Dunia Desak Gencatan Senjata di Gaza, Israel Kian Terisolasi
Resolusi Majelis Umum PBB mendukung gencatan senjata kemanusiaan di Gaza. Hasil ini menunjukkan AS kian terisolasi dan dukungan Israel menyusut.
NEW YORK, SELASA — Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan resolusi gencatan senjata di Gaza setelah mayoritas negara anggota PBB mendukung. Arah utama dari resolusi itu adalah membuka ruang lebih luas untuk misi kemanusiaan dan upaya penghentian perang. Hasil pemungutan suara menunjukkan 153 negara mendukung, 10 negara menolak, dan 23 negara abstain. Amerika Serikat dan Israel termasuk suara yang menentang resolusi itu. Selain kedua negara itu, negara lain yang turut menolak adalah Austria, Ceko, Guatemala, Liberia, Mikronesia, Nauru, Papua Niugini, dan Paraguay.
Berbeda dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, resolusi Majelis Umum PBB ini tidak mengikat secara hukum tetapi menjadi barometer penting bagi opini dunia. Resolusi ini menunjukkan dukungan kuat dunia untuk mengakhiri perang Israel-Hamas.
Baca juga: Tidak Ada Kabar Baik dari Palestina
Dukungan Majelis Umum PBB kali ini jauh lebih kuat ketimbang resolusi yang menyerukan ”jeda kemanusiaan” pada 27 Oktober 2023. Pada waktu itu, resolusinya mengarah pada penghentian permusuhan dan hasil pemungutan suaranya 120 suara setuju, 14 menolak, dan 45 abstain.
”Ini hari yang bersejarah sehubungan dengan pesan kuat dari Majelis Umum. Tugas kita bersama untuk melakukan hal ini, terus sampai agresi terhadap rakyat kita berakhir. Sudah menjadi tugas kita menyelamatkan nyawa,” kata Riyad Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB, Selasa (12/12/2023).
Resolusi Majelis Umum PBB itu menyatakan ”keprihatinan atas situasi kemanusiaan yang sangat buruk di Jalur Gaza dan penderitaan penduduk sipil Palestina. Warga Palestina dan Israel harus dilindungi sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional”.
Resolusi ini juga menuntut agar semua pihak mematuhi hukum humaniter internasional, terutama yang berkaitan dengan perlindungan warga sipil dan menyerukan ”pembebasan semua sandera segera dan tanpa syarat, serta memastikan akses kemanusiaan”.
Baca juga: Siasat Pemimpin Hamas Menghindari Pelacakan Israel
Otoritas Palestina menyambut baik resolusi itu dan mendesak negara-negara lain untuk menekan Israel agar mengadopsi gencatan senjata. Hamas juga bersikap sama. Seorang pejabat Hamas di pengasingan, Izzat El-Reshiq, juga mengatakan, Israel harus menghentikan agresi, genosida, dan pembersihan etnis terhadap rakyat Gaza.
Presiden Majelis Umum PBB Dennis Francis mengatakan, dunia sedang menyaksikan serangan gencar terhadap warga sipil, kehancuran sistem kemanusiaan, dan rasa tidak hormat yang mendalam terhadap hukum internasional serta hukum humaniter internasional.
”Berapa ribu nyawa lagi yang harus hilang sebelum kita melakukan sesuatu? Kita tidak punya banyak waktu lagi. Pembantaian harus dihentikan,” ujarnya.
Resolusi Majelis Umum PBB itu tidak menyebutkan Hamas dan sebelumnya membatalkan dua usulan amendemen yang menyebutkan kelompok itu. Salah satu usulan AS adalah menambahkan satu paragraf yang menyebut Majelis Umum PBB ”dengan tegas menolak dan mengecam serangan teroris keji yang dilakukan Hamas”.
Berapa ribu nyawa lagi yang harus hilang sebelum kita melakukan sesuatu? Kita tidak punya banyak waktu lagi. Pembantaian harus dihentikan.
Austria juga mengusulkan seruan untuk segera membebaskan sandera yang masih ditahan Hamas. Namun, keduanya tidak diterima. Sebagai sekutu terdekat dan pemasok persenjataan terbesar, AS dipandang sebagai satu-satunya entitas yang mampu membujuk Israel untuk menerima gencatan senjata. Namun, Presiden AS Joe Biden kali ini bersuara lebih keras dari biasanya.
Kritik tegas Indonesia
Senyampang itu, dari Geneva dikabarkan, Indonesia kembali menegaskan dukungannya pada perjuangan Palestina. Saat menyampaikan pidato dalam Peringatan 75 Tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Senin (11/12/2023), Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyampaikan komitmen Indonesia, di antaranya memperkuat solidaritas politik dan bantuan kemanusiaan bagi bangsa Palestina. Bantuan itu termasuk dengan meningkatkan tiga kali lipat kontribusi Indonesia kepada UNRWA (Badan PBB untuk Pekerjaan dan Pemulihan Pengungsi Palestina).
Selanjutnya pada Selasa (12/12/2023), saat menjadi panelis diskusi HAM, Retno menegaskan bahwa serangan Israel yang menewaskan warga sipil, merusak rumah sakit, tempat ibadah dan kamp pengungsi, serta memberangus hak-hak dasar Palestina bukanlah tindakan pembelaan diri. Tindakan tersebut, menurut dia, tidak dapat dibenarkan dan jelas melanggar hukum humaniter internasional.
Untuk itu, ia mendesak komunitas internasional untuk tidak tinggal diam dan perlu memperbarui komitmen bersama terkait pemajuan HAM.
”Saya juga sampaikan bahwa Indonesia sangat menyesali kegagalan Dewan Keamanan PBB untuk mengesahkan resolusi humanitarian ceasefire. Hal ini mencerminkan gagalnya sistem multilateral yang sudah ketinggalan zaman,” kata Retno dalam pernyataan pers yang dirilis pada Rabu (13/12/2023).
Lebih lanjut, Retno mengajak komunitas internasional menolak penerapan standar ganda dalam penegakan HAM. ”Penerapan standar ganda adalah masalah terbesar di dalam penerapan HAM. Pihak-pihak yang sering mendikte kita mengenai HAM justru menjadi pihak yang kini membiarkan Israel melanggar hak asasi manusia. Saya menegaskan agar berbagai pelanggaran HAM segera dihentikan,” katanya.
Indonesia juga mengajak semua pihak untuk memulai lagi proses damai untuk Palestina, khususnya untuk mewujudkan solusi dua negara. Selain itu, proses tersebut diarahkan juga untuk menyelesaikan secara menyeluruh akar masalah isu Palestina.
Kehilangan dukungan
Sebelum pemungutan suara Majelis Umum PBB, Biden memperingatkan Israel kehilangan dukungan internasional karena pengeboman tanpa pandang bulu di Gaza. Biden juga mengatakan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu perlu mengubah pemerintahan garis kerasnya karena pada akhirnya Israel tidak bisa mengatakan tidak terhadap negara Palestina yang merdeka. Ini yang ditolak kelompok garis keras Israel.
Untuk urusan keamanan, kata Biden, Israel bisa bergantung kepada AS dan Uni Eropa. ”Israel harus mengambil keputusan sulit. Bibi (Benjamin Netanyahu) harus mengambil keputusan sulit. Tidak ada keraguan soal perlunya menghadapi Hamas. Namun, saya pikir pemerintahan Israel harus diubah karena pemerintahannya yang mempersulit hal ini,” kata Biden.
Baca juga: AS Veto Gencatan Senjata di Gaza dan Jatuhkan Sanksi untuk Negara Lain
Biden secara khusus menyebut Itamar Ben-Gvir, pemimpin partai sayap kanan Israel dan Menteri Keamanan Nasional dalam koalisi pemerintahan Netanyahu, yang menentang solusi dua negara dan menyerukan Israel untuk menegaskan kembali kendali atas seluruh wilayah Tepi Barat dan Gaza. Ben-Gvir duduk di kabinet keamanan Israel, tetapi bukan anggota kabinet perang.
Merespons komentar Biden, juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, menegaskan, Israel sudah menjalankan operasi militer dengan presisi berdasarkan informasi intelijen dan sudah memahami cara operasi Hamas.
Adapun anggota biro politik Hamas, Osama Hamdan, menilai dampak perang Gaza akan menjadi bencana besar bagi Israel dan hasil pemilu AS karena bisa jadi Biden kehilangan kursinya di Gedung Putih.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan Israel harus menghindari perpindahan massal warga sipil di Gaza selatan. Israel harus memastikan bantuan kemanusiaan yang cukup bagi pengungsi dan harus memungkinkan warga sipil di Gaza untuk kembali ke rumah mereka segera setelah kondisinya memungkinkan. AS tetap berkomitmen terhadap hak Israel untuk membela diri.
Baca juga: Pengamat: Jeda Kemanusiaan Hanya Sekuritisasi HAM, Gaza Butuh Gencatan Senjata
Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan juga memperingatkan gencatan senjata hanya akan memperpanjang kematian dan kehancuran di Gaza serta menjadi ”hukuman mati” bagi rakyat Israel dan Gaza. Sebab, dengan gencatan senjata berarti Hamas masih tetap hidup dan masih akan terus berusaha memusnahkan Israel dan Yahudi. Jika negara-negara anggota PBB menginginkan gencatan senjata, kata Erdan, mereka harus berbicara dengan Hamas di Gaza.
Sebagai tanda kekhawatiran dunia atas konflik yang terjadi, yang kini memasuki bulan ketiga, Australia, Kanada, dan Selandia Baru menyatakan mereka mendukung upaya komunitas internasional menuju gencatan senjata yang berkelanjutan dan menyatakan kekhawatiran atas penderitaan warga sipil di Gaza.
Ketiga negara itu mendukung hak rakyat Palestina untuk menentukan rakyatnya sendiri, tetapi Hamas tidak boleh berperan dalam pemerintahan Gaza di masa depan.
Sementara itu dari Gaza dilaporkan, bentrokan sengit masih terjadi di daerah Zaytoun, Shijaiya, dan Jabaliya. Puluhan ribu warga Palestina masih berada di Gaza utara, berkerumun di rumah-rumah atau sekolah-sekolah PBB yang kini menjadi tempat penampungan warga yang mengungsi.
Di luar kota Gaza, pasukan Israel meledakkan sekolah yang dikelola UNRWA. Direktur UNRWA Phillippe Lazzarini mengonfirmasi peledakan itu dan menyebutnya ”keterlaluan”. Belum ada komentar langsung dari militer Israel. Israel juga mulai membanjiri beberapa terowongan yang diduga digunakan Hamas.
Baca juga: PBB: Jeda Kemanusiaan Perkara Hidup-Mati Jutaan Warga Palestina
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengisyaratkan fase pertempuran darat dan serangan udara bisa berlangsung selama berminggu-minggu dan aktivitas militer lebih lanjut bisa sampai berbulan-bulan. Pemerintahan Biden mengatakan Israel tidak boleh kembali melakukan pendudukan militer dan Otoritas Palestina yang diakui secara internasional harus memerintah Gaza ketika pembicaraan dilanjutkan mengenai pembentukan negara Palestina di samping Israel.
Netanyahu tampaknya dengan tegas mengesampingkan hal itu dan mengakui ada perbedaan pendapat mengenai apa yang akan terjadi dan dilakukan setelah Hamas berhasil dihancurkan.
”Saya tidak akan membiarkan Israel mengulangi kesalahan Oslo,” kata Netanyahu, mengacu pada proses perdamaian pada tahun 1990-an yang membentuk Otoritas Palestina. Otoritas Palesina mengatur wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel dan memerintah Gaza hingga pengambilalihan Hamas pada 2007. (REUTERS/AFP/AP)