Karena China, Banyak Negara Terhindar Gagal Bayar Utang
Kehadiran China sebagai kreditor baru dengan dana pinjaman besar turut mencegah rentetan ”default” negara berkembang.
Dunia dihadapkan pada kelesuan ekonomi pada era Covid-19. Hal itu berlanjut dengan gangguan pasokan barang global, kenaikan suku bunga Amerika Serikat, dan kenaikan harga minyak. Selanjutnya ada perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
Semua faktor itu diperkirakan akan menyebabkan tekanan pada utang negara-negara berkembang dan berpotensi memunculkan rentetan gagal bayar utang seperti pernah terjadi pada dekade 1980-an.
”Namun, bencana tidak terjadi atau setidaknya belum terjadi, yakni bencana berupa krisis utang di negara-negara berkembang.” Demikian dituliskan Kenneth Rogoff, profesor ekonomi dan kebijakan publik di Harvard University, pada situs The Guardian, 2 November 2023.
”Keadaan itu mencengangkan para analis veteran,” kata Rogoff yang juga mantan ekonom senior Dana Moneter Internasional (IMF) periode 2001-2003.
Rogoff mengingatkan kejadian pada 1980-an, khususnya di negara-negara Amerika Latin yang serentak mengalami default, tidak bisa lagi membayari cicilan utang luar negeri beserta bunganya. Default dipicu kenaikan harga minyak yang menguras devisa.
Baca juga: Mengukur Potensi Jebakan Utang
Penyebab lain adalah kenaikan suku bunga inti di AS yang turut menaikkan bunga utang luar negeri. Faktor lainnya lagi adalah apresiasi kurs dollar AS alias kemerosotan kurs mata uang negara-negara berkembang, yang semakin menyulut krisis ekonomi.
Saat bersamaan, perbankan komersial AS, yang menjadi kreditor utama bagi Amerika Latin ketika itu, memperpendek masa bayar utang dan mengenakan suku bunga lebih tinggi atas pinjamannya. Hal ini mempercepat kejatuhan perekonomian Amerika Latin. Situasi itu membuat Amerika Latin mengalami pertumbuhan yang hilang sepanjang dekade 1980-an.
Pola serupa
Kali ini pola serupa terjadi. AS kembali menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Kenaikan harga minyak terjadi bersamaan dengan gangguan pada pasokan barang global. Telah terjadi kasus default di beberapa negara, tetapi tidak meluas. Analisis dari Federal Reserve Bank of St Louis juga tidak melihat fenomena default massal di banyak negara berkembang sekarang ini jika dibandingkan dengan dekade 1980-an.
Krisis ekonomi akut di sejumlah negara berkembang, seperti yang pernah terjadi pada dekade 1980-an, juga tidak terjadi sekarang ini walau AS sudah menaikkan suku bunga. Hal itu dituliskan lewat artikel berjudul ”Are Developing Countries Facing a Possible Debt Crisis?” edisi 5 September 2023.
Federal Reserve Bank of St Louis menyebutkan, pada dekade 1980-an terjadi default di 58 negara. Sekarang ini baru terjadi default di sebanyak 11 negara. Meski demikian, situasi di 11 negara ini tidak memburuk walau juga belum pulih.
Fenomena serupa juga dituliskan dalam buletin yang diluncurkan The Bank for International Settlement (BIS) dengan artikel berjudul ”Lessons from Recent Experiences on Exchange Rates, Capital Flows, and Financial Conditions in EMEs”, 2 November 2023. BIS menyebutkan, kenaikan suku bunga di AS dan penguatan kurs dollar AS biasanya diikuti pelarian modal. Setidaknya hal itu turut mendorong kenaikan suku bunga di negara-negara berkembang.
BIS menambahkan, relatif hanya Amerika Latin yang segera menaikkan suku bunga mengikuti tindakan AS. Sebaliknya, negara-negara berkembang di Asia relatif bergeming soal suku bunga. BIS menyebutkan hal itu terjadi karena Asia tidak menghadapi inflasi yang tinggi.
Asia tertolong dari ancaman default karena beralihnya status pembiayaan asing dari tadinya mengandalkan pinjaman luar negeri.
Asia juga tertolong karena beralihnya status pembiayaan asing dari tadinya mengandalkan pinjaman luar negeri. Asia kemasukan aliran investasi asing yang masuk ke dalam bentuk obligasi dan saham-saham perusahaan Asia.
Baca juga: Asia Akan Selamatkan Dunia dari Resesi Terdalam
Struktur pembiayaan asing yang berbeda memiliki implikasi yang berbeda terhadap pelarian modal asing. Investasi dalam bentuk obligasi relatif bertahan lebih lama. Di samping itu, investasi asing yang masuk ke Asia juga didukung kondisi perusahaan-perusahaan Asia yang bertumbuh secara organik.
Hal yang juga menarik, Amerika Latin relatif berhasil menahan pelarian modal asing. Alasan lain dari BIS, negara-negara berkembang sekarang lebih luas memanfaatkan fasilitas hedging, sebuah instrumen yang mengamankan efek perubahan kurs.
Program bantuan China
Dengan demikian, pada 2023 atau tiga tahun sejak pandemi Covid-19 merebak pada 2020 dan setahun lebih setelah Bank Sentral AS (Fed) menaikkan suku bunga, gelombang default belum terlihat meluas di negara-negara berkembang. Sebelumnya Bank Dunia memperkirakan 70 negara berpendapatan rendah memiliki total utang 326 miliar dollar AS. Lebih dari setengahnya mendekati tekanan utang, termasuk Zambia, Etiopia, dan Ghana (Caixin Global, 26 Juni 2023).
Pihak IMF juga turut khawatir. ”Situasi ini adalah yang paling parah sejak krisis utang terjadi di negara-negara berkembang pada 1980-an,” kata Sean Hagan, mantan general counsel di IMF.
Namun, ada hal yang sangat berbeda sekarang ini, yakni terjadi perubahan komposisi kreditor bagi negara-negara berkembang yang miskin. Ini ditandai dengan kehadiran China sebagai kreditor baru dengan porsi dana pinjaman besar (lihat tabel). Peran China tersebut turut mencegah rentetan default sekarang.
Di luar pinjaman bilateral itu, harian China, The Global Times, 1 November 2023, menuliskan bahwa China telah memberikan 1.000 kasus bantuan darurat kepada lebih dari 70 negara dalam satu dekade silam. Hal itu disampaikan Luo Zhaohui, Ketua China International Development Cooperation Agency (CIDCA). Dengan demikian, akar krisis utang di banyak negara teratasi sejak dini.
Di samping bantuan darurat, pembangunan konstruksi lewat Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), inisiatif China yang diluncurkan pada 2013 turut memainkan peran penting dalam mendorong pembangunan internasional. Ada 2.000 proyek BRI di 120 negara dan di 80 zona ekonomi dan perdagangan dengan total investasi China sebesar 1 triliun dollar AS.
Ada pelatihan terhadap 100.000 pakar dari China di berbagai sektor yang berhasil melepas 40 juta orang dari jerat kemiskinan. Sebanyak 200 proyek kecil tetapi bermanfaat dijalankan di lebih dari 60 negara.
Baca juga: Prakarsa China Kini Bidik ”Yang Kecil dan Indah”
China juga terlibat kerja sama bilateral dan kerja sama dengan lebih dari 20 lembaga internasional untuk pengurangan kemiskinan, keamanan pangan, kesehatan publik lewat 130 proyek di hampir 60 negara yang bermanfaat bagi 30 juta warga.
Luo menambahkan, kerja sama pembangunan internasional yang dicanangkan China terus berlanjut dengan mekanisme yang terus mengalami perbaikan, perluasan investasi, dan peningkatan kualitas kerja sama internasional. Di dalamnya termasuk penguatan pengawasan dan evaluasi bantuan asing.
Semua itu turut menggerakkan perekonomian di banyak negara berkembang sehingga memiliki kemampuan membayar utang.
Penolong saat darurat
Dari semua bantuan itu, ada yang berkembang menjadi pinjaman bermasalah. Terkait pinjaman asal China yang bermasalah di sejumlah negara, China melakukannya dengan caranya tersendiri.
China menolak berpartisipasi dalam restrukturisasi utang dengan Bank Dunia dan IMF serta bank pembangunan internasional lainnya kecuali jika sama-sama bersedia menghapuskan sebagian pinjaman bermasalah. Alasan konstan yang lain dari China adalah Bank Dunia dan IMF terlalu dikuasai Barat dan tidak sesuai lagi dengan kepentingan bersama secara global.
Baca juga: China Tolak Tambah Dana di IMF karena Keterwakilan Negara Berkembang Dihambat
China mengatasi krisis utang di negara berkembang dengan memberi pinjaman penyelamatan darurat lewat bank-bank sentral negara-negara berkembang yang kritis devisa.
Meski demikian, peran China mendapatkan pujian. Laporan dari AidData, Maret 2023, berjudul ”China as an International Lender of Last Resort” diluncurkan. Isinya berisikan hasil telaahan pola restrukturisasi utang yang dilakukan China.
Laporan tersebut ditulis Sebastian Horn (Bank Dunia), Bradley C Parks (AidData), Carmen M Reinhart (Harvard Kennedy School), dan Christoph Trebesch (Kiel Institute for the World Economy). ”Ketimbang mengampuni utang yang bermasalah, Beijing biasanya memberi jangka waktu yang lebih lama untuk pembayaran utang,” demikian salah satu kutipan dalam laporan tersebut.
China mengatasi krisis utang di negara berkembang dengan memberi pinjaman penyelamatan darurat lewat bank-bank sentral negara-negara berkembang yang kritis devisa. Asumsi China adalah negara-negara peminjam hanya sedang menghadapi masalah likuiditas sementara.
Laporan AidData itu menyatakan, China berperan sebagai the lender of the last resort lewat Bank Sentral China (PBOC) dengan kucuran dana 240 miliar dollar AS sejak 2000 hingga 2001. Dana talangan China lewat PBOC itu lebih dari 144 miliar dollar AS yang dikucurkan IMF dalam periode serupa.
Negara-negara berkembang pada saat-saat sulit mendapatkan dana untuk memperkuat devisa guna mencegah kemerosotan kurs. Negara-negara penerima bantuan China juga mendapatkan dana untuk pendukung anggaran pemerintah. PBOC berperan sebagai sumber dana darurat, sumber pinjaman, yang biasanya dilakukan IMF.
William Kring, Direktur Eksekutif Global Development Policy Center, Boston University, mengatakan bahwa dalam banyak kasus, PBOC memberi pinjaman cepat dan relatif besar untuk bank sentral di negara-negara berkembang yang tidak memiliki akses terhadap likuiditas darurat.
AidData juga menyebutkan, tentu di luar China juga ada peran Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Rusia untuk mengatasi krisis utang di banyak negara.
Narasi jebakan utang
Jin Zhongxia, Kepala Departemen Internasional PBOC, menyebutkan bahwa pinjaman China hanya bagian kecil dari gambaran besar. Ia menambahkan, ironisnya problem utang di negara berkembang diperburuk kebijakan pengetatan moneter di negara-negara maju, seperti AS dan Eropa. Hal itu menaikkan beban utang dan berpotensi mendorong pelarian modal.
Zhou Xiaochuan, Wakil Ketua Boao Forum for Asia yang juga mantan Gubernur PBOC, mengatakan, dalam kasus terjadinya kebangkrutan negara-negara pengutang ke China, utang-utang akan direstrukturisasi. Dalam kasus tertentu, China juga bersedia memberikan pengampunan utang walau hal ini tidak umum terjadi.
Namun, Zhou menyebutkan, upaya China menolong banyak negara lewat bantuan telah dibelokkan sebagai upaya China menjebak banyak negara lewat utang. Menurut dia, narasi jebakan utang ini tidak bisa diremehkan walau semakin banyak negara yang tidak percaya dengan narasi itu.
Baca juga: ”Perang Dingin” AS-China Mentalkan Pembahasan Utang Negara-negara Termiskin
Di Barat, tidak semua percaya dengan narasi jebakan utang oleh China tersebut. ”Seiring dengan berjalannya waktu… sistem pengelolaan krisis utang oleh AS yang teruji… juga menjadi sebuah cara yang turut dilakukan China,” demikian laporan AidData.
Deborah Brautigam dari Johns Hopkins University Bersama Meg Rithmire dari Harvard Business School menyebutkan, narasi jebakan utang yang diarahkan terhadap China adalah mitos.
Pertanyaan selanjutnya, apakah potensi default di negara-negara berkembang akan bisa dihindari? Hal ini tidak bisa dipastikan karena Bank Sentral AS (Fed) masih berpotensi menaikkan suku bunga inti. Masih ada potensi gangguan dari AS lewat kebijakan Fed, yang bisa mengakibatkan pelarian modal dari negara-negara berkembang. (AP/AFP/REUTERS)