Perang Israel-Hamas mengakibatkan ribuan warga sipil Palestina tewas. Israel diingatkan harus melindungi warga sipil.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
KOTA GAZA, SENIN – Seiring dengan gempuran bertubi-tubi Israel atas Gaza, Senin (30/10/2023), situasi kemanusiaan di wilayah itu kian memburuk. Korban pun terus berjatuhan. Tercatat, lebih dari 8.000 warga Palestina tewas sejak Israel menggelar serangan balasan pada 8 Oktober lalu. Sebagian korban tewas adalah anak-anak.
Terkait banyaknya korban jiwa dari pihak sipil, Sabtu lalu, Presiden Komite Palang Merah Internasional Mirjana Spoljaric menyuarakan keprihatinannya. Menurut dia, situasi penderitaan di Gaza tidak lagi dapat ditoleransi. ”Ini adalah kegagalan besar yang tidak boleh ditoleransi oleh dunia," kata Spoljaric, sembari mendorong semua pihak untuk segera menurunkan eskalasi konflik.
Kegetiran Spoljaric beralasan. Hingga saat ini belum ada perubahan positif di Gaza. Meskipun jeda kemanusiaan telah diserukan, situasinya justru memburuk. Merujuk pada laporan Islamic Relief, Selasa (17/10/2023), sebagaimana diunggah dalam laman UN OCHA, disebutkan bahwa sama sekali tidak ada tempat aman di Gaza. Serangan bom merusak infrastruktur sipil, termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, ambulans, masjid, gereja, sistem air, dan tempat pengungsian.
Dalam catatan lembaga tersebut, setidaknya 24 rumah sakit dan fasilitas kesehatan serta 22 ambulans rusak terkena bom. Sementara 30 pekerja kemanusiaan termasuk staf medis meninggal. PBB mengatakan, 164 fasilitas pendidikan, termasuk sejumlah sekolah yang dipergunakan sebagai lokasi pengungsian, serta 18 masjid dan gereja terkena gempuran bom.
Kemanusiaan runtuh
Hingga saat ini situasi seperti itu masih terjadi. Ketika gempuran Israel makin intensif, situasi Gaza makin memprihatinkan, Di antara jalan yang hancur, reruntuhan dan puing-puing bangunan, rasa putus asa, panik, ketakutan, dan keputusasaan makin meningkat. ”Anda ingin kami mengungsi ke mana? Semua daerah berbahaya,” kata Ibrahim Shandoughli (53), warga Jabaliya, Gaza utara.
Ibrahim merupakan bagian dari ratusan ribu warga Gaza yang masih bertahan di wilayah utara. Selain itu, lebih dari 1,4 juta orang di Gaza telah meninggalkan rumah mereka.
Namun, wilayah Gaza selatan—di mana Israel meminta warga Palestina mengungsi—juga tak luput dari serangan. Dukungan logistik untuk kehidupan sehari-hari juga sangat terbatas. Situasi itu tidak seperti yang sebelumnya dikatakan Juru Bicara IDF Laksamana Muda Daniel Hagari. Saat mengumumkan peningkatan serangan darat dan kembali mengultimatum warga, ia mengatakan, warga yang mengungsi akan memiliki akses lebih baik pada makanan, air, dan obat-obatan di selatan.
Akan tetapi, fakta yang ditemui warga tidak demikian. Warga masih kesulitan mendapatkan kebutuhan dasar. ”Warga Gaza sekarang harus mengantre untuk mendapatkan roti, toilet, dan bahkan untuk tidur,” kata Etidal al-Masri, warga Gaza. Ia termasuk di antara mereka yang melarikan diri setelah Israel mengultimatum warga di Gaza utara.
Dampak dari kondisi itu, keputusasaan warga memuncak. Dan, dipicu oleh keputusasaan tersebut, sejumlah warga pada Minggu mendobrak gudang PBB. Mereka mencari makanan kaleng, tepung, minyak, dan perlengkapan sanitasi.
”Pembobolan gudang bantuan adalah tanda mengkhawatirkan, ketertiban sipil mulai rusak setelah tiga minggu perang dan pengepungan ketat di Gaza. Orang-orang mulai takut, frustrasi, dan putus asa,” tutur Direktur Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) Thomas White.
Bantuan
Sebelumnya, pada Sabtu lalu, sejumlah truk yang mengangkut air, makanan, dan pasokan medis telah tiba di Gaza. Sejauh ini, menurut catatan PBB, pengiriman itu merupakan yang terbanyak. Namun, pasokan itu masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan.
”Sebanyak 33 truk membawa air, makanan, dan obat-obatan memasuki satu-satunya penyeberangan perbatasan dari Mesir,” ucap juru bicara pintu pelintasan di Rafah, Wael Abo Omar. Namun, dengan meningkatkan kebutuhan pangan, setidaknya 40 truk harus menyeberang ke Gaza setiap hari.
Sekjen PBB Antonio Guterres menyesalkan, saat jeda kemanusiaan sangat dibutuhkan dan memang didukung dunia internasional, Israel malah meningkatkan operasi militernya. ”Dunia sedang menyaksikan bencana kemanusiaan. Saya mendesak semua yang bertanggung jawab untuk mundur dari jurang kehancuran,” kata Guterres dari Kathmandu, Nepal.
Terkait dengan bantuan kemanusiaan, pada Minggu, Presiden AS Joe Biden menghubungi PM Israel Benjamin Netanyahu. Dalam kesempatan tersebut, Biden menggarisbawahi perlunya meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan warga sipil di Gaza.
Selain berbicara dengan Netanyahu, menurut Gedung Putih, Biden juga menghubungi Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi. Keduanya berkomitmen mempercepat penambahan jumlah bantuan kemanusiaan di Gaza mulai hari ini.
Komitmen itu muncul ketika pemimpin dunia lain juga mendesak pentingnya bantuan segera untuk warga Gaza. Di antara mereka ada Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak.
Downing Street menjelaskan, keduanya berbicara melalui telepon. Keduanya sepakat bekerja sama untuk menyediakan bantuan makanan, bahan bakar, air, dan obat-obatan penting bagi warga Gaza, serta mengeluarkan warga negara asing dari Gaza.
Macron melalui media sosial X menulis, ”Sebanyak 17 ton bantuan kemanusiaan dari Perancis tiba di Mesir. Kami melanjutkan upaya kami melalui udara dan laut, bersama Mesir dan Bulan Sabit Merah,” tulis Macron.
Sementara itu, Pemerintah Israel mengatakan akan mengizinkan lebih banyak bantuan masuk ke Gaza.
Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional Karim Khan mengatakan, mencegah akses terhadap bantuan kemanusiaan bisa dianggap kejahatan. ”Menghambat pasokan bantuan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Geneva bisa menjadi kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan,” kata Khan seusai mengunjungi gerbang Rafah.
”Saya melihat truk-truk penuh barang berisi bantuan kemanusiaan terhenti di tempat yang tidak dibutuhkan siapa pun. Truk terjebak di Mesir, di Rafah. Bantuan kemanusiaan ini harus sampai ke warga sipil di Gaza tanpa penundaan,” tutur Khan.
Situasi perang
Terkait situasi perang di Gaza, dalam pembicaraan dengan Netanyahu, Biden mengingatkan, Israel harus melindungi warga sipil. AS memandang, meski memiliki hak untuk membela diri, Israel juga harus konsisten dengan hukum kemanusiaan internasional yang memprioritaskan perlindungan warga sipil.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan CNN, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan, Israel harus membedakan antara kombatan Hamas dan warga sipil yang bukan Hamas.
Dalam pernyataannya, Gedung Putih juga menyampaikan, AS berupaya membantu memulihkan jalur komunikasi dan internet di Gaza. Konektivitas secara bertahap mulai pulih pada hari Minggu. Melalui akun resmi Gedung Putih di media sosial X, Gedung Putih menyatakan, pemulihan komunikasi merupakan hal penting.
”Pekerja bantuan kemanusiaan, warga sipil, dan jurnalis harus dapat berkomunikasi satu sama lain, dan dengan seluruh dunia. Pemerintahan kami peduli akan hal ini dan berupaya mengatasinya dan senang melihat konektivitas dipulihkan,” kata Gedung Putih. (AP/AFP/REUTERS)