ASEAN harus menjadi kawasan sangat kuat dan jangkar kestabilan global, konsisten menegakkan hukum internasional, dan bukan proksi bagi kekuatan mana pun.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sekian lama ASEAN tak terletak di titik panas, seperti Teluk, Eropa, dan Asia Timur. Ke depan, ASEAN berpotensi jadi ajang konflik dan harus bangun dari tidur pulasnya.
Pertemuan Puncak ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 11-13 November, menjadi momen pengingat misi ASEAN di depan. Pertemuan itu diiringi pertemuan ASEAN dengan China, AS, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Misi terpenting adalah ASEAN tidak berpihak pada satu kekuatan yang sedang berebut pengaruh di Asia, khususnya AS dan China.
”ASEAN harus menjadi kawasan sangat kuat dan jangkar kestabilan global, konsisten menegakkan hukum internasional, dan bukan proksi bagi kekuatan mana pun,” kata Presiden Joko Widodo, Minggu (13/11/2022). Presiden juga mengatakan, ASEAN seharusnya tidak membiarkan dinamika geopolitik sekarang membuat kawasan memasuki era Perang Dingin.
Hal senada disampaikan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Ia berharap, ”Semangat kebersamaan dengan menegakkan multilateralisme terbuka dan inklusif, pragmatis, serta saling hormat amat penting dalam mengatasi tantangan mendasar dan strategis yang sedang kita hadapi.”
Jokowi dan Hun Sen menegaskan ”sentralitas”, merujuk posisi ASEAN yang menentukan, tidak diabaikan, apalagi dikendalikan kekuatan besar. Apakah ASEAN memiliki sentralitas atau dihargai? Amati ucapan Presiden AS Joe Biden. ”Kita kembali duduk bersama di Kamboja... berterima kasih kepada PM Kolombia... dan menjadi tuan rumah,” kata Biden, yang keseleo lidah menyebut Kolombia untuk Kamboja. Mungkin hal itu ketidaksengajaan.
Amati beberapa fenomena berikut. Myanmar tidak hadir karena tak diundang dan tidak memenuhi permintaan ASEAN terkait demokrasi serta penjungkalan pemerintahan Aung San Suu Kyi. Biden menekan Hun Sen untuk melepas aktivis Theary Seng. Biden mengungkit kegiatan di Ream Naval Base, yang dianggap kolaborasi Kamboja serta China.
Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan sangat menghargai sentralitas ASEAN. ”Sahabat kami ASEAN mendapat jaminan bahwa tidak ada tekanan dari China untuk memilih para pihak, hanya menyemangati kemajuan tentang solidaritas,” seperti dikutip China Daily, 8 November.
Apakah solidaritas ASEAN termasuk soal keputusan anggotanya yang mengambil sikap sendiri? Amitav Acharya dari American University pada Oktober 2013 menuliskan, ASEAN telah bicara soal impian kawasannya. ”ASEAN bereputasi bagus sebagai ajang diskusi..., tetapi tidak menuntaskan pola kerja sama di dalamnya,” demikian Acharya.
Penegasan Jokowi tepat dan aktual soal sentralitas. Namun, bagaimana Indonesia ke depan menjadi penegak di ASEAN yang disegani? Dan bagaimana ASEAN tetap sadar akan terminologi sentralitas serta tidak memilih AS atau China? Waktulah yang akan membuktikannya.