Belajar dari "Raksasa" Dunia Mengatasi Polusi Udara
Berbagai upaya penanganan pencemaran udara di negara lain, seperti China dan Eropa, bisa menjadi contoh bagi Indonesia.
Beberapa waktu terakhir kondisi kualitas udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya masih berada dalam kategori tidak sehat. Bahkan, kondisi kualitas udara ini masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan secara signifikan dalam jangka waktu lama meskipun telah dilakukan berbagai langkah penanganan oleh pemerintah pusat hingga daerah.
Kondisi ini direspons Presiden Joko Widodo dengan menggelar rapat terbatas (ratas) pada pertengahan Agustus lalu dengan jajarannya untuk mencari solusi jangka pendek hingga panjang dalam menangani polusi udara. Hasil ratas tersebut kemudian ditindaklanjuti salah satunya dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengendalian Pencemaran Udara oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Satgas Pengendalian Pencemaran Udara bertugas mengawasi dan menindak sumber-sumber pencemaran tidak bergerak, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek. Sumber pencemar tersebut meliputi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), industri, serta pembakaran sampah terbuka dan limbah elektronik.
Baca juga : Mayoritas Sumber Emisi di Jabodetabek Berasal dari Aktivitas Transportasi Lokal
Selama lebih dari satu bulan, 32 perusahaan telah diawasi karena terindikasi kuat melakukan pelanggaran di bidang lingkungan dan menjadi pihak penyebab pencemaran udara. Perusahaan yang diawasi tersebut bergerak di bidang stockpile (penimbunan sementara) batubara, pengoperasian boiler, manufaktur, semen, dan logam.
Dari perusahaan yang diawasi tersebut, beberapa di antaranya telah diberikan sanksi administrasi karena terbukti melanggar ketentuan yang ditetapkan. Kemudian 13 perusahaan juga telah disegel dan dipasang plang penghentian kegiatan usaha.
Selain berbagai upaya dari Satgas Pengendalian Pencemaran Udara, perbaikan kualitas udara dalam jangka pendek juga dilakukan melalui kegiatan teknologi modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan. Di samping itu, uji emisi dilakukan untuk kendaraan bermotor, penanaman pohon, dan penerapan kerja dari rumah untuk aparatur sipil negara.
Meski demikian, dari sejumlah upaya tersebut tidak ada fokus atau penekanan secara khusus terkait dengan penghentian operasi PLTU batubara. Padahal, selama ini upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dari aktivitas PLTU batubara yang dilakukan sejumlah negara telah menjadi contoh dan terbukti dapat mengatasi permasalahan polusi udara.
Lihat juga infografis: Berbagai Upaya Menangani Polusi Udara
Meski belum sepenuhnya optimal, komitmen dari Pemerintah India bisa menjadi contoh dalam penanganan polusi udara. Pemerintah India telah memperkuat standar emisi kendaraan dan industri dalam beberapa tahun terakhir serta mempercepat transisi energi. Bahkan, India juga sedang mempertimbangkan revisi standar kualitas udara ambien.
Pada tahun 2020, India telah mengalokasikan anggaran sebesar 1,7 miliar dollar AS untuk memerangi polusi udara selama lima tahun ke depan di 42 kota dengan populasi lebih dari satu juta jiwa. Hal ini merupakan program pendanaan transfer fiskal berbasis kinerja pertama di dunia untuk pengelolaan kualitas udara di perkotaan.
Sementara kota-kota di Eropa, termasuk London (Inggris) dan Milan (Italia), mengambil langkah-langkah untuk mengatasi polusi udara melalui penerapan zona emisi sangat rendah hingga skema pengurangan beban lalu lintas. Adapun Polandia menawarkan stimulus untuk memodernisasi pemanas ruangan dan tidak menggunakan pemanas dari batubara.
Analisis dari European Data Journalism Network (EDJN) menunjukkan bahwa negara-negara di Eropa juga menghadapi permasalahan polusi udara. Tercatat mayoritas atau 98 persen dari total populasi penduduk di sejumlah negara di Eropa tinggal di wilayah dengan tingkat konsentrasi cemaran partikulat di bawah 2,5 mikrogram (Particulate Matter 2,5) melampaui ambang baku mutu udara berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Contoh terbaik
China merupakan salah satu negara yang dinilai cukup berhasil mengatasi polusi udara di ibu kota Beijing. Pada tahun 2013 silam, Beijing tercatat menjadi salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia karena emisi dari aktivitas PLTU batubara dan transportasi. Kondisi ini pun memicu kecaman seiring dengan meningkatnya dampak kesehatan di masyarakat.
Pemerintah China kemudian menegaskan komitmen untuk mengatasi permasalahan ini dengan menerapkan rencana aksi nasional tentang kualitas udara. China berkomitmen menurunkan polusi udara dalam periode singkat selama empat tahun melalui dukungan anggaran yang mencapai lebih dari 100 miliar dollar AS.
Sejumlah upaya yang dilakukan China antara lain menindak secara tegas industri yang terbukti melepaskan emisi penyebab polusi udara dan mengendalikan emisi dari transportasi.
Sejumlah upaya yang dilakukan China antara lain menindak secara tegas industri yang terbukti melepaskan emisi penyebab polusi udara dan mengendalikan emisi dari transportasi. China juga menerapkan dan benar-benar menjalankan kebijakan untuk beralih dari PLTU batubara ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu bukti komitmen tersebut ditunjukkan China dengan menutup27 tambang batubara di Provinsi Shanxi pada 2017 dan membatalkan rencana pembangunan 103 PLTU baru. Meski PLTU masih menjadi sumber energi utama di China, upaya ini telah menurunkan 67,4 persen produksi batubara pada 2013 menjadi 56,8 persen pada tahun 2020.
Selain itu, Pemerintah Beijing memasang stasiun pemantauan kualitas udara (AQM) di seluruh kota dan membentuk jaringan AQM terintegrasi generasi baru yang menggabungkan teknologi satelit penginderaan jauh resolusi tinggi dan lidar. Bahkan, saat ini terdapat lebih dari 1.000 sensor untuk memantau partikel berukuran 2,5 mikron (PM2,5) di seluruh Beijing yang mampu mengidentifikasi area dan periode dengan emisi tinggi secara akurat.
Baca juga: Tingkatkan Baku Mutu Kualitas Udara Sesuai Standar WHO
Seluruh upaya tersebut membuat kadar PM2,5 dan nitrogen oksida(Nox), serta sulfur dioksida (SO2) di Beijing turun masing-masing 97 persen, 86 persen, dan 98 persen pada 2017.Menurut data AQICN, Beijing memiliki 126 hariudara sehat pada tahun 2020 dan tercatat memiliki penurunan PM 2,5 sebesar 35 persen dari tahun 2013 hingga 2017.
Upaya pemantauan
Langkah yang dilakukan China dalam menurunkan tingkat polusi udara juga diakui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akhir Agustus lalu. ” Contoh paling bagus adalah China karena bisa menurunkan polusi dalam 6-7 tahun. Sementara negara lain menurunkan polusi udara sekitar 20 dan 25 tahun,” katanya.
Budi menyebut bahwa keberhasilan China dalam mengatasi polusi udara tidak terlepas dari upaya surveilans atau pemantauan secara sistematis dan berkala dengan teknologi sensor. Melalui pemantauan ini, pemerintah dapat langsung mengambil tindakan bagi pihak yang terindikasi sebagai pencemar udara di sekitar lokasi yang terdeteksi polutan tinggi.
Apabila dibandingkan dengan China, alat pemantauan kualitas udara di Indonesia masih sangat terbatas, yakni hanya ada tujuh unit di Jakarta. Lima perangkat pemantau dikelola stasiun pemantau kualitas udara ambien (SPKUA) milik Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Sementara dua alat lainnya masing-masing milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro, idealnya satu stasiun pemantauan kualitas udara melayani 5 sampai 11 kilometer persegi. Merujuk standar kebutuhan tersebut, wilayah Jakarta seluas 661,5 kilometer persegi membutuhkan alat pemantau kualitas udara antara 60 sampai dengan 132 unit.
Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari menegaskan, pengendalian polusi udara terlebih dahulu harus mengetahui sumber pencemar agar upaya yang dilakukan tepat sasaran. Khusus di wilayah Jakarta, hasil kajian menunjukkan sumber polusi mayoritas berasal dari sektor transportasi dan kegiatan pembangkit listrik.
”Untuk sektor industri dan pembangkit perlu penerapan alat pengendali pencemaran udara. Untuk partikulat, seperti ESP (electrostatic precipitator), fabric filter, wet scrubber atau cyclone, perlu diwajibkan dan diawasi dengan ketat,” tuturnya.
Baca juga : Alat Pemantauan Terbatas, Data yang Diperoleh Tidak Ideal
Berkaca dari negara lain, solusi untuk mengatasi pencemaran udara harus dilakukan dengan komitmen yang kuat dan implementasi secara nyata. Tanpa hal tersebut, berbagai kebijakan pengendalian polusi udara baik jangka pendek, menengah, ataupun panjang akan sia-sia.