Sudah 56 tahun keberadaan ASEAN. Tantangan ke depan adalah bagaimana ASEAN mampu memasyarakatkan ASEAN dan menggerakkan partisipasi warga ASEAN untuk mencapai tujuan Komunitas ASEAN.
Oleh
ANIK YUNIARTI
·4 menit baca
Keberadaan ASEAN yang kini berumur 56 tahun menunjukkan dinamika ketahanan organisasi ini dalam menghadapi berbagai tantangan. Tahun ini, di bawah keketuaan Indonesia, ASEAN mengusung tema ”ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. Tema ini memuat aspirasi dan harapan dari Indonesia untuk menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global, dengan investasi dan perdagangan sebagai indikator ekonomi yang penting.
Namun, sejatinya, yang paling diharapkan bisa terwujud dari pencapaian ASEAN selama ini adalah ASEAN bisa memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat negara-negara anggotanya (people oriented). Selama ini terdapat anggapan bahwa ASEAN hanya milik segelintir elite atau para pejabat pemerintahan. Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan sekaligus kritik bagaimana ASEAN mampu memasyarakatkan ASEAN dan menggerakkan partisipasi warga ASEAN untuk mencapai tujuan Komunitas ASEAN.
Masih segar dalam ingatan bagaimana negara-negara ASEAN ditempa konflik, krisis, dan bencana. Beberapa masalah yang menjadi penanda dalam perjalanan ASEAN, antara lain, pandemi Covid-19, masalah hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, dan konflik Laut Cina Selatan. Tantangan-tantangan ini, menguji keberadaan ASEAN sebagai sebuah komunitas.
Keberhasilan atau kegagalan ASEAN dalam menghadapi tantangan menegaskan, apakah pembentukan Komunitas ASEAN telah memberikan manfaat bagi warga ASEAN. Di sisi lain, menjadi penting untuk mempertanyakan sejauh mana masyarakat ASEAN memiliki ”we feeling” terhadap ASEAN atau rasa menjadi bagian dari komunitas ASEAN (sense of community).
Terbentuknya Komunitas ASEAN menandai kemauan bersama untuk menciptakan ikatan negara-negara di Asia Tenggara yang tidak lagi longgar, tetapi semakin mengikat untuk mencapai visi Komunitas ASEAN. Komunitas ASEAN memiliki visi mewujudkan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara yang bersatu, berwawasan ke depan, hidup dalam suasana damai, stabil, aman, dan sejahtera.
Dalam sebuah komunitas, maka sudah seharusnya terdapat rasa memiliki, rasa di mana para anggota komunitas memiliki kepedulian satu sama lain. Juga adanya kepercayaan bahwa kebutuhan para anggotanya dapat dipenuhi melalui komitmen mereka untuk menjadi bersama. Dalam sebuah komunitas, keterikatan yang diwujudkan adalah berupa komitmen atau, perasaan saling menjaga dan berbagi, perasaan saling berpartisipasi, saling memiliki dan keterikatan. Demikianlah prasyarat terwujudnya sebuah komunitas.
Beberapa masalah yang menjadi penanda dalam perjalanan ASEAN, antara lain, pandemi Covid-19, masalah hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, dan konflik Laut Cina Selatan.
Membangun sense of community tidak hanya menuntut keterikatan secara kelembagaan, tetapi menuntut ASEAN bisa menciptakan trust bagi anggotanya, yaitu adanya kepercayaan anggotanya, bahwa dengan menjadi bagian dari komunitas ASEAN, maka kepentingannya bisa terwujud. Percaya bahwa keterlibatan anggotanya dapat menjamin upaya pencapaian tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, yang menjadi urgen untuk diwujudkan adalah adanya kepemilikan “we feeling”, di mana anggotanya saling peduli dan berbagi keyakinan bahwa kebutuhan anggotanya dapat dipenuhi melalui komitmen mereka untuk bersama.
Ujian ASEAN
Beberapa isu telah menjadi batu ujian bagi ASEAN. Pandemi Covid-19 yang telah menimpa negara-negara anggota beberapa waktu lalu kembali menantang kredibilitas ASEAN. Bencana ini telah menuntut ASEAN untuk lebih berkomitmen dengan kebijakan yang people oriented dalam kerangka melindungi warga ASEAN. ASEAN juga ditantang untuk menjaga integritas dan soliditasnya dengan kemampuan merangkul dan menggerakkan semua negara anggota untuk mengatasi pandemi yang menjadi masalah bersama.
Pandemi Covid-19 mengingatkan ASEAN kepada pukulan berat pada 1997 ketika negara-negara ASEAN menghadapi krisis ekonomi. Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak parah dari krisis tersebut. Dalam situasi itu, ASEAN dikritik karena kredibilitasnya sebagai forum kerja sama ekonomi dan integritas serta soliditasnya karena dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah ekonomi anggota saat itu.
Selain pandemi, masalah HAM di Myanmar menjadi tantangan politik tersendiri bagi ASEAN. Isu ini telah menjadi duri dalam daging bagi kerja sama ASEAN. Demokrasi yang menjadi harapan untuk diterapkan dalam kerja sama ASEAN diujikan dalam masalah Myanmar ini. Bagaimana ASEAN bersikap dan bertindak sesuai dengan kesepakatan yang telah dihasilkan untuk melihat kehidupan masyarakat Asia Tenggara yang aman dan stabil dalam lingkungan yang damai dan makmur.
Semua ini menuntut suatu kestabilan kondisi politik ekonomi dan keamanan, di mana demokrasi menjadi elemen penting untuk mencapai semua itu. Ketika hal ini terberangus, niscaya kestabilannya menjadi terganggu. Suatu tantangan yang dihadapi oleh ASEAN dan keketuaan Indonesia yang dengan peran Indonesia sebagai leader diharapkan mampu menggerakkan anggotanya untuk mengawal penyelesaian masalah Myanmar.
Membumikan ASEAN
Terciptanya Komunitas ASEAN menuntut ASEAN untuk dapat menciptakan kerja sama ASEAN yang bermanfaat bagi anggotanya. Tantangan utamanya adalah bagaimana menggerakkan warga negara ASEAN berperan aktif dalam program-program ASEAN dan memanfaatkan keberadaan Komunitas ASEAN.
Untuk itu, ASEAN diharapkan lebih membumi dengan berpihak pada masyarakat (people oriented). Organisasi yang dulunya dianggap milik segelintir elite dan hanya menjadi wadah para pejabat tinggi di ASEAN, kini diharapkan komitmennya dalam melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan Komunitas ASEAN.
Tantangan utamanya adalah bagaimana menggerakkan warga negara ASEAN untuk berperan aktif dalam program-program ASEAN dan memanfaatkan keberadaan Komunitas ASEAN.
Namun, di tengah gencarnya upaya untuk meningkatkan integrasi ASEAN, ada fakta bahwa pemahaman masyarakat terhadap Komunitas ASEAN masih lemah. Lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ASEAN menjadi catatan penting bagi para pemangku kepentingan untuk lebih mendorong implementasi Komunitas ASEAN.
Oleh karena itu, ASEAN perlu memupuk, mempromosikan, dan mengembangkan semangat kesetaraan dan saling membantu, serta memperbanyak kegiatan bersama untuk mengatasi masalah bersama ASEAN seperti bencana alam, pandemi, terorisme, perdagangan manusia, pencucian uang, penyelundupan senjata, narkoba, dan lain-lain. Penting juga untuk segera menyelesaikan perselisihan yang menghambat hubungan antarnegara ASEAN dan mengatasi dampak negatif dari kerja sama perdagangan bebas ASEAN.
Sudah saatnya, Komunitas ASEAN tidak hanya menjadi konsumsi dari ruang-ruang studi dan percepatan dalam forum-forum diskusi dan seminar, bukan pula hanya menjadi tema strategis dalam acara atau perhelatan tingkat tinggi. Itu penting, tetapi menagih janji komitmen ASEAN yang lebih people oriented, maka kini saatnya ASEAN menunjukkan apa yang bisa diberikan kepada masyarakatnya. Masyarakat ASEAN telah mendapat apa dari capaian-capaian kerja samanya selama ini.
Sebagai warga negara ASEAN, kita diharapkan dapat memanfaatkan peluang dari kerja sama ini sekaligus mengatur strategi bagaimana ”memenangi” persaingan dengan berperan aktif dalam program-program ASEAN. Keberadaan ASEAN Parliamentary Organization (AIPA) seharusnya mampu menjembatani suara masyarakat negara anggota dengan Komunitas ASEAN.
Komunitas ASEAN diharapkan mampu memberikan bukti nyata bahwa kesepakatan yang dibuat dalam KTT ASEAN bukan sekadar formalitas. Bukan hanya menunjukkan bahwa ”mesin ASEAN” telah bekerja, dan ASEAN telah memberikan sesuatu untuk menjawab permasalahan tersebut. Implementasi kerja sama dan kesepakatan yang dihasilkan merupakan tantangan sekaligus ujian bagi ASEAN.
Anik Yuniarti, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UPN ”Veteran” Yogyakarta; PhD (Cand) Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada