Mandela, Arafat, dan Solidaritas kepada Rakyat Palestina
Nelson Mandela menganggap Yasser Arafat dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) adalah rekan seperjuangan. Mandela pernah mengatakan, kebebasan Afrika Selatan dari apartheid tak lengkap tanpa kemerdekaan Palestina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Hanya dua pekan berselang setelah dibebaskan dari penjara, Februari 1990, Nelson Mandela melakukan kunjungan ke beberapa negara Afrika. Di Lusaka, Zambia, 27 Februari 1990, Mandela bertemu dengan sosok yang dikaguminya dan dianggapnya sebagai saudara seperjuangan, Yasser Afarat. Saat bertemu, keduanya berpelukan erat.
Pertemuan kedua tokoh tersebut sangat istimewa. Dalam perjuangan masing-masing, mereka saling memberi dukungan. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Arafat adalah pendukung setia perjuangan anti-apartheid yang dipimpin Mandela. Selama beberapa dekade, Mandela melawan pemerintahan minoritas kulit putih dan kebijakan apartheidnya.
Begitu juga sebaliknya dengan Mandela. Dari balik jeruji penjara, ia tetap mengumandangkan dukungannya terhadap perjuangan Palestina untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri. Banyak warga Afrika Selatan melihat persamaan antara PLO dan perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel.
Dukungan Mandela terhadap perjuangan Arafat dan rakyat Palestina dikumandangkannya saat diundang berbicara dalam pertemuan di City College, New York City, AS, 21 Juni 1990. Di dalam ruangan yang dipadati oleh warga dari berbagai kalangan, Mandela menyatakan pihaknya mengidentifikasi diri dengan PLO karena sama-sama memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri.
”Kami menganggap Arafat adalah rekan seperjuangan. Dan kami memperlakukannya seperti itu,” kata Mandela dalam pertemuan yang disiarkan langsung stasiun televisi ABC saat itu.
Hubungan erat antara Mandela dan Arafat menjadi salah satu memori yang terpatri di kalangan warga Afrika Selatan saat memperingati 10 tahun wafatnya Mandela. Sepuluh tahun lalu, pada 5 Desember, Mandela—pemimpin gerakan anti-apartheid dan pemimpin kulit hitam pertama di Afrika Selatan—wafat dalam usia 95 tahun.
Pada 3-5 Desember ini, Kongres Nasional Afrika (ANC), yang dulu pernah dipimpin Mandela, menggelar konferensi solidaritas untuk Palestina di Johannesburg, Afrika Selatan.
Tujuh tahun kemudian, ketika berbicara di negaranya sendiri, Mandela juga menyebut bahwa kemerdekaan rakyat Afrika Selatan, khususnya dari apartheid, tidak lengkap tanpa kemerdekaan yang masih terus diperjuangkan oleh rakyat Palestina. Dukungan itu masih kuat hingga saat ini.
”Kami beruntung bahwa dengan dukungan mereka (PLO) kami bisa mencapai kebebasan kami. Kakek saya mengatakan, kebebasan kami tidak lengkap tanpa perjuangan rakyat Palestina,” kenang Mandla Mandela, cucu Mandela, dalam sebuah wawancara peringatan 10 tahun kematian tokoh gerakan anti-apartheid itu.
Kakek saya mengatakan, kebebasan kami tidak lengkap tanpa perjuangan rakyat Palestina. (Mandla Mandela)
Dukungan bagi gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina tak berhenti meski Mandela telah wafat, 10 tahun lalu. Pada tanggal 3 hingga 5 Desember 2023, Mandla Mandela, yang juga seorang anggota parlemen Kongres Nasional Afrika (ANC), menjadi tuan rumah konferensi solidaritas untuk Palestina di Johannesburg, Afrika Selatan.
Pertemuan itu dihadiri oleh perwakilan kelompok Hamas. Hamas dianggap sebagai pemicu semua kekerasan yang terjadi di wilayah Israel, tidak hanya oleh Pemerintah Israel, tetapi juga oleh negara-negara pendukungnya, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 membuat Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza dan menyatakan akan membasmi kelompok itu sampai ke akar-akarnya.
Presiden Afsel Cyril Ramaphosa menyatakan, ANC berjalan beriringan dengan perjuangan rakyat Palestina. Sejarah keduanya menautkan Afsel dan Palestina.
”Mereka (rakyat Palestina) adalah orang-orang yang berada di bawah pendudukan selama hampir 75 tahun. Mereka telah menunggu dan melancarkan perang melawan pemerintah yang dijuluki negara apartheid. Solidaridas kami bersama mereka,” kata Ramaphosa, dikutip dari laman BBC.
Obed Bapela, Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional ANC, mengatakan bahwa rakyat Palestina belum menikmati sepenuhnya kebebasan atas tanah mereka. Bahkan, sebaliknya, tanah tempat tinggal mereka yang telah dihuni sejak beberapa generasi satu per satu dicaplok. Tidak jarang dengan kekerasan bersenjata. ”Sesuatu yang juga kami pernah hadapi di Afsel,” katanya.
Berbagai norma internasional, termasuk resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dikeluarkan untuk menunda atau bahkan menghentikan pembangunan permukiman warga Yahudi di atas tanah milik warga Palestina. Akan tetapi, Israel bergeming.
Analis politik stasiun televisi Al Jazeera, Marwan Bishara, menyebut bahwa apa yang dialami warga Palestina saat ini tidak berbeda dengan kondisi rakyat Afrika Selatan ketika apartheid masih merajalela.
Zionisme yang dikobarkan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menurut Bishara, tidak berbeda dengan politik apartheid di Afsel yang membuat konflik secara terus-menerus, pembersihan etnis, perampasan, dan pengusiran jutaan warga dari tempat kelahirannya.
Para pakar HAM sepakat dengan Bishara, termasuk organisasi pegiat HAM Amnesty Internasional, dan mantan Direktur Mossad 2011-2016 Tamir Pardo.
Israel membantah tuduhan tersebut dan menilainya sebagai tindakan antisemitisme. Beberapa komunitas Yahudi di Afrika Selatan mengkritik pendirian ANC dan menyatakan bahwa Mandela pada akhirnya mencoba membangun jembatan dengan Israel. Partai oposisi Afsel, Aliansi Demokratik, juga bersikap berbeda dengan pemerintahan Ramaphosa.
Namun, warga Afsel berpegang teguh pada sikapnya, sejalan dengan pandangan dan sikap yang diturunkan Mandela. ”Itu adalah sesuatu yang dia (Mandela) tidak pernah kompromikan dan kami juga tidak boleh berkompromi," kata Lebogang Mashile, penyair dan penulis Afsel. (REUTERS)