Asia, Penopang Perekonomian Global yang Rentan
Perubahan suku bunga Amerika Serikat menjadi penyebab kerentanan Asia. Perubahan itu bisa memicu perubahan arus modal asing.
Perekonomian global diproyeksikan tumbuh 2,7 persen dan 3 persen secara berurutan pada 2024 dan 2025. Perekonomian Asia yang tumbuh di atas rata-rata global menjadi penopangnya. Meski demikian, perekonomian Asia tetap rentan.
Perubahan suku bunga Amerika Serikat menjadi penyebab kerentanan Asia. Perubahan itu bisa memicu perubahan arus modal asing.
Kerentanan tersebut membuat Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam laporan November 2023 menyatakan, tidak ada jaminan bagi pertumbuhan global. Risiko pertumbuhan lebih rendah berpotensi terjadi di AS dan Eropa. Sebab, suku bunga tetap berpotensi dinaikkan untuk meredam inflasi yang belum mencapai target 2 persen.
Inflasi di zona euro sebesar 2,4 persen pada November 2023, turun dari 2,9 persen pada Oktober 2023. Presiden Bundesbank Joachim Nagel di Nicosia, Siprus, 3 Desember 2023, menyatakan inflasi di zona euro telah menurun. Akan tetapi, penurunan inflasi berlangsung lebih lambat. Nagel tidak berani mengatakan bahwa perang melawan inflasi telah mendekati tuntas.
“Kita belum menang melawan inflasi,” kata Nagel.
Inflasi kali ini, kata dia, cukup bandel. “Jika kita tambahkan skenario ketegangan geopolitik, inflasi mudah naik kembali. Saya perkirakan inflasi akan terus menurun, tetapi lebih lambat dan tetap ada kemungkinan ketidakmulusan penurunan inflasi,” lanjut Nagel.
Baca juga : Jerman, Pesakitan Eropa dan Korban Geopolitik
Di AS, inflasi mencapai 3,2 persen pada Oktober 2023 dibandingkan dengan Oktober 2022. Inflasi di AS pada September 2023 turun menjadi 3,7 persen dibandingkan dengan September 2023. Dengan kata lain, penurunan inflasi secara tahunan menurun pada Oktober 2023.
Bagi Asia dan dunia, inflasi di AS menjadi hal paling penting karena dolarisasi atau peran dollar AS sebagai alat utama transaksi internasional dan peran besarnya sebagai denominasi cadangan devisa.
Inflasi di AS yang terus menurun, apalagi bisa kembali ke level 2 persen, akan berefek bagus sebab tidak lagi diperlukan kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi. Bahkan, dengan kembalinya inflasi ke level 2 persen, Bank Sentral AS (Fed) malah berpotensi menurunkan suku bunga.
Masalahnya adalah tidak ada keyakinan inflasi segera menuju 2 persen di AS. Inflasi di AS turun menjadi 3,2 persen pada Oktober 2023 jika dibandingkan dengan inflasi Oktober 2022.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan inflasi bulanan dari September 2023 ke Oktober 2023, angka inflasi tidak mengalami perubahan. Alias inflasi bulanan pada September 2023 sebesar 4 persen, dan tetap sebesar 4 persen pada Oktober 2023.
Baca juga : AS dan Eropa Menghadapi Trilema dalam Perekonomian
Oleh karena itu, Gubernur Fed Jerome Powell mengingatkan, terlalu dini untuk berharap bahwa Fed akan menurunkan suku bunga segera. Pernyataan tersebut dia sampaikan karena pasar relatif optimistis bahwa Fed kemungkinan sudah mengarah pada potensi penurunan suku bunga inti (prime rate).
Terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kita telah berhasil dengan program pengetatan kebijakan moneter. (Jerome Powell)
“Terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kita telah berhasil dengan program pengetatan kebijakan moneter, atau riskan berspekulasi bahwa suku bunga kemungkinan segera diturunkan,” kata Powell, Jumat, 1 Desember 2023.
Ia mengingatkan bahwa Fed sewaktu-waktu tetap bisa menaikkan kembali suku bunga inti yang kini bertengger pada kisaran 5,25-5,5 persen. “Inflasi memang sudah menurun dan ini sangat kita sambut, tetapi belum mencapai 2 persen,” kata Powell.
Presiden Fed New York, John Williams, juga mendukung pernyataan Powell. “Inflasi masih terlalu tinggi dan tugas Fed belum selesai,” kata Williams.
Hal serupa dikatakan Presiden Fed San Francisco, Mary Daly. “Ada indikasi baik tentang penurunan inflasi, tetapi terlalu dini menyimpulkan tentang potensi penurunan suku bunga,” kata Daly.
Efek terhadap kurs
Fed terakhir menaikkan suku bunga inti adalah pada 26 Juli 2023. Perkiraan akan kenaikan suku bunga lanjutan telah turut membuat kurs mata uang Asia merosot pada Oktober 2023 walau sudah pulih kembali pada awal Desember 2023.
Berbagai pengamat mengatakan, Asia kemungkinan tidak akan mengalami krisis kurs seperti pada 1997. Alasannya, Asia telah belajar dari krisis 1997 dengan menumpuk cadangan devisa. Akan tetapi, gejolak kurs tetap berpotensi terjadi jika ada potensi kenaikan suku bunga di AS.
Baca juga : Asia Akan Selamatkan Dunia dari Resesi Terdalam
Potensi kenaikan suku bunga di AS ini menjadi persoalan karena perilaku pasar. Logika tentang fondasi perekonomian Asia yang jauh lebih kuat daripada perekonomian AS tidak cukup kuat menahan gejolak kurs mata uang Asia. Para spekulan tidak melihat fondasi ekonomi dalam perilaku harian, tetapi mengambil kesempatan meraih untung dengan memainkan psikologi pasar.
Menjelang Oktober 2023 lalu, pasar melakukan short sell, sebutan bagi taruhan akan kemerosotan kurs mata uang Asia karena ada potensi kenaikan suku bunga. Taruhan tersebut berhasil. Themistoklis Fiotakis, Kepala Divisi Riset Valas di Barclays Plc di London pada 31 Oktober 2023 kepada Bloomberg menyebutkan, taruhan akan kenaikan kurs dollar bisa menggigit balik.
Akan tetapi, perilaku spekulatif pada era “ternak uang” tetap terjadi meski logika jangka panjang tidak mendukung. Fiotakis memberi peringatan karena maraknya aksi short sell sejak September 2023.
Christian Nolting, Global Chief Investment Officer, Deutsche Bank, pada 15 Juni 2022 menuliskan, “Pasar uang didorong sentimen, tetapi sentimen ini sering tidak menggambarkan logika perekonomian yang kuat. Memahami jalan pikiran pelaku di pasar uang menjadi sangat penting di tengah ketidakpastian yang tinggi.”
Siasat
Pelaku pasar, dengan sentimen yang tak kuat secara logika tersebut, telah mengganggu kestabilan kurs Asia pada 2023. Potensi seperti itu tetap terjadi di depan. Maka cara terbaik menghadapi potensi gejolak tersebut adalah pengurangan kewajiban luar negeri dan pengurangan utang.
Saran lain adalah melakukan hedging (lindung nilai), seperti saran The Bank for Internasional Settlement (BIS), terutama bagi korporasi yang memiliki kewajiban luar negeri agar tidak terbebani gejolak kurs saat membayar kewajiban luar negeri.
Siasat tersebut tetap berlaku bagi Asia dengan pertumbuhan ekonomi tinggi hingga pada dekade berikutnya. Zaman Asia yang kuat secara perekonomian tidak menjamin kestabilan kurs Asia dalam jangka pendek. Peran dollar AS sebagai alat tukar internasional telah membuat “dollar adalah raja”.
Peran dollar AS sebagai raja mata uang dunia ini termasuk menjadi pendorong sentimen untuk melakukan short sell dalam situasi yang serba tidak pasti. Peringatan soal potensi gejolak dari sektor keuangan menjadi peringatan rutin dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan OECD. (REUTERS)
Simon Saragih, wartawan Kompas 1989-2023