Memo Internal Pegawai Deplu AS Kritik Kebijakan Biden dalam Perang Gaza
Memo internal pegawai Deplu AS mendesak Gedung Putih menekan Israel untuk gencatan senjata dan hentikan serangan ke Gaza.
WASHINGTON, SELASA — Tiga memo internal yang ditandatangani oleh puluhan pegawai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dikirim ke Menteri Luar Negeri Antony Blinken, berisi pernyataan ketidaksetujuan mereka atas kebijakan yang diambil Pemerintah AS dalam menangani situasi di Jalur Gaza. Para pegawai Deplu AS penanda tangan memo itu menyebut Pemerintah AS terlalu toleran dan memberi ruang pada tindakan kekerasan oleh Israel yang mengakibatkan masifnya korban warga Palestina di Jalur Gaza.
Dalam laporannya, Senin (13/11/2023), media AS, The New York Times (NYT), mengutip sumber di kalangan Deplu AS, mengungkapkan, tiga kabel internal yang dikirim oleh sejumlah pegawai departemen tersebut telah mendesak Presiden Joe Biden untuk menyerukan gencatan senjata di Gaza.
Dua dari tiga memo internal itu, menurut sumber NYT, telah dikirimkan pada minggu pertama konflik terbuka antara Hamas dan Israel. Adapun memo terakhir dikirimkan beberapa waktu lalu. Seorang pejabat lain, yang tak mau diungkap identitasnya, membenarkan adanya ketiga memo internal tersebut.
”Toleransi AS terhadap tingginya angka kematian warga sipil menimbulkan keraguan terhadap tatanan internasional berbasis aturan yang telah lama kami perjuangkan,” demikian isi dokumen tersebut. Mereka berpendapat bahwa Amerika Serikat harus meminta pertanggungjawaban Israel dan Hamas atas tindakan mereka.
Baca juga: Rumah Sakit di Gaza Dikelilingi Pertempuran Sengit Hamas-Israel
Laporan New York Times menyebut informasi mengenai beredarnya memo internal yang terakhir atau memo ketiga dilaporkan pertama kali oleh situs berita AS, Axios dan Politico. Memo terbaru ini berisi usulan agar Pemerintah Israel menukar seluruh warga Palestina yang ditahan oleh Israel dengan 230-an sandera yang ditahan Hamas.
Dalam salah satu memo juga disebutkan, para penandatangan meminta Pemerintah AS untuk menawarkan rencana perdamaian jangka panjang antara Palestina dan Israel yang lebih serius sebagai dasar berdirinya negara Palestina merdeka. Mereka menilai, sejauh ini rencana-rencana perdamaian Palestina-Israel dan di Timur Tengah hanyalah basa basi belaka.
Memo terakhir setebal lima halaman itu, seperti dikutip Axios, ditandatangani tidak hanya oleh pegawai Deplu AS, tetapi juga oleh pegawai lembaga bantuan AS, USAID. Memo ini disusun oleh para diplomat tingkat menengah dan muda, serta dikirimkan pada 3 November 2023. Isinya, mendesak agar Gedung Putih menekan Israel melakukan gencatan senjata serta menilai kembali kebijakan AS terhadap Israel.
Memo tersebut juga menyebut dukungan Biden dan Gedung Putih tanpa batasan yang jelas telah mendorong AS terlibat dalam tindak genosida di Gaza. ”Kita harus secara terbuka mengkritik pelanggaran Israel terhadap norma-norma internasional, seperti kegagalan membatasi operasi ofensif hanya pada sasaran militer yang sah,” demikian salah satu kutipan isi memo itu.
Memo tersebut juga menyebut dukungan Biden dan Gedung Putih tanpa batasan yang jelas telah mendorong AS terlibat dalam tindak genosida di Gaza.
”Ketika Israel mendukung kekerasan terhadap pemukim dan perampasan tanah ilegal atau menggunakan kekuatan berlebihan terhadap warga Palestina, kita harus menyampaikan secara terbuka bahwa hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Amerika agar Israel tidak bertindak tanpa mendapat hukuman.” lanjut memo tersebut, seperti dikutip Politico.
Presiden AS Joe Biden dan kabinetnya sejak awal secara lugas memberikan dukungan atas tindakan balasan yang dilakukan oleh militer Israel di Gaza. Tindakan balasan Israel selama ini tidak hanya ditujukan kepada anggota Hamas, tetapi juga terhadap warga Palestina secara keseluruhan dan para pendukungnya.
Washington—Gedung Putih maupun Kongres—tidak hanya sebatas memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan, tetapi juga memberikan bantuan senjata bagi militer Israel dalam menggempur Gaza. AS juga menggalang dukungan dari sekutu negara-negara Barat dan anggota G7.
Baca juga: OKI Desak Penyelidikan Kejahatan Kemanusiaan Israel
Akan tetapi, semakin memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza memicu perbedaan sikap di internal Pemerintah AS. Awal bulan ini, seperti dilansir media AS lainnya, The Washington Post, lebih dari 1.000 pegawai USAID, badan pembangunan internasional AS, menandatangani surat berisi desakan perlunya gencatan senjata di Gaza. Desakan ini muncul hampir bersamaan dengan penolakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap permintaan Biden yang menginginkan jeda kemanusiaan.
Blinken dan para pembantunya, berdasarkan laporan NYT, telah melakukan setidaknya dua kali pertemuan dengan para pegawai Deplu AS penanda tangan memo tersebut. Ia disebut telah bertemu dengan pegawai Biro Urusan Timur Dekat, yang menilai AS terlalu toleran dengan Israel sehingga menimbulkan korban jiwa yang sangat besar di kalangan warga sipil Palestina.
Blinken menanggapi perbedaan pendapat itu dengan terbuka. Dalam pesannya melalui surat elektronik, ia menyatakan, dirinya sadar ada perbedaan pandangan tentang kebijakan yang dilakukan. Ia berjanji bersedia untuk mendengar masukan dari para stafnya.
Blinken juga menyatakan, Deplu AS akan mengorganisasi sebuah forum untuk mendengar suara berbeda dari para pegawai Deplu, tidak hanya di AS, tetapi juga di seluruh kantor perwakilan di negara-negara lain.
Baca juga: Bom Israel dan Dehidrasi Menewaskan Bayi di Gaza
Tiga memo internal itu dikirimkan para pegawai melalui sebuah saluran khusus, yang disebut sebagai dissent channel. Saluran ini dibuat Deplu AS pada tahun 1971. Saluran ini memungkinkan pejabat dan para pegawai Deplu AS menyampaikan kritik dan ketidaksepakatan mengenai Perang Vietnam. Berdasarkan peraturan Deplu AS, pihak yang berbeda pendapat dilindungi dari tindakan pembalasan.
Dalam beberapa tahun terakhir, para pegawai Deplu AS telah menggunakan saluran tersebut untuk mengingatkan pemerintah soal rencana penarikan pasukan AS dan sekutu dari Afghanistan pada masa pemerintahan Presiden Biden. Sebelumnya, melalui saluran itu pula, mereka mendesak pemerintahan Barack Obama untuk melancarkan serangan udara terhadap pasukan Suriah.
RS dikepung tank Israel
Di Jalur Gaza, tank-tank Israel terus mendekat ke rumah sakit-rumah sakit di Kota Gaza yang dicurigai oleh militer Israel dijadikan tempat berlindung anggota Kelompok Hamas. Anggota pasukan Israel bergeming untuk terus mendekati rumah sakit meski ada desakan dari Biden agar rumah sakit dan orang-orang di dalamnya dilindungi.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza Ashraf al-Qidra, yang berada di dalam Rumah Sakit Al Shifa, mengungkapkan, 32 pasien meninggal dalam tiga hari terakhir, termasuk tiga bayi baru lahir, akibat pengepungan rumah sakit di Gaza utara dan kurangnya aliran listrik. Setidaknya masih ada 650 pasien di dalam gedung rumah sakit tersebut.
”Tank-tank tersebut berada di depan rumah sakit. Kami berada di bawah blokade penuh. Ini sepenuhnya wilayah sipil. Hanya pasien rumah sakit, dokter, dan warga sipil lainnya yang tinggal di rumah sakit. Seseorang harus menghentikan ini,” kata seorang ahli bedah di rumah sakit tersebut, Ahmed El Mokhallalati, mengatakan melalui telepon. ”Kami hampir tidak bisa bertahan.”
Puluhan rumah sakit di Gaza selama sebulan terakhir menggantungkan operasionalnya pada generator. Selasa pagi waktu setempat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut 20 dari 30-an rumah sakit di Gaza telah berhenti beroperasi karena ketiadaan listrik.
Baca juga: Kemanusiaan Sedang Berlibur dari Sekitar Gaza
Desakan agar militer Israel tidak menyerang infrastruktur sipil telah berulang kali disampaikan. Akan tetapi, Israel bergeming. Menlu Israel Eli Cohen bahkan menyatakan bahwa Israel terus melanjutkan pertempuran selama diperlukan.
”Pasukan IDF terus melakukan penggerebekan, menargetkan infrastruktur yang berlokasi di lembaga-lembaga pemerintah pusat di jantung populasi sipil, termasuk sekolah, universitas, masjid, dan tempat tinggal teroris,” kata Cohen, merujuk pada Angkatan Bersenjata Israel (IDF).
Pembebasan sandera
Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, Senin (13/11/2023), mengunggah sebuah rekaman audio di saluran Telegramnya yang menyebut mereka siap untuk membebaskan sandera dengan imbalan gencatan senjata selama lima hari.
”Musuh (Israel) meminta pembebasan 100 perempuan dan anak-anak dari tawanannya di Gaza. Akan tetapi, kepada para mediator, kami bisa membebaskan 50 tawanan atau bahkan 70 orang dengan imbalan gencatan senjata selama lima hari,” kata Juru Bicara Brigade Al Qassam Abu Ubaida.
Abu Ubaida mengatakan, mediator Qatar pekan lalu mengupayakan pembebasan beberapa perempuan dan anak-anak yang disandera Hamas. Imbalannya adalah Israel membebaskan 200 anak-anak Palestina dan 75 perempuan yang ditahan di penjara-penjara Israel.
”Gencatan senjata harus mencakup gencatan senjata sepenuhnya dan memungkinkan bantuan dan bantuan kemanusiaan di mana pun di Jalur Gaza,” kata Abu Ubaida.
Baca juga: Desakan Gencatan Senjata Meningkat, Sekutu dan Warga Israel Tekan Netanyahu
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan kepada wartawan bahwa Washington ingin melihat jeda kemanusiaan yang jauh lebih lama di Jalur Gaza. ”Dalam hitungan hari, bukan jam, dalam konteks pembebasan sandera,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS)