Salah satu kelemahan ASEAN yang harus direformasi adalah pembuatan kebijakan berdasarkan konsensus. Sebagian reformasi sudah diupayakan pada masa keketuaan Indonesia.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat memiliki perhatian dan harapan cukup tinggi pada berbagai kebijakan ASEAN yang berdampak positif pada kehidupan mereka di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Namun, di tengah tantangan global, ASEAN harus terus berupaya menyesuaikan diri dengan dinamika global yang makin kompleks.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar Refleksi dan Capaian Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 yang diselenggarakan Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Selasa (21/11/2023). Hadir dalam kegiatan itu Kepala BSKN Yayan GH Mulyana, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Sidharto Suryodipuro, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Isu Khusus dan Analisis Data Edi Suharto, peneliti rekanan senior pada Pusat Studi ASEAN ISEAS-Yushof Ishak Institute Julia P Tijaja, dan Wakil Direktur Eksekutif CSIS Shafiah F Muhibat.
Harapan terhadap ASEAN terlihat dari jajak pendapat oleh BSKLN Kemenlu bekerja sama dengan Litbang Kompas selama masa keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023. Penelitian dilakukan dua kali, yakni pada 26-28 April sebelum KTT ASEAN Labuan Bajo dan pada 11-13 September setelah KTT ASEAN di Jakarta.
Dalam pemaparannya, Edi menjelaskan, sebanyak 73,8 persen responden jajak pendapat setelah KTT ASEAN menilai Indonesia berhasil menjalankan fungsinya sebagai Ketua ASEAN. Sebanyak 15,7 persen menyebut Indonesia belum berhasil dan 10,5 persen menyatakan tidak tahu.
Dari responden yang menyatakan belum berhasil, 58 persen di antaranya menyebut alasan utamanya adalah Indonesia belum mendapat banyak manfaat. Sebanyak 33,3 persen beralasan masih banyak permasalahan antarnegara dan 3,7 persen menilai Indonesia belum dipandang oleh negara lain. Alasan lain yang tidak dijelaskan detail dalam pemaparan.
Dari responden yang menyatakan belum berhasil, 58 persen di antaranya menyebut alasan utamanya adalah Indonesia belum mendapat banyak manfaat. Sebanyak 33,3 persen beralasan masih banyak permasalahan antarnegara dan 3,7 persen menilai Indonesia belum dipandang oleh negara lain. Alasan lain yang tidak dijelaskan detail dalam pemaparan.
Responden yang menyatakan Indonesia berhasil, menilai keketuaan Indonesia berhasil mengangkat berbagai isu politik, keamanan, ekonomi, dan sosiokultural untuk kemajuan ASEAN ke depan. Dasar penilaian mereka adalah Indonesia diperhitungkan oleh negara-negara lain.
Penyelenggaraan acara KTT ASEAN, baik di Labuan Bajo maupun Jakarta, pun tergolong sukses tanpa kendala berarti. Indonesia juga mampu mendorong KTT ASEAN untuk menghasilkan beberapa kesepakatan yang menjadi komitmen bersama.
Shafiah mengatakan, temuan jajak pendapat BSKLN dan Litbang Kompas itu sejalan dengan hasil survei yang pernah dilakukan oleh ISEAS-Yusof Ishak dan dirilis pada Februari 2023. Saat kawasan Asia Tenggara dipandang sebagai arena pertarungan negara-negara besar, ASEAN dinilai terpecah, lambat, dan tidak efektif. ASEAN juga dinilai tidak mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
”Ada harapan positif tentang ASEAN meski harus diakui banyak juga masalah dalam ASEAN,” katanya.
Shafiah menambahkan, peran Indonesia sangat sentral dalam ASEAN. Dalam berbagai hal, Indonesia memiliki peran signifikan. Indonesia tidak jarang menjadi motor perbaikan di dalam tubuh organisasi dan kebijakannya.
Ia menyebut salah satu kelemahan ASEAN yang harus direformasi adalah pembuatan kebijakan berdasarkan konsensus. Sebagian reformasi sudah diupayakan pada masa keketuaan Indonesia. Shafiah mengatakan, selama ini, negara-negara anggota ASEAN terlalu kaku dalam pembuatan kebijakan sehingga selalu berdasarkan konsensus. Di tengah tantangan yang semakin kompleks, menghasilkan keputusan berdasarkan konsensus bisa memakan waktu lama.
”Munculnya troika mungkin salah satu terobosan, termasuk memindahkan keketuaan Myanmar ke Filipina. Indonesia mencoba menjawab tantangan itu,” kata Shafiah.
Sidharto menjelaskan, ASEAN mencoba menjawab tantangan tersebut dengan mempermudah proses pembuatan keputusan. Salah satunya melalui percepatan proses konsultasi di antara setiap negara anggota. ”Konsensus tetap menjadi dasar, mufakat tetap, tetapi proses konsultasinya dipercepat,” katanya.
Dia mengatakan, situasi yang dihadapi oleh ASEAN saat ini berbeda dengan situasi yang dihadapi pada era 1980-an atau 1990-an ketika prinsip sentralitas ASEAN belum menjadi dasar bagi pengambilan kebijakan di organisasi ini. ”Sekarang ini sentralitas sudah dipahami oleh semua anggota. Namun, kendalanya mungkin di masalah kesatuan sikapnya. Butuh respons dan cara yang lebih kreatif untuk memikirkan apa yang mungkin bagi setiap negara ASEAN,” kata Arto.
Rencana kerja
Julia mengatakan, dari berbagai draf kesepakatan yang dihasilkan saat keketuaan Indonesia harus ditindaklanjuti menjadi rencana kerja yang detail supaya bisa dilihat dan dirasakan oleh para pemangku kepentingan. Salah satunya kesepakatan bersama ASEAN tentang pembentukan ekosistem kendaraan listrik di ASEAN. Dia menilai hal itu ditunggu-tunggu oleh industri otomotif di Indonesia dan ASEAN.
Yang biasanya terjadi di lingkup ASEAN, menurut Julia, adalah kesulitan dalam menentukan badan mana yang ditugaskan untuk mengemban tugas tersebut. Berbagai langkah taktis yang telah dihasilkan harus direalisasikan meski kecepatan setiap negara berbeda-beda dalam penerapannya.