Batuan dan Elemen Supermahal dari Bumi dan Antariksa
Tanah asteroid Bennu sudah dibawa ke Bumi. Untuk membawa 1 gram tanah itu butuh 4,7 juta dollar AS atau Rp 72,4 miliar.
Sudah lebih dari sebulan, sampel dari batuan asteroid Bennu tiba di Bumi. Untuk membawa pulang 225 gram tanah Bennu itu, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) mengeluarkan biaya total 1,16 miliar dollar AS atau Rp 18,5 triliun. Artinya, harga satu gram batuan asteroid Bennu itu mencapai 4,7 juta dollar atau Rp 72,4 miliar.
Sampel batuan dari asteroid 101955 Bennu itu tiba di Bumi pada 24 September 2023. Tanah Bennu itu dijatuhkan ke Bumi dari wahana melalui sebuah kapsul yang mendarat di gurun Utah, AS. Sejak misi OSRIRIS-REx itu diluncurkan pada 2016, butuh tujuh tahun untuk bisa mengirimkan tanah asteroid Bennu ke Bumi.
Besarnya biaya yang dikeluarkan NASA untuk memulangkan tanah asteroid Bennu itu merupakan biaya keseluruhan untuk membiayai misi OSIRIS-REx selama 15 tahun, misi untuk membawa sampel tanah asteroid ke Bumi. Biaya itu digunakan untuk pengembangan wahana antariksa, biaya peluncuran, hingga biaya operasional misi selama sembilan tahun.
Mengutip data The Planetary Society, sebanyak 588,5 juta dollar atau Rp 9,4 triliun digunakan untuk pengembangan wahana antariksa OSIRIS-REx. Selain itu, 183,5 juta dollar atau Rp 2,9 triliun untuk ongkos peluncuran wahana pada 2016 menggunakan roket Atlas V 411 milik perusahaan United Launch Alliance. Sementara untuk biaya misi selama 9 tahun diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar 283 juta dollar atau Rp 4,5 triliun.
Setelah kapsul berisi tanah Bennu dikirimkan, wahana OSIRIS-REx tidak langsung dimatikan. Wahana ini akan meneruskan misi menuju asteroid Aphopis yang akan terbang mendekati Bumi pada 2029. Bennu dan Aphopis adalah asteroid yang berasal dari wilayah Sabuk Asteroid, antara Planet Mars dan Yupiter, tetapi Apophis diprediksi akan menubruk Bumi suatu saat di masa depan.
Batuan Bennu itu diteliti karena asteroid ini diyakini terbentuk sekitar 10 juta tahun setelah terbentuknya Tata Surya. Artinya, asteroid ini kaya akan debu dan gas sisa pembentukan Tata Surya. Selain itu, asteroid ini juga diyakini mengandung molekul organik yang mirip dengan molekul yang memicu munculnya kehidupan di Bumi.
Bukan yang termahal
Dengan biaya pemulangan tanah asteroid Bennu yang mencapai 4,7 juta dollar atau Rp 72,4 miliar per gram itu, setara dengan 70.000 kali harga emas yang selama beberapa tahun terakhir berkisar 60-70 dollar AS atau Rp 950.000-Rp 1,1 juta per gram. Meski terlihat sangat mahal, batuan asteroid Bennu ini bukanlah batuan paling mahal yang diperoleh atau digunakan dalam riset sains.
Misi Apollo yang mendaratkan manusia di Bulan tahun 1969-1972, seperti ditulis profesor astronomi Universitas Arizona, AS, Chris Impey, di The Conversation, 24 Oktober 2023, menelan biaya yang telah dikonversikan dengan inflasi hingga saat ini sebesar 257 miliar dollar atau Rp 4.090 triliun. Namun, misi ini membawa ulang 382 kilogram tanah Bulan.
Artinya, untuk membawa tanah Bulan itu ke Bumi dibutuhkan 674.000 dollar atau Rp 10,7 miliar per gramnya. Namun, nilai plus dari misi Apollo ini adalah mampu mendemonstrasikan kemajuan teknologi penerbangan luar angkasa manusia, termasuk pendaratan 12 manusia Bumi di permukaan Bulan.
Sementara itu, NASA juga berencana untuk membawa pulang tanah Mars pada tahun 2030-an. Dalam misi ini, NASA menargetkan membawa 30 tabung tanah Mars dengan berat total sampel tanah Mars yang diambil sebesar 450 gram. Dari target tersebut, wahana penjejak Perseverance telah mengumpulkan 10 tabung tanah Mars.
Namun, biaya yang dikeluarkan NASA untuk misi membawa pulang tanah Mars itu mencapai 11 miliar dollar AS atau Rp 175 triliun. Selain rumit, misi ke Mars ini juga melibatkan sejumlah wahana antariksa dan berbagai jenis robot. Artinya, untuk membawa pulang satu gram tanah Mars butuh biaya 24,4 juta dollar atau Rp 389 miliar alias lima kali lebih mahal daripada pemulangan tanah Bennu.
Meski demikian, tak semua batuan dari luar angkasa yang ingin dipelajari manusia berharga mahal. Menurut Impey, ada sejumlah batuan luar angkasa yang bisa diteliti manusia secara gratis, tidak memerlukan biaya sama sekali.
Setiap hari, Bumi dihujani sekitar 50 ton batuan dari luar angkasa yang sebagian besar berasal dari asteroid. Sebagian besar batuan itu habis terbakar di atmosfer. Jika batuan itu tidak habis terbakar di udara dan jatuh ke permukaan Bumi, batuan itu disebut meteorit. Namun, meteorit ini akan menjadi mahal karena sulit untuk dikenali dan diambil kembali.
”Semua batuan akan terlihat serupa kecuali seorang ahli geologi,” tulis Impey.
Baca juga: Sampel Asteroid Bennu Mengandung Air dan Karbon yang Penting bagi Kehidupan
Sebagian besar meteorit yang sampai ke Bumi itu berupa kondrit (chondrite), yaitu meteorit batuan atau nonlogam yang belum mengalami perubahan dari bentuk awal. Dibandingkan batuan biasa, kondrit mengandung butiran bulat disebut kondrul (chondrule) yang terbentuk dari tetesan cairan di awal pembentukan Tata Surya 4,5 miliar tahun lalu.
Sementara meteorit yang banyak mengandung besi umumnya terlihat seperti batuan yang dilapisi kerak hitam hasil pembakaran saat memasuki atmosfer Bumi. Bagian dalam meteorit besi ini memiliki kristal logam yang memanjang.
Menurut Impey, kondrit ini banyak diperjualbelikan secara daring dengan harga mulai dari 0,5 dollar AS atau Rp 8.000 per gram. Meteorit besi harganya sedikit lebih mahal, yaitu 1,77 dollar AS atau Rp 28.000 per gramnya atau lebih. Sementara pallasit, meteorit batu-besi yang mengandung mineral olivin (magnesium besi silikat), yang sudah dipotong dan dipoles hingga memunculkan warna kuning-kehijauan bening bisa dijual 35 dollar AS atau Rp 555.000 per gram.
Selain kandungannya, harga meteorit juga ditentukan berdasarkan asal-usulnya. Dengan mengetahui lokasi penemuannya, ilmuwan bisa memproyeksikan lintasan meteorit tersebut hingga ke wilayah Sabuk Asteroid di antara planet Mars dan Yupiter atau membandingkan komposisinya dengan asteroid lain. Struktur geologi dan mineralogi batuan tersebut juga bisa menjelaskan meteorit tersebut berasal dari Bulan atau Mars.
Namun, di antara semua unsur dan senyawa itu, yang paling mahal adalah antimateri.
Saat ini, hampir 600 meteorit yang mencapai Bumi diidentifikasi berasal dari Bulan. Meteorit paling berat dari jenis ini mencapai 1,8 kg dan dijual dengan harga 166 dollar AS atau Rp 2,6 juta per gramnya. Selain itu, sekitar 175 meteorit berasal dari Mars dan dijual 388 dollar AS atau Rp 6,2 juta per gram.
Namun, meski meteorit tersebut bisa diperoleh dengan harga murah dibandingkan harus mengambil atau menambangnya langsung dari luar angkasa, meteorit ini sudah tidak murni lagi. Saat mendarat di Bumi, mereka sudah terkontaminasi sehingga sulit untuk memastikan apakah mikroba yang ada di dalamnya itu berasal dari luar angkasa atau bukan.
Tak hanya itu, meski ilmuwan bisa menelusuri asal usul meteorit tersebut, itu tidak berarti mereka benar-benar bisa memastikan bahwa meteorit itu berasal dari Bulan atau Mars. Ilmuwan hanya bisa memperkirakannya. Kondisi ini membuat penggunaan meteorit tersebut untuk kepentingan ilmiah menjadi terganggu.
Elemen termahal
Mahalnya harga batuan atau mineral itu nyatanya tidak hanya berdasarkan asalnya. Sejumlah unsur yang ditemukan di Bumi memiliki harga lebih mahal dibandingkan material yang diambil dari luar angkasa. Sejumlah unsur kimia yang langka dan ditemukan di Bumi juga memiliki harga yang sangat tinggi.
Unsur-unsur sederhana dalam tabel kimia memiliki harga yang relatif murah. Untuk setiap 100 gram, karbon dihargai 2,4 dollar AS atau Rp 38.000, besi kurang dari 1 sen dollar AS atau Rp 160 dan aluminium 19 sen dollar AS atau Rp Rp 3.000. Sementara perak dihargai 50 sen dollar AS atau Rp 8.000 per gram dan emas 67 dollar AS atau Rp 1,06 juta per gram.
Namun, untuk unsur radioaktif langka yang sangat sulit dibuat di laboratorium harganya jauh lebih mahal dibandingkan harga sampel tanah Mars yang dibawa kembali ke Bumi. Setidaknya ada tujuh unsur radioaktif langka yang harganya sangat mahal, tetapi yang paling mahal di antara unsur radioaktif itu adalah polonium-209 yang harganya mencapai 49 miliar dollar AS atau Rp 780 triliun per gramnya.
Batu permata juga bisa sangat mahal. Zamrud atau emerald berkualitas tinggi harganya mencapai sepuluh kali lipat dari harga emas. Sementara berlian putih atau white diamond berharga 100 kali lipat harga emas.
Berlian dengan pengotor boron yang memberi warna biru cerah dan hanya ditemukan di beberapa tambang berlian dunia dihargai 19 juta dollar AS atau Rp 302 miliar per gram. Harga berlian biru ini bisa menyaingi harga sampel tanah Mars yang dibawa pulang NASA ke Bumi. Namun, jumlah berlian biru ini sangat terbatas. Untuk mendapatkan 28,3 gram berlian biru yang setara 142 karat sangat sulit karena sangat jarang berlian ditemukan sebesar itu.
Sementara untuk bahan sintesis yang paling mahal adalah ”sangkar” karbon berbentuk bulat kecil yang di dalamnya terdapat atom nitrogen. Senyawa ini sangat stabil sehingga banyak digunakan untuk mengukur ketepatan waktu. Senyawa fullerene endohedral yang terbuat dari karbon dan banyak digunakan untuk membuat jam atom memiliki harga 141 juta dollar AS atau Rp 2,2 triliun per gramnya.
Namun, di antara semua unsur dan senyawa itu, yang paling mahal adalah antimateri. Antimateri ada di alam tetapi sangat jarang terjadi karena setiap antipartikel itu terbentuk, maka dia akan langsung musnah saat bertemu dengan partikel dan menghasilkan radiasi.
Akselerator partikel milik Organisasi Riset Nuklir Eropa (CERN) mampu menghasilkan 10 juta antiproton per menit. Namun, untuk menghasilkan antiproton sebanyak itu dibutuhkan waktu sangat lama. Untuk menghasilkan 1 gram antiproton ini, dibutuhkan biaya 35 kuadriliun (juta miliar) dollar AS atau Rp 557 kuintiliun (miliar miliar).
Baca juga: Menguak Misteri Semesta Melalui Sampel Asteroid Bennu
Karena itu, mahalnya biaya untuk membawa pulang ke Bumi sampel dari asteroid Bennu, tanah Bulan, hingga tanah Mars mungkin tidak seberapa dibandingkan biaya untuk mendapatkan antimateri atau sejumlah unsur radioaktif langka lain. Akhirnya, mahal dan murah itu relatif, tergantung ketersediaannya di alam, teknologi untuk mendapatkannya, hingga nilai dan pemanfaatannya.