China dipandang negara global selatan bisa berperan mewujudkan damai di Palestina. Namun, sejumlah kendala menghadang.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan sekutu-sekutu Baratnya tidak bisa mengendalikan tindakan Israel terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza. Mereka seakan ”memberi lampu hijau” untuk tindakan yang dipandang sebagai genosida rakyat Palestina. Situasi itu membuat banyak pihak, termasuk negara-negara Islam dan negara global south, mencari alternatif untuk membantu menyudahi krisis Gaza.
China yang berhasil menengahi ”perseteruan” Iran dan Arab Saudi dinilai memiliki modal cukup untuk kembali memainkan peran di kawasan Timur Tengah. Pengakuan pada kapasitas China ditandai dengan permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas kepada Presiden China Xi Jinping agar Beijing memediasi serta mendorong solusi perdamaian abadi di Palestina.
Sebagai kekuatan global yang saat ini menjadi sorotan, China tentu tertantang. Kemauan Beijing menjadi mediator Iran-Saudi memberi gambaran sikap China untuk Timur Tengah. Sikap tersebut tidak terlepas dari sejarah China.
Pada periode 1950-an hingga menjelang awal 1980-an, Beijing memandang situasi yang tengah dialami Palestina dan negara-negara Arab di Timur Tengah sama dengan yang tengah dialaminya.
Hayati Nufus, peneliti China pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, kesamaan nilai dan situasi membuat China memberikan dukungan yang kuat terhadap perjuangan rakyat Palestina. Dia menjelaskan, dukungan kuat China terhadap perjuangan Palestina terlihat ketika China dipimpin Mao Zedong. Mao menganggap perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan tanah airnya adalah sebuah bentuk gerakan pembebasan. ”Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan China saat Mao memimpin,” katanya.
John K Cooley, jurnalis AS, dalam tulisannya soal China dan Palestina yang dimuat di Jurnal Studi Palestina tahun 1972 menyatakan, Mao menyebut persamaan antara negara-negara Timur Tengah dan China adalah sama-sama menentang praktik imperialisme yang dijalankan Barat.
”Imperialisme takut terhadap China dan Arab. Israel dan Formosa adalah basis imperialisme di Asia. Anda adalah gerbang depan benua besar, dan kami adalah gerbang belakang. Tujuan mereka sama. Asia adalah benua terbesar di dunia dan negara-negara Barat ingin terus mengeksploitasinya. Barat tak menyukai kita, dan kita harus memahami fakta ini. Pertempuran Arab melawan Barat adalah pertempuran melawan Israel. Maka boikotlah Eropa dan Amerika wahai bangsa Arab!” kata Mao.
Hal itu disampaikan Mao saat menerima delegasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang berkunjung ke Beijing, Maret 1965. Lantas, pernyataan Mao itu tecermin dalam berbagai kebijakan China terhadap Palestina, baik bilateral maupun multilateral. Di era Perdana Menteri Zhou Enlai, tahun 1964, China bahkan menawarkan senjata dan perlengkapan militer. Ia pun menawarkan sukarelawan untuk memperjuangkan Palestina.
”Kapan pun Anda siap, katakan, Anda akan melihat kami siap. Kami bersedia memberi Anda apa saja: senjata dan sukarelawan,” kata Enlai, dikutip dari buletin informasi yang dikeluarkan Kedubes China di Kairo, Mesir, tahun 1964.
Namun, seiring waktu dan perkembangan geopolitik kawasan dan global, sikap China berubah. Yang Chen, Direktur Eksekutif Pusat Studi Turki di Universitas Shanghai, yang mendalami hubungan Palestina-China, mengatakan, perbedaan sikap di lingkup negara-negara Timur Tengah membuat Beijing saat itu ragu-ragu memberikan dukungan. Terbelahnya faksi-faksi dalam tubuh kelompok perlawanan Palestina turut membuat Beijing mundur. Faktor lain adalah lahirnya Perjanjian Camp David.
Dinamika itu membuat Beijing mulai mempertimbangkan untuk bersikap proporsional dan cenderung berimbang antara Palestina dan Israel. Pada saat yang sama, Israel juga terus berupaya menjalin kontak dengan Beijing.
Imaji peran China
Meskipun demikian, publik tidak benar-benar melupakan kapabilitas China. Klaus Radityo, pengamat China dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengatakan, normalisasi hubungan Iran-Saudi membuka mata dunia bahwa China memiliki daya untuk menjadi aktor penting di kawasan, termasuk terlibat dalam proses perdamaian Palestina-Israel.
Rasa frustrasi yang tinggi negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membuat mereka kembali mengalihkan pandangan kepada Beijing. Jika Tajuk Rencana Global Times menyebut keinginan sebagai penengah adalah ”ruang imajinasi”, Klaus menyebutnya harapan banyak negara agar Beijing berperan lebih aktif.
Namun, di sisi lain, Klaus memandang ada alasan penting selain sekadar menjadi penengah. Alasan keterlibatan China dalam isu Palestina-Israel, menurut dia, sama dengan alasan saat mereka memediasi Iran- Saudi, yaitu mengamankan pasokan minyak. China diketahui adalah konsumen besar minyak asal Saudi dan Iran. Sepertiga kebutuhan tahunan minyak China dipasok kedua negara.
Kepentingan China saat ini, kata Klaus, adalah bagaimana agar konflik terbuka di Palestina tidak meluas ke negara-negara tetangga di Timur Tengah, dan mengancam keamanan pasokan energi China. Kedua adalah soal pengaruh ke Timur Tengah. Akan tetapi, dalam konteks Palestina-Israel, Klaus melihat China tidak akan mudah untuk masuk dan terlibat sebagaimana Qatar dan AS.
Qatar, menurut Klaus, memiliki hubungan khusus dengan para petinggi Hamas, sementara China belum. Begitu juga dengan AS yang memiliki hubungan erat dengan Israel. Kedekatan Washington dan pemerintahan sayap kanan Israel akan sulit dipatahkan China. ”Kehadiran China tidak akan mudah diterima AS,” ujarnya.
Namun, Ahmed Aboudouh, peneliti pada Program Timur Tengah dan Afrika Utara Chatham House yang berbasis di London, mengatakan, China kemungkinan tak akan mengabaikan peluang untuk terlibat. Menurut dia, China melihat potensi mendelegitimasi peran AS di kawasan Timur Tengah.
Aboudouh mengatakan, seperti halnya Mao menggunakan sentimen anti-Barat, China menggunakan hal ini untuk memobilisasi dukungan global south. Konsolidasi kawasan oleh China salah satunya berhasil ketika Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman berbicara langsung dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi. ”Ini kemenangan bagi China dan inisiatif keamanan global south yang diinisiasi Beijing,” kata Aboudouh.
Namun, Klaus tidak terlalu yakin China ingin menggeser AS. Alasannya, keterlibatan Washington sudah sangat mengakar. Dia meyakini China tidak akan terlalu jauh masuk dan terlibat, menusuk ke lapangan permainan yang sepenuhnya dikuasai AS.
Dia menilai Beijing akan bersikap menunggu. Peluang yang mungkin dilakukan China secara langsung adalah rekonstruksi Gaza. Hal itu bisa dilakukan dengan memasukkan Palestina dan Israel dalam lingkup kerja sama Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.