Mayoritas Sumber Emisi di Jabodetabek Berasal dari Aktivitas Transportasi Lokal
Mayoritas sumber emisi penyebab pencemaran udara di Jabodetabek berasal dari aktivitas lokal, khususnya dari sektor transportasi. Menerapkan regulasi di sektor transportasi menjadi salah satu solusi mendesak.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas sumber emisi yang menyebabkan pencemaran udara di Jabodetabek berasal dari aktivitas lokal, khususnya dari sektor transportasi. Solusi yang memiliki potensi tertinggi untuk mengatasi pencemaran udara yakni penerapan regulasi di sektor transportasi serta mendorong efisiensi energi.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro mengemukakan, tren kualitas udara di Jakarta selama periode 2018-2023 lebih banyak berada di kondisi baik dan sedang. Namun, dalam beberapa bulan terakhir memang terdapat peningkatan pencemaran udara, terutama dari partikel yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer atau PM 2,5.
”Framing terkait Jakarta sebagai kota terpolusi pertama di dunia perlu diluruskan. Jadi, agar lebih adil, kita perlu memeriksa sumber-sumber serupa lainnya yang memiliki kredibilitas atau data sejenis,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Minggu (13/8/2023).
Untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia, negara harus memenuhi hak warga untuk hidup di lingkungan yang sehat.
Sigit mengatakan, berdasarkan laporan inventarisasi emisi pencemar udara DKI Jakarta tahun 2020, sebanyak 44 persen sumber emisi di Jakarta berasal dari sektor transportasi. Kemudian, sektor penyumbang emisi lainnya meliputi industri energi (33 persen), perumahan (14 persen), manufaktur industri (10 persen), dan kegiatan komersial di gedung (1 persen).
Data dari berbagai sumber juga menunjukkan, pada 2022 terdapat 224,5 juta kendaraan bermotor di Jakarta. Dari jumlah tersebut, 78 persen di antaranya merupakan sepeda motor. Sepeda motor ini menghasilkan beban pencemaran per penumpang paling tinggi dibandingkan dengan mobil pribadi bensin dan solar, mobil penumpang, serta bus.
Selain itu, Sigit juga menyebut bahwa kontribusi dari emisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berlokasi di sekitar Jabodetabek tidak terlalu signifikan. Hal ini ditegaskan melalui hasil kajian Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara KLHK pada 2019 yang mengonfirmasi sebagian besar emisi dari PLTU Suralaya di Cilegon, Banten, tidak ke arah Jakarta, tetapi ke kawasan Selat Sunda.
”Ini menegaskan bahwa sumber emisi di Jakarta sebagian besar dipengaruhi dari aktivitas Jakarta sendiri dan wilayah Jabodebatek sebagai hinterland (wilayah sekitar kota),” tuturnya.
Menurut Sigit, pencemaran udara sering terjadi pada musim kemarau. Paparan polusi di Jakarta saat ini akan sulit dikurangi karena tidak adanya hujan. Di sisi lain, menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menurunkan hujan di Jakarta juga akan sia-sia karena kondisi awan yang sangat minim di wilayah Jawa untuk dua minggu ke depan.
Sigit menekankan, berbagai solusi untuk mengatasi pencemaran udara telah dilakukan selama ini. Solusi yang banyak direkomendasikan dan memiliki potensi tertinggi untuk mengatasi pencemaran udara yakni dengan menerapkan regulasi di sektor transportasi, mengawasi industri melalui pemasangan alat pengontrol emisi, serta mendorong efisiensi energi.
Sementara hasil analisis dari Vital Strategies juga menetapkan delapan rekomendasi untuk mengatasi pencemaran udara di Jakarta. Rekomendasi tersebut di antaranya pengadaan kendaraan operasional listrik, pengetatan standar emisi transportasi umum menjadi EURO4, pengadaan bus listrik, uji emisi berkala, peralihan ke angkutan umum, konversi kompor listrik, pengendalian debu konstruksi, dan pelarangan pembakaran sampah terbuka.
Sistem peringatan dini
Sigit berharap berbagai informasi terkait kondisi udara di Jakarta yang disediakan KLHK, seperti aplikasi ponsel ISPUnet, bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan untuk melindungi masyarakat. ”Informasi ini bisa digunakan untuk peringatan dini masing-masing orang, termasuk lembaga pemerintah ataupun swasta,” ucapnya.
Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Agus Dwi Susanto sebelumnya menyebutpentingnya sistem peringatan dini bahaya polusi udara. Sistem peringatan diniini perlu dibangun untuk memperkuat pengendalian polusi udara di masyarakat dan meningkatkan kesadaran publik.
Agus juga menyebut bahwa informasi terkait kualitas udara yang tidak sehat juga perlu diberikan secara berkala kepada masyarakat beserta dengan langkah antisipasi yang harus dilakukan. Hal ini akan membuat kesadaran warga bisa lebih baik sekaligus menjadikan polusi udara sebagai masalah serius yang harus diantisipasi.
Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) juga kembali mendesak pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta untuk segera mengambil tindakan nyata guna menuntaskan permasalahan pencemaran udara. Sebab, hal ini menjadi salah satu putusan pengadilan dari kemenangan gugatan warga negara(citizen law suit/CLS)atas pencemaran udara yang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta pada September 2021 dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat pada Oktober 2022.
Senior Advisor Nexus3 yang juga salah satu penggugat dalam CLS pencemaran udara Yuyun Ismawati menyatatakan, polusi udara Jakarta tidak memandang kelas sosial. Semua warga berisiko menghirup polutan, termasuk calon bayi dalam kandungan dan anak balita.
”Tumbuh kembang mereka juga ditentukan oleh kualitas udara yang dihirup. Untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia, negara harus memenuhi hak warga untuk hidup di lingkungan yang sehat,” ungkapnya.