Fed Beri Sinyal Penurunan Suku Bunga, tapi Keraguan Tetap Melekat
Perkembangan perekonomian AS perlu dipantau Indonesia, terutama dengan kondisi utang, inflasi, dan suku bunga di AS yang serba tidak menentu.
Bank Sentral Amerika Serikat memproyeksikan akan ada penurunan suku bunga inti pada 2024 dan setelahnya. Salah satu alasannya, inflasi sudah semakin menurun. Suku bunga yang menurun diperlukan untuk mencegah resesi.
Sejauh ini AS disebutkan beruntung karena kenaikan suku bunga sejak Maret 2022 tidak membawa perekonomian memasuki resesi, hanya penurunan kecil pertumbuhan atau soft landing.
Akan tetapi, tidak semua pihak yakin dengan skenario Bank Sentral AS (Federal Reserve/Fed) tentang penurunan suku bunga dan soft landing. Kerapuhan tetap menjadi warna perekonomian AS, termasuk inflasi yang sewaktu-waktu bisa kembali menekan. Oleh karena itu, kerapuhan dalam perekonomian AS tetap wajib menjadi perhatian karena bisa berefek besar pada kestabilan keuangan global.
Baca juga: Inflasi Masih Tinggi, Suku Bunga Akan Naik Lagi
Hanya saja, di balik kerapuhan itu Fed melihat sinyal baik untuk sementara waktu. Suku bunga inti (prime rate), yang juga disebut sebagai suku bunga acuan, sekarang ini berkisar pada angka 5,25-5,5 persen. Suku bunga inti ini dipertahankan pada kisaran tersebut dalam pertemuan Komite Kebijakan Pasar Terbuka Fed (FOMC) di Washington DC, Rabu, 13 Desember 2023.
Akan tetapi, suku bunga inti tersebut diproyeksikan akan diturunkan perlahan ke level 4,6 persen pada 2024. Alasannya, inflasi sepanjang 2024 diproyeksikan akan berkisar pada angka 2,4 persen dan pada 2025 menjadi 2,2 persen serta menuju target 2 persen pada 2026.
Meski direncanakan menurun pada 2024, suku bunga relatif tetap tergolong tinggi dan berefek negatif terhadap pertumbuhan. Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS hanya akan tumbuh 1,4 persen pada 2024. Pertumbuhan akan naik menjadi 1,8 persen pada 2025 dan 1,9 persen pada 2026 seiring dengan penurunan suku bunga secara bertahap.
Inflasi November 2023
Menurut Gubernur The Fed Jerome Powell, proyeksi penurunan suku bunga pada 2024 didasarkan pada gejala penurunan suku bunga yang terus terjadi hingga November 2023. Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS, inflasi pada November 2023 sebesar 3,1 persen. Ini merupakan penurunan dari inflasi pada Oktober 2023 sebesar 3,2 persen.
Inflasi tersebut dilihat dari sisi indeks harga konsumen (IHK). Akan tetapi, jika dilihat dari sisi inflasi inti, dengan tidak memasukkan indeks harga pangan dan energi, inflasi inti pada November 2023 di AS tetap 4 persen. Dengan demikian, inflasi inti pada November 2023 tetap sama dengan angka inflasi inti Oktober 2023, yakni 4 persen.
Baca juga: Fed Naikkan Suku Bunga Kesebelas Kali Menjadi 5,25 Persen
Powell menyatakan, dengan situasi itu, perang melawan inflasi belum berhasil karena masih relatif jauh dari target inflasi sebesar 2 persen. Oleh karena itu, untuk sementara ini, kata Powell, perencanaan Fed adalah penurunan suku bunga secara bertahap.
Dengan kata lain, penurunan inflasi tidak perlu menunggu hingga inflasi mencapai 2 persen. Penurunan perlu dilakukan perlahan untuk menghindari overshoot, julukan bagi kebijakan moneter yang terlalu ketat dan bisa merugikan perekonomian.
Serba tidak pasti
Meski mengindisikan penurunan suku bunga, Powell mengingatkan bahwa situasi pada dasarnya tetap serba tidak pasti. Semuanya tetap bergantung pada perkembangan terbaru tentang inflasi.
Maka dari itu, Powell mengatakan, FOMC tetap tidak melepas kemungkinan kenaikan suku bunga di depan, walau arahnya terlihat kecil. Ia juga tidak menepis kemungkinan potensi resesi di depan walau kemungkinannya juga kecil.
Pesan Powell bertujuan membuat pasar agar tidak terlalu euforia tentang potensi penurunan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi.
Pesan Powell bertujuan membuat pasar agar tidak terlalu euforia tentang potensi penurunan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi.
Michael Milken, pelaku pasar uang yang terkenal di AS karena aksi-aksi spekulasinya yang menghebohkan pada 1980-an, mengindikasikan bahwa Fed tidak akan buru-buru menurunkan suku bunga (CNBC, 11 Desember 2023). Ia mengingatkan faktor sejarah moneter AS pada dekade 1970-an.
Baca juga: Dollar AS Tetap Jadi ”Raja” bagi Mata Uang Asia
Pada dekade itu Fed buru-buru menurunkan suku bunga di tengah inflasi yang sedang meningkat karena inflasi diperkirakan menuju arah yang menurun. Akibatnya adalah inflasi membubung tinggi hingga mencapai 13,55 persen pada 1980. Akibat lanjutannya, suku bunga inti terpaksa dinaikkan mendadak ke level lebih tinggi, yakni 21 persen untuk meredam inflasi.
”Sejarah sebagaimana Anda ketahui, berulang dengan cara berbeda,” kata Milken.
Potensi inflasi bisa meledak lagi juga diperingatkan oleh para ekonom AS. The Committee for a Responsible Federal Budget (CRFB), lembaga nirlaba pemantau keuangan negara AS, mengingatkan bahwa utang negara AS sudah mencapai 31,3 triliun dollar AS pada Desember 2023. Jumlah utang negara AS itu telah jauh melampaui produksi domestik bruto (PDB) AS yang sebesar 26,5 triliun dollar AS.
Dengan kata lain, utang AS telah mencapai 118 persen terhadap PDB, jauh dari batas aman 60 persen yang disarankan Dana Moneter Internasional (IMF). Utang-utang ini terakumulasi lewat pinjaman-pinjaman berjangka pendek, tetapi terus-menerus terjadi, bahkan sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19.
Menjalankan perekonomian dengan pengeluaran yang lebih besar dari penerimaan alias mengandalkan utang, bukan hal yang bagus, kata Phillip Braun, profesor keuangan pada Kellogg School of Management, North Western University, 16 Oktober 2023.
CRFB mengingatkan, tumpukan utang hanya akan mendorong inflasi lambat atau cepat karena utang tersebut dibiayai dengan utang-utang baru dan juga lewat pencetakan uang. Inilah juga sisi lain dari perekonomian AS yang menyebabkan tekanan inflasi relatif sulit mereda.
Efek terhadap Indonesia
Situasi utang dan inflasi di AS sekilas terlihat merupakan masalah AS semata. Akan tetapi, dalam kenyatannya, efeknya begitu besar terhadap seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Baca juga: Asia Wajib Pantau “Lingkaran Setan” AS
Lili Yan Ing, ekonom yang juga Sekjen International Economic Association (IEA) dan penasihat badan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) pada 19 Mei 2023 menuliskan efek utang AS terhadap Indonesia. Ia menyebutkan, efek utang AS dengan segala implikasinya sangat nyata bagi Indonesia.
Utang AS yang menggunung bisa mendorong AS menaikkan suku bunga agar kreditor bersedia membeli surat utang AS. Ini akan menyebabkan efek lanjutan berupa kenaikan suku bunga di banyak negara agar tidak ditinggalkan investor asing. Konsekuensi utang AS yang menggunung juga bisa kelak membuat investor makin khawatir akan daya bayar utang AS, yang memungkinkan kurs dollar AS merosot.
Baca juga: Asia, Penopang Perekonomian Global yang Rentan
Kurs dollar AS yang merosot juga berpotensi menaikkan impor Indonesia karena ketergantungan Indonesia pada kebutuhan impor. Kurs dollar AS yang merosot juga berpotensi menurunkan nilai riil cadangan devisa Indonesia.
Gonjang-ganjing perekonomian AS, terutama efek utang ke sektor moneter, yang juga bisa merembes ke bursa saham, dapat menyebabkan ketidakstabilan di banyak negara, termasuk Indonesia. Ini adalah fakta empiris yang terasa.
Maka dari itu, perkembangan perekonomian AS menjadi hal yang wajar untuk dipantau Indonesia, terutama dengan kondisi utang, inflasi, dan suku bunga di AS yang serba tidak menentu. Ini belum lagi dari sisi perseteruan geopolitik global yang melibatkan AS dengan segala efeknya ke seluruh dunia. (AP)
--------
Simon Saragih, wartawan Kompas 1989-2023