Situasi di Gaza sangat tidak stabil. WNI belum bisa meninggalkan rumah mereka untuk menyeberang ke Rafah. Sebagian WNI memilih tetap jadi sukarelawan di Gaza. Perang masih terus berkecamuk tanpa ada tanda peredaan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Sejumlah penduduk Gaza memasuki Mesir melalui pintu pelintasan Rafah, Rabu (1/11/2023). Belum ada satu pun warga Indonesia yang bisa dievakuasi dari Gaza.
JAKARTA, KOMPAS — Warga negara Indonesia di Gaza belum bisa diungsikan. Sebab, mereka masih di tempat tinggal masing-masing dan kediaman mereka berada di sekitar palagan tempur. Kondisi itu menjadi salah satu sebab gencatan senjata amat diperlukan.
Awalnya, Kementerian Luar Negeri RI mau memulai evakuasi pada Rabu (1/11/2023). Sebab, warga asing mulai meninggalkan Gaza menuju Mesir pada hari itu.
Ternyata, rencana itu tidak bisa dilakukan. ”Terjadi serangan di dekat tempat tinggal WNI sehingga mereka tidak bisa keluar rumah. Evakuasi terpaksa diundur,” kata Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha di Jakarta, Kamis (2/11/2024).
Para WNI di Gaza memang masih berada di tempat tinggal masing-masing dan tidak berkumpul di satu titik. Karena itu, evakuasi benar-benar harus memperhatikan situasi yang dihadapi oleh setiap WNI.
Dalam berbagai evakuasi dari wilayah konflik, WNI biasanya dikumpulkan di titik tertentu. Dari sana, mereka diberangkatkan menuju titik penjemputan. Di lokasi lain, pemerintah mengirimkan petugas penjemput ke titik kumpul awal. Di Gaza, hal itu sulit dilakukan karena Gaza praktis diblokade Israel sejak bertahun lalu.
Ada 10 WNI di Gaza. Tiga di antaranya memilih tetap tinggal karena mereka menjadi sukarelawan pada Medical Emergency and Rescue Committee (MER-C) yang menolong masyarakat lokal. Sementara sebagian dari tujuh WNI menikah dengan warga Gaza.
Judha mengatakan, Pemerintah Indonesia hanya wajib mengungsikan WNI. Terkait pasangan ataupun anak yang berstatus warga negara Palestina harus dikoordinasikan dulu dengan Pemerintah Mesir. Sebab, Kairo hanya mengizinkan Gerbang Rafah dibuka untuk penyeberangan bagi warga non-Palestina.
Warga asing
Di Kairo, Wakil Menteri Luar Negeri Mesir Ismail Khairat mengatakan bahwa Mesir berencana membantu mengungsikan 7.000 warga negara 60 negara dan orang Palestina yang berkewarganegaraan ganda untuk menyeberang ke Rafah.
Evakuasi ini dibuka selama periode dua pekan ke depan. Perkiraannya, mereka bisa mengungsikan 400 WNA dan 60 warga Palestina yang terluka parah pada Kamis ini. Para WNA itu, antara lain, terdiri dari orang Austria, Jerman, Perancis, dan Italia. Pengizinan evakuasi 7.000 WNA dari Gaza ini hasil negosiasi Hamas, Israel, dan Amerika Serikat, yang dimediasi Qatar dengan melibatkan Israel.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Matthew Miller, menuturkan, sejumlah warga negara AS juga sudah menyeberang ke Rafah, Mesir. Akan tetapi, Miller menolak mengungkap jumlahnya.
Sementara Uni Emirat Arab mengumumkan, Dubai akan membantu merawat dan memulihkan 1.000 anak Palestina dari Gaza. Akan tetapi, belum ada kejelasan pelaksanaan niat tersebut. Pasalnya, sejauh ini, Israel dan Mesir belum memberi persetujuan pembukaan perbatasan guna mengevakuasi anak-anak yang terluka.
”UEA sedang menyiapkan rumah sakit untuk merawat 1.000 anak Gaza yang didampingi oleh orangtua dan wali,” kata Presiden UEA Sheikh Mohamed bin Zayed sebagaimana dikutip oleh kantor berita setempat, WAM.
Perkembangan perang
Sementara itu, pasukan Israel terus mendekati pusat kota Gaza. Sejumlah regu Israel tewas dan cedera dalam baku tembak di Gaza.
Kamis pagi, terjadi ledakan di Gaza selatan yang berbatasan dengan Rafah. Israel hingga kini telah menyerang lebih dari 11.000 sasaran. Data Kementerian Kesehatan Gaza menyebut 9.061 orang tewas di Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak. Selain itu, menurut Dokter Lintas Batas (MSF), setidaknya 20.000 orang cedera di Gaza.
Dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut, Israel bukan lagi membela diri akibat serangan Hamas 7 Oktober 2023. Israel kini sudah murni menyerang untuk menduduki Gaza. Bahkan, pada taraf tertentu, serangan itu terindikasi untuk pemusnahan etnis.
Sejumlah negara meminta Israel menghentikan serangan, melakukan gencatan senjata, dan menyediakan jalur kemanusiaan permanen. Israel tidak menggubris seruan internasional itu. Apalagi, pendukung nomor satu Israel, AS, tidak keberatan dengan serangan Israel ke Gaza.
Memang, Presiden AS Joe Biden telah mengusulkan jeda kemanusiaan. Biden akan kembali mengutus Menlu AS Antony Blinken ke Timur Tengah untuk mencari solusi krisis Gaza.
Pasokan minyak
Selain sibuk membuka Gerbang Rafah demi mengungsikan WNA, Gaza juga meminta bantuan bahan bakar minyak karena rumah sakit berisiko mengalami mati lampu jika generator listrik padam. Pembedahan, inkubator bayi, dan berbagai peralatan penunjang kehidupan akan turut padam sehingga pasien berisiko kehilangan nyawa.
Kepala Dokter Bedah RS Al-Shifa, Marwan Abusada, mengatakan bahwa suasana di rumah sakit itu penuh sesak. Pasalnya, tidak hanya pasien yang memadati koridor, akan tetapi juga pengungsi yang kehilangan tempat tinggal.
Tanpa ada pengaturan pengungsi ke lokasi yang lebih aman, di rumah sakit itu mengintai bahaya penularan penyakit yang, antara lain, adalah diare akibat kebersihan yang tidak layak.
Selain berusaha menyelamatkan WNI, Pemerintah Indonesia terus berkoordinasi dengan negara-negara dan beragam pihak di Gaza. Menlu Retno Marsudi mendorong Israel dan Mesir mengizinkan truk-truk pengangkut BBM masuk Gaza. ”Ini demi kemanusiaan. Rumah Sakit Al-Shifa dan Rumah Sakit Indonesia secara spesifik sudah meminta bantuan ke Kemenlu,” kata Retno. (AP/AFP)