Mengukur Potensi Jebakan Utang
Pemerintah perlu menyiapkan langkah mitigasi agar Indonesia tidak bernasib serupa dengan beberapa negara yang terjerat belitan utang seperti Uganda, Kenya, Sri Lanka, dan Pakistan.
JAKARTA, KOMPAS — Utang pemerintah tentu dimaksudkan untuk membiayai pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, utang Indonesia kepada China yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir juga disertai kekhawatiran akan adanya jebakan utang. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan menyiapkan langkah mitigasi agar Indonesia tidak bernasib serupa dengan beberapa negara yang terjerat belitan utang seperti Uganda, Kenya, Sri Lanka, dan Pakistan.
Selama satu dasawarsa terakhir, utang Indonesia kepada China terus bertambah. Berdasarkan data penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios), utang luar negeri Indonesia dari ”Negeri Tirai Bambu” itu pada tahun 2022 mencapai 20,225 miliar dollar AS atau setara Rp 315,1 triliun. Padahal, satu dekade sebelumnya, utang Indonesia dari China tercatat di bawah 10 miliar dollar AS.
Direktur Studi China-Indonesia Celios Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan, seiring dengan meningkatnya utang tersebut, terdapat kekhawatiran akan adanya perangkap utang atau debt trap. Indikasi yang menunjukkan suatu negara mengalami masalah utang ini antara lain meyakini utang itu berdampak bagi pertumbuhan ekonomi sehingga timbul rasa ketergantungan. ”Negara ini biasanya akan korting atau secara aktif menarik utang China karena merasa akan mendapatkan keuntungan dari utang tersebut,” ujar Zulfikar.
Indikasi lainnya timbul karena kelemahan sistem politik yang membuat suatu negara merasa lebih membutuhkan China daripada sebaliknya. ”Dari gelagat pemerintah atas utang dari China dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memiliki potensi demikian,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk ”Polemik Investasi China di Indonesia: Bagaimana Menghindari Kualitas Investasi yang Rendah dan Jebakan Utang” yang diadakan oleh Celios di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Namun, Zulfikar mengingatkan, kasus gagal bayar suatu negara merupakan hal yang sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya faktor domestik. Misalnya seperti terjadi pada Sri Lanka.
Pada tahun 2010, Sri Lanka menerima pinjaman 1,5 miliar dollar AS dari China untuk pembangunan Pelabuhan Internasional Hambantota. Dalam kesepakatan utang tersebut, salah satu syaratnya adalah pemberian izin perusahaan konstruksi komunikasi China untuk melakukan pembangunan proyek tersebut.
Seiring berjalannya waktu, terjadi permasalahan internal di Sri Lanka, seperti korupsi dan tekanan politik dari Partai Komunis China. Hal ini mengakibatkan Sri Lanka terpaksa merelakan 99 tahun konsesi pengelolaan pelabuhan serta kepemilikan saham dominan sebesar 70 persen jatuh ke tangan China karena Sri Lanka gagal membayar utang.
Ibaratnya, tahun 2015 sampai 2024 ini adalah fase uji coba karena sebelumnya China tidak pernah semasif ini. Dengan uji coba ini, kita bisa waktu belajar banyak.
Sri Lanka adalah satu dari 147 negara yang pada tahun 2022 tercatat telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) proyek kerja sama dengan China di bawah payung Belt and Road Initiative. Jika diakumulasikan, jumlah penduduk pada jalur kawasan ini setara dengan dua pertiga populasi dunia atau melibatkan sekitar 40 persen dari produk domestik bruto global.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Kamrussamad, menegaskan, kasus negara-negara gagal bayar utang seperti Uganda, Pakistan, dan Sri Lanka dapat menjadi bahan pembelajaran bagi Indonesia dalam mengambil kebijakan utang luar negeri. Negara-negara tersebut merupakan negara kecil yang ingin melakukan loncatan besar melalui pembangunan infrastruktur dengan memanfaatkan utang dari negara besar, salah satunya China.
”Ada skema pinjaman apa di situ, model seperti apa yang dikembangkan oleh China, sehingga negara-negara itu gagal bayar. Padahal, tentunya sebuah negara mengajukan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur sudah pasti memiliki perhitungan cash flow dan visibility study terlebih dahulu,” ujarnya.
Menurut Kamrussamad, China tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi juga pengaruh wilayah. Sebab, hampir semua proyek yang diberikan dalam skema pinjaman dan investasi tersebut memiliki tujuan lain, seperti ekspansi di Afrika Barat dan Asia dalam rangka percaturan kekuatan global.
Meningkatkan kualitas utang
Terlepas dari isu negatif terkait pinjaman China, sejumlah negara juga dapat menjalin kerja sama dengan baik dengan China. Zulfikar memaparkan, implementasi investasi China di wilayah Timur Tengah, seperti Qatar dan Arab Saudi, dapat menjadi rujukan bagi Indonesia.
Salah satu kunci untuk dapat meningkatkan kualitas utang dengan negara lain, kata Zulfikar, adalah kemampuan negosiasi dan memahami skema pinjaman. Dalam hal ini, pemerintah Arab Saudi berhasil membuat kesepakatan mengenai keterserapan tenaga kerja domestik sebesar 80 persen dari semula ditawarkan oleh China 20 persen.
”Tidak semua ceritanya negatif. Negosiasi, evaluasi, dan monitoring ini penting. Belajar dari proyek Kereta Cepat Indonesia Jakarta-Bandung, China mengadopsi konsep ’lihat nanti’. Seharusnya, sejak awal kita memastikan tentang skema dan konsep pembiayaan dari China,” tutur Zulfikar.
Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah perlu lebih selektif, baik dalam investasi maupun utang. Penerapan prinsip transparansi juga tidak kalah penting sehingga banyak pihak bisa terlibat dalam pengawasan pembiayaan.
Menurut Bhima, pemilu tahun 2024 ini juga menjadi salah satu penentu arah kebijakan investasi Indonesia. Melalui modifikasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029, presiden yang baru dapat menyesuaikan visi-misinya terkait hubungan kerja sama dengan China.
Baca juga: Hubungan Makin Rapat, Arab-China Sepakati Investasi Rp 149 Triliun
”Hubungan kita dengan China tetap seperti ini, siapa pun presidennya itu pasti akan tetap. Namun, bentuknya yang akan berubah. Sebab, ibaratnya, tahun 2015 sampai 2024 ini adalah fase uji coba karena sebelumnya China tidak pernah semasif ini. Dengan uji coba ini, kita bisa waktu belajar banyak,” tutur Bhima.
Jalan Sutra Baru China
Satu dekade lalu, Presiden China Xi Jinping menginisiasi proyek Belt and Road Initiative (BRI) atau inisiatif sabuk dan jalan yang digadang-gadang akan menjadi Jalur Sutra Baru abad XXI. Ada tiga ambisi dari proyek tersebut, yakni membangun inisiatif Jalur Sutra Ekonomi, Jalur Sutra Darat, dan Jalur Sutra Maritim meliputi Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik, Asia Selatan, serta Asia Tenggara.
Ketua Forum Sinologi Johanes Herlijanto mengatakan, proyek tersebut turut disertai dengan komitmen investasi China sebesar 16 miliar dollar AS. Kehadiran Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dananya didominasi oleh China menjadi awal mula berjalannya proyek tersebut.
”Proyek jalan sutra ini kemudian berganti nama menjadi belt and road inisiative atau inisiatif satu sabuk dan satu jalan. Mereka khawatir jika nantinya dianggap seolah-olah mengajak semua negara berada dalam jaringan China. Namun, istilah ini hanya diganti dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa China tidak berubah,” katanya.
Dalam gagasan proyek tersebut, China beretorika sebagai alternatif atas Official Development Assistance (ODA) yang dianggap mempunyai hegemoni. Selain itu, China juga mengajak negara-negara di Asia untuk bekerja sama secara resiprokal sebagai wujud solidaritas sekaligus berbagi pengalaman. Bagi China, negara-negara di Asia mempunyai kesempurnaan yang sama untuk berkembang.
Herlijanto menambahkan, negara Barat dalam memberi pinjaman cenderung melibatkan isu hak asasi manusia, lingkungan, dan good governance. Sementara China mengklaim negerinya menghargai kedaulatan negara dan tidak mau ikut campur urusan domestik.
”Retorika yang menarik dan manis ini membuat berbagai pihak menjadi tertarik dengan tawaran China. Namun, nyatanya, bantuan yang mereka berikan bersifat terikat. Kesepakatan mereka tampak tidak terlalu merugikan, seperti material, tenaga kerja, dan kontraktor berasal dari China. Selain itu, prinsip kerja sama ini mengedepankan One China Policy sekaligus mencari dukungan dalam isu internasional,” kata Herlijanto.
Peneliti Celios, Yeta Purnama, menambahkan, pinjaman BRI ini beroperasi di luar sistem moneter standar internasional sehingga memiliki perlindungan yang terbatas terhadap negara penerima pinjaman. Hal ini mengakibatkan negara yang berutang tidak mampu menilai ketentuan kontrak proyek dan kesulitan dalam memperoleh bantuan penyelesaian sengketa atau arbitrase.
”Konsekuensinya, negara yang terjebak dalam proyek ini tak punya banyak pilihan untuk mencari bantuan. Kondisi ini membuat posisi China diuntungkan karena mendapatkan konsesi dan aturan pinjaman yang ditetapkan sendiri. China dinilai sengaja memanfaatkan negara dengan kemampuan ekonomi yang rendah dan berkembang untuk memperkuat posisinya melalui diplomasi Belt and Road Initiative,” ujarnya.
Baca juga: Biaya Proyek Kereta Cepat Membengkak, Pemerintah Tambah Utang
Menurut Yeta, Indonesia menjadi bagian penting dari Jalur Sutra Maritim China, yakni sebagai hub logistik dan keamanan kawasan. Indonesia juga dinilai memiliki pasar yang besar untuk tujuan ekspor strategis China sekaligus sebagai pemasok bahan baku dan produk setengah jadi bagi industri China. Upaya China kemudian semakin mudah dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja.