Para Politisi Penantang Uni Eropa Kesulitan Membangun Koalisi
Selama kampanye, sejumlah partai dan politisi menunjukkan penolakan pada imigran dan kebijakan Uni Eropa. Sayangnya, hasil pemilu tidak memberi mereka cukup suara untuk bisa membentuk pemerintahan.
Oleh
IWAN SANTOSA, KRIS MADA
·3 menit baca
Para politisi penantang Uni Eropa di Belanda dan Polandia kesulitan menggalang koalisi untuk membentuk pemerintahan. Meski demikian, partai kanan terus memenangi pemilu di berbagai anggota Uni Eropa.
Politisi Partai Kebebasan Belanda atau PVV Gom van Strien mundur dari tugas pelobi partai pemenang pemilu Belanda itu. Ia ditugasi melobi partai lain setelah partai pimpinan Geert Wilders itu meraih kursi terbanyak di pemilu Belanda.
Seharusnya, Van Strien memulai tugas sebagai perunding pada Senin (27/11/2023) sore. Ternyata, pada Senin pagi, ia mengumumkan mundur dari tugas itu.
Ia mengaku ingin fokus menyelesaikan urusan pribadinya. Pekan lalu, beredar kabar ia diduga memalsukan sejumlah hal selama menjadi pebisnis.
Pengumuman Van Strien mengacaukan upaya Wilders menggalang dukungan untuk menjadi Perdana Menteri Belanda. PVV butuh sokongan sekurangnya 36 anggota parlemen dari partai lain agar Wilders bisa menjadi PM. Sebab, PVV hanya meraih 34 dari 150 kursi parlemen Belanda, Tweede Kamer.
Tolak bergabung
Sejauh ini, Partai Kebebasan dan Demokrasi (VVD) dan Partai Kontrak Sosial (NSC) telah menyatakan tidak akan berkoalisi dengan PVV. VVD dan NSC meraih masing-masing 24 dan 20 kursi di parlemen.
Ketua NSC Pieter Omtzigt mengatakan, tidak dapat mendukung kebijakan yang berlawanan dengan Konstitusi Belanda. Dalam Pasal 1 Konstitusi Kerajaan Belanda ditegaskan, diskriminasi dilarang keras dengan dasar perbedaan agama, kepercayaan, pandangan politik, ras, jenis kelamin, difabilitas, dan orientasi seksual.
Adapun dalam kampanyenya, PVV dan Wilders jelas menyatakan sikap antiimigran. Padahal, istri Wilders imigran dari Hongaria. Neneknya dari pihak ibu merupakan orang Indonesia. Wilders sudah bertahun-tahun menjauh dari keluarga ibunya.
Wilders dan sejumlah politisi PVV juga menunjukkan penolakan pada keputusan UE mendukung Ukraina. Jika menjadi PM, ia berjanji menghentikan bantuan untuk Ukraina dan menampung pengungsi Ukraina.
Pemerintahan sementara
Kesulitan membangun koalisi juga terjadi di Polandia. Presiden Polandia Andrej Duda memutuskan melantik pemerintahan sementara pada Senin. Keputusan itu menyusul kegagalan Mateusz Morawiecki dan Donald Tusk membentuk pemerintahan hingga 1,5 bulan sejak pemilu selesai.
Selepas pemilu 15 Oktober 2024, Partai Hukum dan Keadilan (PiS) pimpinan Morawiecki hanya meraih 194 kursi. Adapun Koalisi Sipil pimpinan Tusk mendapatkan 157 kursi dari 460 kursi majelis rendah Polandia, Sjem. Pada 10 November 2023, koalisi Tusk menggandeng koalisi Jalan Ketiga yang meraih 65 kursi.
Kami ingin menunjukkan, pemerintahan bisa dijalankan dengan cara berbeda.
Meski demikian, Tusk, yang pernah jadi Ketua Komisi Eropa itu, tidak diberi kesempatan pertama membentuk pemerintahan. Tradisi politik Polandia memang memberikan peraih kursi terbanyak di parlemen kesempatan pertama membentuk pemerintahan.
Untuk membentuk pemerintahan, dibutuhkan sokongan setidaknya 231 anggota parlemen. Duda, yang sejak lama menjadi sekutu Morawiecki, memutuskan memberi PiS kesempatan pertama membentuk pemerintahan.
Namun, pemerintahan itu hanya akan bertahan paling lama pertengahan Desember 2023 karena Morawiecki tidak punya cukup dukungan di parlemen.
Ketua Umum PiS Jaroslaw Kaczynski mengatakan, kabinet seharusnya diisi lebih banyak teknokrat dibandingkan dengan politisi. ”Kami ingin menunjukkan, pemerintahan bisa dijalankan dengan cara berbeda,” ujarnya.
Upaya PiS menggandeng politisi dari partai lain belum berhasil. Partai lain menuding PiS tidak mendukung kebijakan dan nilai Uni Eropa di Polandia.
Tren kemenangan penantang UE bukan hanya di Belanda dan Polandia. Italia dan Slowakia lebih dulu dikuasai politisi yang menolak UE.
Sementara itu, kampanye di Jerman, Perancis, dan Spanyol juga diwarnai penolakan pada kebijakan UE. Sebab, UE dinilai mengutamakan imigran dan nilai-nilai yang bukan asli Eropa. ”Kondisi ekonomi dan rasa ketidakamanan masyarakat memberi keuntungan kepada partai kanan," kata peneliti pada Sciences Po Paris, Gilles Ivaldi. (AFP/REUTERS)