Gara-gara Penanganan Polusi Udara, Bisa-bisa Dapur Tidak ”Ngepul”
Bagi penduduk negara miskin, penanganan pencemaran udara bisa mengakibatkan mereka tidak mampu memasak untuk hidup sehari-hari.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Pencemaran udara kini merupakan masalah global yang berpengaruh serius pada krisis iklim. Persoalannya, bagi masyarakat kecil di sejumlah negara, penanganan krisis iklim ini bisa berarti dapur tidak mengepul. Penggunaan kayu bakar dan juga arang untuk memasak di sejumlah negara miskin kini sudah sampai ke wilayah perkotaan saking mahalnya gas tabung.
Parahnya, pencemaran udara di negara-negara berkembang dan miskin membuat masyarakat tidak bisa beraktivitas, termasuk orang-orang yang pekerjaannya harus di luar ruangan, seperti sopir taksi, sopir bajaj, dan buruh bangunan. Penyebab emisi ini selain industri ditengarai adalah pola memasak yang masih menggunakan kayu bakar dan arang.
Di Lagos, Nigeria, pengemudi angkutan daring Uber, Friday Omoniyi, ketika diwawancara media setempat, Context, pada Rabu (18/10/2023), menyatakan tengah memikirkan lebih baik berhenti bekerja. ”Kelihatannya saya harus mencari pekerjaan di dalam ruangan. Saya tidak kuat harus berkeliling kota di tengah udara kotor begini,” ujarnya.
Nigeria salah satu negara di Benua Afrika yang menghadapi persoalan emisi karbon hitam. Menurut Aliansi Iklim dan Kesehatan Global (GCHA)—lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa—emisi karbon hitam jamak ditemui di negara-negara miskin Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Emisi ini berasal dari penggunaan bahan bakar padat, terutama kayu bakar dan arang.
Di negara-negara miskin dan berkembang, pemakaian karbon hitam terbanyak justru di sektor rumah tangga, yaitu untuk memasak dan menghangatkan rumah. Sepertiga dari penduduk Bumi bergantung pada kayu bakar dan arang. Memotong emisi itu tanpa ada rencana yang jelas berisiko membuat rakyat tidak bisa makan.
Media lokal Nigeria, Daily Post, edisi (11/10/2023), melaporkan, warga memilih memasak dengan kayu bakar ataupun arang karena harga elpiji mahal. Harganya kini 1.000 naira (Rp 16.549) per kilogram. Padahal, tahun lalu harganya 780 naira per kilogram. Warga miskin, bahkan mahasiswa di perantauan, mengeluhkan tingginya harga gas.
”Saya tahu memasak dengan arang berbahaya. Rumah saya di Bauchi dekat gurun dan kami sudah menderita karena debu, ditambah pencemaran asap. Tetapi, mau bagaimana lagi? Saya tidak mampu membeli gas,” kata Olaide Saheed, seorang warga.
Niat sudah ada, tinggal diturunkan menjadi petunjuk teknis yang bisa diterapkan di lapangan.
Maria Daniel, mahasiswa di perkotaan, mengeluhkan hal serupa. Ia dan teman-teman satu indekos terpaksa memasak memakai tungku arang. Padahal, mereka tinggal di tengah kompleks perumahan. Uang saku mereka tidak cukup untuk patungan membeli tabung gas yang akan cepat habis karena jumlah mahasiswi di indekos tersebut.
Surat kabar Kenya, The Standard, melaporkan, di negara tersebut, emisi karbon hitam rumah tangga mencapai 40 persen dari total emisi nasional. Bila dikonversi ke volume, jumlahnya 22 juta hingga 35 juta ton per tahun. Persoalan lain yang muncul dengan metode memasak ini adalah deforestasi dan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan memetakan rata-rata per tahun 4,3 juta orang secara global meninggal akibat pencemaran udara dalam ruangan. Selain ISPA, pencemaran udara dalam ruangan ini memicu kasus serangan jantung, stroke, dan darah tinggi. Di Kenya, kematian akibat ISPA mencapai 26 persen dari angka kematian nasional. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak karena mereka paling banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, terutama dapur yang terus-menerus berasap.
Pada Rabu (18/10/2023) waktu London atau sore waktu Indonesia, GCHA menerima laporan rencana pembangunan di 170 negara untuk menangani pencemaran udara. Dari jumlah itu, baru 51 negara yang memasukkan penanganan pencemaran udara ke dalam rencana kerja mereka.
Kabar menggembirakannya, pada 14 peringkat teratas negara-negara yang paling berambisi menurunkan pencemaran udara, semuanya negara miskin dan berkembang. Mereka, antara lain, ialah Nigeria, Mali, Togo, Ghana, Pantai Gading, dan Kolombia. Pemerintah Nigeria menargetkan, per 2030, mereka bisa mengurangi 30.000 kematian dini akibat pencemaran udara.
”Niat sudah ada, tinggal diturunkan menjadi petunjuk teknis yang bisa diterapkan di lapangan,” kata Kepala Kebijakan GCHA Jessica Beagley. Praktik ini, lanjut Beagley, juga tidak lepas dari kerja sama internasional untuk membantu negara-negara berkembang dan miskin memiliki teknologi transisi energi. (Reuters)