Warga Israel dan pemeluk Yahudi di berbagai negara juga mendesak gencatan senjata di Gaza. Israel dan pendukungnya tidak mau mendengar permintaan itu. Perang tiga pekan ini menewaskan ribuan anak.
Oleh
IWAN SANTOSA, KRIS MADA
·3 menit baca
TEL AVIV, MINGGU — Desakan gencatan senjata antara Israel-Hamas tidak hanya berasal dari luar negeri. Dari dalam negeri pun, desakan serupa disampaikan kepada pemerintahan Benjamin Netanyahu. Perang selama tiga pekan terakhir telah menewaskan setidaknya 9.000 orang dan melukai puluhan ribu lainnya.
Desakan gencatan senjata disampaikan dalam unjuk rasa di depan kantor Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv pada Sabtu (28/10/2023). Massa membawa aneka poster yang menuntut pemerintahan Netanyahu memerintahkan militer Israel, IDF, menerapkan gencatan senjata di Gaza.
Mereka juga menuding, Netanyahu bertanggung jawab atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan itu menewaskan 1.405 warga Israel. Hamas juga membawa sedikitnya 224 orang untuk disandera di Gaza. Menurut media Israel, Haaretz, separuh korban tewas merupakan tentara atau anggota pasukan cadangan Israel.
Media Amerika Serikat, The New York Times, melaporkan bahwa serangan pada 7 Oktober 2023 juga menewaskan sejumlah orang Arab yang menjadi warga Israel. Selain itu, warga Israel keturunan Arab juga kehilangan pekerjaan akibat serangan itu karena serangan itu mengakibatkan perkebunan tempat mereka bekerja tidak beroperasi lagi.
Israel membalas serangan itu dengan penyerbuan tanpa henti ke Gaza sejak 8 Oktober 2023. Tepi Barat juga jadi sasaran serangan aparat dan warga Israel. Akibatnya, 7.812 warga Palestina tewas. Dari keseluruhan korban, 5.891 merupakan anak-anak, perempuan, dan warga lansia.
Sebagian besar anak-anak tewas bersama ibu mereka dalam keadaan mengenaskan. Kamar jenazah di Gaza sudah tidak dapat menampung para korban.
Dalam pernyataan, Hamas menuding serangan Israel sebagai penghambat pembebasan sandera. Hamas berkilah, tidak mau sandera dibebaskan saat serangan udara terus dilancarkan Israel. Hamas tidak memberikan bukti untuk menguatkan klaim dan tudingannya.
Dengan mediasi Qatar, Hamas disebut terus merundingkan pembebasan sandera. Mereka meminta setidaknya tiga hal, pembebasan seluruh warga Palestina dari penjara Israel dan penghentian serbuan serta blokade Israel ke Gaza.
Perundingan berlangsung amat lambat. Sejauh ini, empat sandera sudah dibebaskan. Selepas pembebasan itu, sejumlah truk pengangkut bantuan kemanusiaan masuk Gaza.
Adapun dalam unjuk rasa di Tel Aviv, warga meminta pemerintah membebaskan orang-orang Palestina dari penjara Israel. Desakan juga disampaikan keluarga para sandera. Bagi mereka, pertukaran itu perlu dilakukan demi keselamatan para sandera.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, masyarakat, pasien, dan pekerja medis di Gaza hidup dalam cengkeraman ketakutan. Pengeboman yang berlangsung sepanjang malam oleh Israel terus berlangsung. Mereka juga terputus dari jalur komunikasi dan pemutusan pasokan listrik.
WHO mendesak gencatan senjata diberlakukan segera. WHO juga meminta pihak bertikai melindungi warga dan fasilitas sipil, termasuk fasilitas kesehatan dan pekerjanya. Desakan WHO mirip tuntutan para pengunjuk rasa di Tel Aviv.
WHO juga menyinggung pengeboman terhadap berbagai rumah sakit di Gaza, termasuk RS Indonesia dan RS yang dioperasikan relawan Indonesia. Pengeboman terhadap rumah sakit dan aneka fasilitas serta kendaraan medis harus dihentikan.
Para petugas dan sukarelawan medis juga kesulitan menjangkau korban. Banyak permintaan tolong tidak sampai ke mereka. Sebab, layanan komunikasi terputus total pada Kamis sampai Minggu pagi. Pada Minggu pagi, menurut Al Jazeera, internet dan telepon perlahan mulai pulih lagi.
Blokade
Namun, upaya penyelamatan tidak maksimum. Sebab, banyak ambulans tidak bisa beroperasi gara-gara tidak punya bahan bakar. Sejak 8 oktober 2023, Israel melarang makanan, bahan bakar, air, hingga listrik masuk ke Gaza. Aneka infrastruktur penyalurannya pun hancur oleh serangan udara Israel.
Desakan internasional agar Israel mengizinkan pasokan bantuan masuk nyaris tidak didengarkan. Dari rata-rata 500 truk sehari, tidak sampai 100 truk masuk Gaza dalam sepekan terakhir.
Lembaga swadaya asal Inggris, Oxfam International, menyebut tindakan itu memicu kelaparan massal di Gaza. Direktur Oxfam Timur Tengah Sally Abi Khalil menyebut situasi di Gaza amat mengerikan.
”Di mana rasa kemanusiaan. Jutaan orang dihukum secara kolektif di depan mata masyarakat internasional. Para pemimpin dunia tidak bisa diam saja menyaksikan ini. Setiap hari anak-anak mengalami trauma akibat pengeboman Israel, air minum kotor dan dijatah. Sebentar lagi orangtua mereka pun sudah tidak bisa memberi mereka makan,” tuturnya. (AP/REUTERS)