Untuk Sesaat, di Palestina dan Israel, Semua Bergembira
Cerita sandera warga Israel mengungkap perlakuan Hamas tak seburuk dibayangkan. Kontras dengan cerita tahanan Palestina.
Tiada kata-kata yang tepat untuk melukiskan kebahagiaan saat melihat orang-orang terkasih akhirnya kembali ke pangkuan keluarga. Hanya tangisan kegembiraan dan puja-puji bagi semua pihak yang membantu pembebasan di tengah ketidakpastian jeda kemanusiaan dan nasib Gaza yang masih suram.
Ohad Munder (9) melambaikan tangan, mengenali sosok sang ayah dan mendekat ke pelukannya. Hampir 1,5 bulan lamanya dia tak bersua dengan ayah dan keluarganya setelah kelompok Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober. Bersama ratusan sandera, ia dibawa ke terowongan bawah tanah oleh mereka yang menangkapnya.
Ohad Munder tidak sendirian. Menurut paman si bocah, Merah Raviv, keponakannya itu dibawa pergi bersama sepupunya, Keren, dan bibinya, Ruth Munder, oleh sekelompok orang. Ketiganya sudah dibebaskan Hamas, Jumat (24/11/2023).
”Tinggal satu orang lagi yang belum dibebaskan, Abraham. Kami sekeluarga berharap Abraham dan warga Israel lain segera dibebaskan,” kata Raviv.
Baca juga : Keluarga Sandera yang Dilepas Hamas: Kebaikan Menjadi Penyelamat
Tak lama setelah dibebaskan, Ohad Munder mendapat kunjungan kawan-kawan sekolahnya. Mereka merayakan ulang tahun Ohad Munder yang ke-9 di bangsal rumah sakit. Di sana mereka makan piza dan es krim sepuasnya.
Salah satu teman Ohad Munder, Eitan Vilchik, menuturkan, Ohad Munder sudah ”kuat secara emosional” dan sudah bisa menjawab pertanyaan mereka soal apa yang dia makan dan apa yang terjadi padanya saat disandera. Namun, teman-teman Ohad Munder tidak mau bercerita secara rinci dengan alasan menghormati privasinya.
Vilchik mengatakan, para guru di sekolah mereka sudah membatalkan tugas pekerjaan rumah (PR) Ohad Munder. Meski demikian, ia dan teman-temannya akan membantu mengerjakan mata pelajaran yang dia lewatkan gara-gara disandera. Menurut Vilchik, setelah lepas dari penyanderaan, Ohad Munder masih bisa menyelesaikan permainan kubus rubik dalam waktu kurang dari 1 menit.
Hingga hari keempat jeda kemanusiaan, Senin (27/11/2023), Hamas telah membebaskan 50 warga Israel, 1 warga berkewarganegaraan Rusia-Israel, 17 warga Thailand, dan 1 sandera asal Filipina. Mereka ditukar dengan 150 tahanan Palestina di penjara-penjara Israel.
Jeda kemanusiaan dimulai pada Jumat sebagai kesepakatan antara Hamas dan Israel dengan mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat. Sesuai kesepakatan, untuk setiap satu sandera yang dibebaskan Hamas, Israel akan membebaskan tiga tahanan Palestina.
Pada Senin malam waktu setempat, Israel dan Hamas setuju memperpanjang jeda kemanusiaan sampai Rabu (29/11/2023). Perpanjangan disepakati setelah tambahan pembebasan tawanan dan sandera disetujui para pihak.
Baca juga : Israel-Hamas Perpanjang Jeda Kemanusiaan sampai Rabu
Perpanjangan jeda kemanusiaan ini diungkap selepas Hamas setuju membebaskan hingga 20 anak dan perempuan sipil yang disanderanya. Sebagai imbalan, Hamas meminta 60 anak dan perempuan Palestina dibebaskan dari tawanan Israel.
Keterbatasan di terowongan
Banyak pihak meyakini, warga Israel yang disandera Hamas ditahan di persembunyian terowongan bawah tanah di Gaza. Lokasinya tersembunyi jauh di bawah tanah. Di atas permukaan tanah, Israel menggempur Gaza hingga hancur lebur, menewaskan sedikitnya 13.300 warga Palestina.
Dalam kondisi tersebut, pasokan bahan makanan ke Gaza, termasuk di persembunyian Hamas, sangat terbatas. Para sandera pun menyusut bobotnya hingga beberapa kilogram.
Melalui keluarga, mereka bercerita bagaimana mereka kerap kali hanya makan roti dan nasi serta tidur di atas kursi-kursi plastik yang disatukan. Mandi pun repot karena kadang menunggu berjam-jam untuk dapat giliran.
Gambaran lengkap situasi terowongan dituturkan Yocheved Lifshitz (85), salah satu warga Israel yang dibebaskan awal, sebelum jeda kemanusiaan. Dia mengatakan ditahan di dalam terowongan seperti jaring laba-laba yang membentang di bawah Gaza. Para penyandera memberi tahu mereka, penyandera adalah orang-orang yang percaya pada Al Quran dan tidak akan menyakiti sandera.
Baca juga : Asa Perpanjangan Jeda Kemanusiaan di Gaza
Terowongan yang dia lalui cukup besar untuk membawa masuk pupuk, ternak, barang elektronik, semen, bahkan mobil sedan Mercedes-Benz yang sudah dibongkar, dan persenjataan. Terowongan tidak sekadar tempat untuk numpang lewat alias transit, tetapi di dalamnya juga memiliki ruangan, aula, dan gudang.
”Kami berjalan sampai beberapa kilometer di bawah tanah yang lembap. Banyak sekali terowongannya, seperti jaring laba-laba. Saya diturunkan di ruangan besar. Waktu itu ada 25 orang di situ,” kata Lifshitz.
Kami berjalan sampai beberapa kilometer di bawah tanah yang lembap. Banyak sekali terowongannya, seperti jaring laba-laba.
Saking dalamnya, yang diduga bisa mencapai kedalaman hingga 80 meter di bawah Gaza, hanya ada kegelapan total. Israel memperkirakan saat ini setidaknya ada 1.300 terowongan yang membentang sejauh kira-kira 483 kilometer melintasi Jalur Gaza yang panjangnya 40,2 kilometer.
Baca juga : Terowongan, Penentu Perang Hamas-Israel
Israel menggambarkan terowongan Hamas sebagai salah satu jaringan bawah tanah paling rumit di dunia dan berisiko tinggi untuk tertangkap atau terbunuh. Saking banyaknya terowongan di dalam tanah, Israel menyebutnya ”Metro Gaza” (Kompas.id, 7 November 2023).
Baca juga : Jalan Panjang Penuh Rahasia Menuju Jeda Pertempuran Hamas-Israel
Sandera diperlakukan dengan baik dan menerima perawatan medis, termasuk pengobatan. Para penjaga di terowongan menjaga kondisi ruangan tetap bersih. Para sandera diberi makan satu kali sehari berupa keju, mentimun, dan roti pita. Para penyandera juga makan makanan yang sama.
Saking lamanya berada di terowongan, Adina Moshe (72) harus menutup mata dan menyesuaikan diri kembali dengan sinar matahari. ”Selama tujuh minggu di sekitarnya gelap total. Dia juga berjalan dengan menunduk karena berada di dalam terowongan. Selama disandera, dia benar-benar terputus dari dunia luar,” kata Eyal Nouri, keponakan Moshe.
Sandera diperlakukan dengan baik dan menerima perawatan medis, termasuk pengobatan.
Moshe tidak tahu hingga saat-saat terakhir bahwa dirinya akan dibebaskan. ”Sampai dia melihat sendiri ada anggota Palang Merah, barulah dia sadar bahwa pengalaman mengerikan ini sudah berakhir,” kata Nouri. Moshe mendapat kabar keluarga anaknya selamat, tetapi suaminya tewas dalam serangan Hamas ke Israel selatan, 7 Oktober 2023.
Cerita keluarga Palestina
Cerita bahagia juga datang dari keluarga Palestina yang anak ataupun sanak saudaranya dibebaskan setelah bertahun-tahun ditahan oleh aparat Israel. Tak jarang, mereka ditahan tanpa tuduhan apa pun. Bahkan, saat pembebasan pun, keluarga masih juga diteror aparat keamanan Israel.
Aparat Israel mengancam sang ayah, Jawdat, agar tidak memperlihatkan kegembiraan atas pembebasan putrinya. Pasukan Israel memblokade semua akses masuk ke lingkungan rumah keluarga Bakeer. Mereka juga menempatkan tentara di depan rumah, memastikan tidak ada kelompok yang berkumpul.
Qadura Fares, Perkumpulan Tahanan Palestina, mengatakan bahwa Pemerintah Israel menetapkan beberapa syarat yang melarang para tahanan yang dibebaskan dan keluarga mereka untuk berbicara kepada pers, menerima tamu di rumah, atau membagikan permen dalam perayaan. Mereka yang tidak mematuhi aturan bisa didenda sekitar 70.000 shekel (18.740 dollar AS atau sekitar Rp 290 juta).
Baca juga : China dan Angan Perdamaian di Palestina
Tekanan dan teror tak menghalangi keluarga Bakeer untuk bergembira saat melihat kehadiran kembali putrinya, Marah Bakeer, di rumahnya di Jerusalem. Air mata tak bisa berhenti mengalir dari kedua mata Sawsan, sang ibu, ketika akhirnya Marah tiba di rumah mereka, Sabtu (25/11/2023) malam. Sawsan berlari menuruni tangga dan langsung memeluk erat putrinya yang hampir delapan tahun berada di penjara Israel.
”Sudah kubilang dia cantik,” kata Sawsan kepada sejumlah wartawan yang datang ke rumahnya malam itu, sambil memeluk dan menghujani putrinya ciuman tanpa henti.
Seperti dilaporkan laman Al Jazeera, Marah terpaksa meninggalkan bangku sekolah setelah pasukan Israel menembak dan menangkapnya karena ia diduga mencoba menikam seorang aparat Israel ketika pulang sekolah, 12 Oktober 2015. Sebanyak 12 tembakan aparat Israel mengenai lengan dan tangannya, menyebabkan cacat permanen. Atas dugaan tindakan itu, dia dijatuhi hukuman delapan tahun enam bulan penjara.
”Penjara sangat sulit karena saya masih sangat muda. Tapi, semua memberikan dukungan,” ujarnya.
Saat serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023 terjadi, Marah bersama sejumlah tahanan Palestina lainnya dipindahkan ke penjara lain, yaitu di Jalame. Dia ditempatkan dalam sebuah sel isolasi.
Selama enam pekan dia tidak berhubungan dengan siapa pun dan tidak menerima informasi apa pun. Dia dikeluarkan dari sel, Rabu pekan lalu, dan baru diberi tahu pada Jumat (24/11/2023) bahwa dirinya menjadi bagian daftar tahanan yang akan dibebaskan sesuai kesepakatan pertukaran tawanan antara Hamas dan Israel.
Meski senang bisa berkumpul dengan keluarganya, Marah mengaku sedih karena kebebasannya harus ”dibayar” dengan pengorbanan belasan ribu warga Palestina di Gaza. ”Saya sangat senang. Akan tetapi, saya merasa terpukul dengan bagaimana kesepakatan itu tercapai dengan mengorbankan nyawa saudara-saudari kita di Gaza,” ujarnya.
Baca juga : PBB: Jeda Kemanusiaan Perkara Hidup-Mati Jutaan Warga Palestina
Kegembiraan juga tampak dari wajah Israa Jabis setelah menghabiskan waktu delapan tahun di penjara. Dia agak malu-malu ketika dipeluk seorang remaja laki-laki, yang ditinggalkannya saat masih berusia 7 tahun.
”Aku agak malu untuk memeluknya karena dia sudah menjadi laki-laki. Tapi, ketika dia memanggilku ’Ibu’, aku mengingatnya kembali saat dia masih bocah,” kata Israa, kepada Al Jazeera.
Setelah serangan 7 Oktober, perlakuan aparat Israel terhadap para tahanan Palestina semakin buruk. Selain membawa sejumlah tahanan ke ruang isolasi, menurut pengakuan Israa, aparat juga melemparkan gas air mata ke sel tahanan warga Palestina.
Israa ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara karena dituding sebagai pelaku bom bunuh diri, delapan tahun silam. Ia ditangkap setelah tabung gas di dalam kendaraan yang ditumpanginya meledak. Dia sendiri mengalami luka bakar cukup parah.
Israa mengungkapkan, luka bakarnya tidak mendapat perawatan layak dari tim medis di penjara Israel. ”Rasa sakit yang saya rasakan sudah bisa terlihat dari penampilan saya. Tapi, rasa sakit itu terbayar hari ini,” tutur Israa.
Baca juga : Kemanusiaan Sedang Berlibur dari Sekitar Gaza
Dia menuturkan, setelah serangan 7 Oktober, perlakuan aparat Israel terhadap para tahanan semakin buruk. Selain membawa sejumlah tahanan ke ruang isolasi, menurut pengakuan Israa, aparat juga melemparkan gas air mata ke sel tahanan warga Palestina. ”Kondisiku baru membaik sekitar sepekan lalu,” ujar Israa.
Israa dan Marah hanyalah sebagian kecil dari sekitar 8.000 warga Palestina yang masih berada di berbagai penjara di Israel, termasuk 3.000 orang yang baru ditahan pascaserangan Hamas ke Israel, 7 Oktober.
Jeda kemanusiaan Hamas dan Israel telah disepakati untuk diperpanjang hingga Rabu (29/11/2023). Semua berharap jeda kemanusiaan itu bisa diperpanjang lagi, syukur-syukur bisa menjadi gencatan senjata permanen. Dengan begitu, paling tidak, kegembiraan ini tak lenyap dalam sekejap. (AP/REUTERS/RAZ)