pada masa transisi energi.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Peneliti memisahkan logam tanah jarang dari mineral monasit yang merupakan limbah dari tambang timah di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional, kawasan Babarsari, Kecamatan Depok, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (4/1/2017). Unsur kimia hasil pemisahan tersebut antara lain Thorium (Th) yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komponen bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.
Beberapa negara maju telah melakukan skenario kebijakan politik yang menjanjikan dalam mengantisipasi kebutuhan LTJ. Amerika Serikat menetapkan keadaan darurat nasional atas tingginya impor rare earth element (RRE) dari negara lain. Sesuai rencana kebijakan pemerintahan Joe Biden, terobosan dilakukan dengan menjanjikan investasi pada pembangunan infrastruktur proses pemisahan LTJ senilai 2 triliun dollar AS.
Sebetulnya, Pemerintah Indonesia sudah membentuk tim pengembangan industri berbasis logam tanah jarang serta percepatan instruksi presiden (inpres) hilirisasi logam tanah jarang. Inpres ini ditindaklanjuti dengan membentuk konsorsium nasional dengan melibatkan lima kementerian/lembaga.
Pemerintah Indonesia sudah membentuk tim pengembangan industri berbasis logam tanah jarang serta percepatan instruksi presiden (inpres) hilirisasi logam tanah jarang.
Hasilnya, kegiatan tersebut belum berjalan dengan baik, di mana sejumlah indikasi dan sumber daya hipotetis telah dipublikasikan secara parsial oleh setiap institusi. Minimnya perhatian LTJ dari pemerintah berdampak pada cakupan (coverage) pemberitaan di media massa yang rendah. Belum lagi berhadapan pada tantangan lain, yaitu pencapaian patokan kadar pemurnian, yaitu lebih dari 98 persen sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 hingga belum adanya wilyah izin usaha pertambangan LTJ.
Keberlanjutan riset
Indonesia sudah memiliki memiliki data sumber daya beberapa mineral pembawa LTJ seperti monasit dan xenomite, serta telah melakukan penelitian di bidang pengolahan LTJ hingga ke pilot plant. Pemerintah bahkan telah memetakan 28 lokasi mineralisasi LTJ yang terungkap. Baru 9 lokasi mineralisasi LTJ (30 persen) telah dieksplorasi awal, tetapi 19 lokasi mineralisasi LTJ (70 persen) belum dilakukan atau belum optimal dieksplorasi. Ini bisa menjadi peluang dan target utama pemerintah untuk diakselerasi ke pihak investor.
Apabila dibandingkan dengan realisasi kebutuhan LTJ (2014-2018), hal ini menunjukkan ketergantungan impor LTJ guna memenuhi industri pewarna dan pigmen, oil refinery, keramik, electric vehicle, magnet permanen, dan generator. Artinya, bahan baku LTJ untuk industri hilir masih sangat bergantung pada negara lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia masih banyak melakukan impor sebesar 1,10 juta dollar AS dari China (48 persen), Malaysia (37 persen), Jepang (11 persen), dan negara lainnya (4 persen) di tahun 2018.
Kompas/Arbain Rambey
Kondisi terkini di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (11/12/2017). Lumpur Lapindo disebut mengandung logam tanah jarang yang bisa menjadi bahan baku energi.
Melihat potensi pemanfaatan yang besar dan merespons kondisi positif di pasar global, sebaiknya pemerintah memberikan insentif kepada BUMN dan swasta untuk melakukan studi dan penelitian atas potensi LTJ, dengan ketentuan wajib melaporkan hasil studi dan penelitiannya ke pemerintah. Selain itu, tetap mengoptimalkan kinerja Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), universitas, dan lembaga riset lainnya pun mengintensifkan studi teknologi pengolahan dan pemanfaatan LTJ untuk industri strategis dan vital di dalam negeri.
Hal yang terpenting adalah pemerintah harus mulai menyusun roadmap LTJ Indonesia yang berisi peta pengembangan. Dimulai dari identifikasi potensi, kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan, hingga hilirisasi LTJ ke skala industri dalam negeri.
Apabila hal ini diimplementasikan secara baik, pemanfaatan LTJ sejalan dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam menjamin pemenuhan kebutuhan mineral untuk kepentingan nasional, kedaulatan, dan kemandirian energi yang menjadi kewajiban pemerintah.
Selain itu, pemanfaatan LTJ juga bagian dari upaya pemerintah memenuhi percepatan pengembangan energi bersih di mana Indonesia sejak periode 1850-2021 menduduki peringkat lima di dunia penyumbang karbon emisi karbon dioksida yang menyebabkan perubahan iklim (Carbonbrief, 2021). Kondisi ini selaras dengan upaya pemerintah menerapkan pajak karbon yang mulai efektif berlaku tanggal 1 April 2022 dengan tarif Rp 30 per kilogram CO2e.
Naufal Azizi, Analis Kebijakan di Kementerian ESDM