Pemanasan Global Rusak Pola Alami Bumi
Perubahan iklim sedang terjadi. Perlu keseriusan mempercepat peralihan ke beralih ke energi bersih dan terbarukan, serta mengurangi emisi karbon secara drastis.
Karena seluruh bagian Bumi terhubung, kerusakan di satu tempat bisa berimbas ke tempat lain. Perlu kerja sama seluruh penduduk Bumi untuk mengurangi penyebab dan mengatasi dampak kerusakan alam.
Kini, Bumi menghadapi krisis berupa pemanasan global. Kenaikan suhu selama beberapa bulan terakhir di berbagai negara adalah bukti nyata perubahan iklim sedang terjadi. Perlu keseriusan untuk segera beralih ke energi bersih dan terbarukan, serta mengurangi emisi karbon secara drastis.
Ajakan dan peringatan soal itu, antara lain, disampaikan Guru Besar Fisika pada Universitas Postdam, Stefan Rahmstorf. Pada Senin (6/11/2023), ia memaparkan hasil risetnya di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Baca juga: Visi Lingkungan Calon Presiden
Ia meneliti titik kritis samudra Atlantik. ”Dalam 100 tahun terakhir, seluruh pemicu pemanasan global adalah ulah manusia,” tuturnya dalam kegiatan yang didukung Kedutaan Besar Jerman di Jakarta itu.
Ia menjelaskan konsep Sirkulasi Pembalikan Meridional Atlantic atau Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC) yang berubah sejak 1850. Perubahan itu akibat melelehnya katup-katup es di laut. Semua berdampak dengan kelangsungan alam di wilayah tropis, termasuk Indonesia.
Lelehan es berupa air tawar yang bermassa lebih berat darpada air asin. Bertambahnya jumlah air tawar di Samudra Atlantik bagian utara membuat suhu laut menurun dan AMOC melambat. Akibatnya, arus Samudra Atlantik pun melemah.
Perubahan AMOC, antara lain, menghasilkan titik dingin (cold blob) di bagian utara Atlantik. Titik itu penyebab suhu ekstrem di Eropa. Di musim panas, suhunya kering sekali sehingga kerap berujung pada kemarau dan kebakaran lahan. Sebaliknya, di musim dingin suhu kian membeku dan banyak terjadi badai salju.
”Hal Ini karena tekanan udara rendah di permukaan laut yang dingin. Kemampuan laut menyerap karbondioksida pun menurun. Hal ini belum termasuk kerusakan biota laut akibat perubahan suhu tersebut, yang berujung pada kematian terumbu karang dan ikan,” tuturnya.
AMOC juga mengalirkan air Samudra Atlantik ke selatan, menuju khatulistiwa. Karena suhu air dan tekanan udara berubah, pola hujan di daerah tropis juga berubah.
”Wilayah yang rutin hujan, termasuk hutan hujan tropis, malah tidak akan kebagian hujan. Rimba-rimba ini akan kekeringan. Sebaliknya, wilayah yang selama ini secara alami lebih kering justru diguyur hujan berkepanjangan,” papar mantan penasihat Pemerintah Jerman untuk urusan mitigasi krisis iklim itu.
Baca juga: Krisis Iklim Dalam Pusaran Politik
Kondisi ini sedang terjadi di Indonesia. Hingga pertengahan November 2023, banyak daerah di Indonesia belum tersiram hujan. Biasanya, hujan deras melanda berbagai daerah sejak pertengahan Oktober.
Transisi energi
Menurut Rahmstorf, hanya penurunan drastis emisi karbon yang bisa mencegah AMOC terus berubah. Sekarang salah satu cara penurunan drastis emisi adalah dengan segera beralih dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Semakin cepat beralih, semakin baik bagi Bumi.
Rahmstorf menceritakan kesalahan Jerman soal transisi energi. Berlin pernah berpikir, transisi energi bisa dilakukan dengan mencampur bahan bakar fosil dengan biomassa.
Di Jerman, biomassa yang lazim dipakai merupakan produk turunan jagung. Waktu itu, Jerman mau membuka perkebunan jagung besar-besaran untuk memproduksi biomassa.
Langkah itu justru bertentangan dengan prinsip mitigasi krisis iklim. Sebab, perkebunan pangan semestinya tidak dikorbankan. Jika ada pertanian khusus biomassa, tanaman untuk pangan nanti terpaksa diimpor atau dibuka lagi lahan baru dengan merambah hutan.
”Seandainya biomassa memang menjadi pilihan terakhir, hendaknya dari bahan yang memang harus dihancurkan, sampah,” kata Rahmstorf.
Langkah terbaik, lanjutnya, adalah membangun pembangkit listrik energi terbarukan sesuai kapasitas alam setiap wilayah. Spanyol dan Yunani memanfaatkan energi surya yang berlimpah di tepi Mediterania. Karena itu, Madrid dan Athena bisa mengalahkan Berlin soal laju transisi energi.
Baca juga: Gara-gara Penanganan Polusi Udara, Bisa-bisa Dapur Tidak ”Ngepul”
Soal transisi energi, Kepala Urusan Iklim dan Lingkungan Kedubes Jerman di Jakarta, Maike Lorenz, mengatakan, Jerman bekerja sama dengan Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Di Indonesia, isunya, antara lain, potensi gangguan ekonomi selama proses peralihan. ”Pada dasarnya, transisi energi berlandaskan keadilan sosial dan justru membuat listrik bisa diakses oleh semua orang dengan harga yang lebih terjangkau,” ujarnya.
Sementara dosen FMIPA UI Ayunda Aulia menyebut, transisi energi bisa dicicil. Transisi tidak harus menunggu sampai harganya benar-benar terjangkau untuk semua wilayah.
Penangkapan karbon
Isu keterjangkauan harga memang menjadi salah satu pilar dalam kebijakan Indonesia soal transisi energi. Direktur Teknik Migas dan Lingkungan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mirza Mahendra mengatakan, isu lain soal perdagangan karbon.
Indonesia, antara lain, menyikapi itu lewat pembentukan bursa karbon. Indonesia melihat peluang menjadi penghubung kawasan untuk penangkapan, penyimpanan, dan penggunaan karbon (CCUS) maupun penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). ”Penghubung ini akan menjadi peluang solusi industri yang sulit mengurangi emisi dari industri yang sulit mereda dan mencapai emisi nol,” ujarnya dalam Carbon Digital Conference Indonesia (CDC) 2023 di Bali pekan lalu.
Ketua Carbon Trade Indonesia (IDCTA) Riza Suarga mengatakan, isu perdagangan karbon perlu diberi ruang lebih luas. Indonesia memiliki potensi ekonomi karbon hingga 565 miliar dollar AS. Peluang sebesar itu potensial untuk pelestarian alam, penggerak ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja. Di sejumlah negara, perdagangan karbon menjadi peluang baru.
Indonesia punya modal, antara lain, berupa potensi besar penyimpanan karbon. Hasil kajian awal pemerintah, potensi penyimpanan di Indonesia setidaknya 12 giga ton karbondioksida di reservoar migas dan akuifer salin. Bahkan, ExxonMobil menaksir kapasitasnya sampai 80 Gt dan Rystad Energy sampai 400 Gt.
Baca juga: Negara Besar Absen, Negara Kecil Maju Jadi Teladan Konservasi Alam
Ditjen Migas Kementerian ESDM telah membentuk tim gugus tugas. Tim itu akan mempelajari dan menghitung kapasitas sebenarnya penyimpanan karbon di lapangan migas dan akuifer salin.
Mirza mengatakan, sektor CCS/CCUS Indonesia akan membesar jika kapasitas penyimpanan meningkat pula. Peningkatan itu akan mendukung upaya penurunan emisi karbon. Tidak hanya di industri migas, penyimpanan itu juga bisa dipakai oleh industri di sektor lain.
Belasan proyek
Indonesia, menurut Mirza, kini memiliki 15 proyek CCS/CCUS. Memang, semua masih dalam tahap persiapan. Pemerintah menargetkan, semua siap beroperasi dalam enam tahun ke depan. Pada 2030-2035, proyek-proyek ditargetkan bisa menyimpan hingga 68 juta ton karbondioksida.
Kini, Indonesia juga sedang menyelaraskan peraturan soal perdagangan karbon. Tujuannya, proyek-proyek CCS/CCUS yang mayoritas berada di lapangan migas bisa digunakan pula oleh industri non-migas.
Sementara Riza mengatakan, salah satu isu soal perdagangan karbon adalah verifikasi dan pemantauan data. Di sejumlah negara, sejumlah perusahaan rintisan teknologi telah membuat program dan perangkat untuk memantau dan mengintegrasikan data itu. ”Integrasi data itu membantu mengenal pasar lebih baik,” ujarnya.
Memang, agar bisa diperdagangkan, karbon yang sudah disimpan harus didaftarkan lalu divalidasi. Di Indonesia, proses validasi antara lain dilakukan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jika terverifikasi, KLHK akan menerbitkan sertifikasi pengurangan emisi. Sertifikat itu bisa diperdagangkan di bursa karbon.
Menurut Riza, Jepang menjadi sumber asal pembeli potensial di bursa karbon Indonesia. Ada banyak perusahaan Jepang, baik di Indonesia maupun negara lain, yang berminat pada bursa karbon nasional.