Aborigin Ratapi Hasil Referendum yang Menolak Akui Suku Pribumi
Hasil ini dianggap sebagai kemunduran bagi upaya rekonsiliasi dengan komunitas pribumi negara ini dan mencoreng citra Australia soal perlakuannya terhadap kaum pribumi.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
SYDNEY, MINGGU — Pemimpin Aborigin menyatakan masa hening selama sepekan. Hal itu menyikapi hasil referendum soal pengakuan hak penduduk asli Australia. Hasil referendum dianggap sebagai kemunduran bagi upaya rekonsiliasi dengan pribumi Australia, suku Aborigin dan Orang Pulau Selat Torres.
Pada Sabtu (14/10/2023), Australia menggelar referendum untuk memutuskan pengakuan hak pribumi di konstitusi. Hingga 70 persen surat suara sudah dihitung pada Minggu (15/10/2023).
Hasilnya, mayoritas menolak amendemen konstitusi untuk memasukkan pengaturan khusus hak pribumi. Dengan demikian, warga Australia juga menolak badan penasihat baru di parlemen yang disebut ”Indigenous Voice”. Badan itu dimaksudkan untuk memberikan pendapat soal komunitas pribumi.
Kelompok advokasi pribumi Australia menyatakan, jutaan warga Australia telah mengabaikan kesempatan menebus dosa masa kolonial negara itu. Kelompok koloni awal Inggris di Australia menindas dan mengusir orang-orang Aborigin dan Orang Pulau Selat Torres. ”Sekarang waktunya untuk hening, meratapi, dan sungguh-sungguh mempertimbangkan konsekuensi dari hasil ini,” demikian pernyataan itu.
Penyembuhan tradisional
Sementara itu, di pinggiran Sydney, penduduk pribumi membakar daun eukaliptus. Upacara itu lazim dipakai untuk penyembuhan tradisional. Hal itu untuk menyimbolkan rasa sakit yang melanda orang pribumi setelah referendum tidak sesuai harapan.
Salah seorang pribumi Australia, Shirley Lomas, menyatakan tetap bersemangat meski kalah. Menurut dia, pemilih referendum memilih tidak karena mereka takut perubahan saja. Sebab, sebagian besar dari mereka tak mengenal orang Aborigin. Persentase komunitas pribumi di Australia sekarang 3,8 persen dari 26 juta orang populasi Australia. ”Pribumi telah ada di sini selama 60.000 tahun dan kami akan terus ada di sini,” katanya.
Untuk menang referendum, pendukung perubahan konstitusi harus mendapat suara mayoritas di paling sedikit empat negara bagian Australia. Hal itu tidak tercapai di referendum pekan lalu.
Halangan
Tak mudah bagi orang Aborigin mendapatkan hak politik. Mereka telah berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan hak suara dasar, memiliki tanah adat, dan terpilih ke parlemen.
Para pendukung hak pribumi melihat referendum sebagai cara untuk menyatukan negara sembari mengatasi ketidakadilan sejarah yang telah menimpa pribumi. Akan tetapi, referendum tersebut justru mengungkapkan masalah rasial mendalam yang masih ada di Australia.
Pemimpin Pribumi, Esme Bamblett, mengatakan, kurangnya pemahaman warga kulit putih telah menciptakan beragam informasi salah. Informasi itu mendominasi kampanye menjelang referendum. Bentuknya, antara lain, narasi penyitaan tanah untuk diklaim ulang orang pribumi.
”Banyak orang tidak tahu tentang orang Aborigin. Mereka tidak tinggal di komunitas kami, mereka tidak bekerja di komunitas kami, dan mereka tidak tahu apa yang kami alami. Mereka tidak tahu sejauh mana pengusiran dan sejarah kami,” ujarnya.
Para akademisi menemukan isu utama referendum di media sosial bergeser ke perbedaan pandangan politik dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi. Dosen tata negara pada Australian National University, Matt Qvortrup, mengatakan bahwa kampanye referendum dimulai dengan rata-rata 55,9 persen pemilih mendukung.
Namun, suara itu turun sekitar 7 persen setelah dua partai politik di Australia tak satu suara mendukungnya. ”Semua orang harus tahu bahwa politik adalah perundingan,” katanya.
Dampak politik dalam referendum ini sangat terlihat di media sosial. Peneliti Queensland University Technology, Timothy Graham, memeriksa 250.000 unggahan di X atau twitter.
Awalnya lebih banyak unggahan yang mendukung ”Indigenous Voice”. Kondisi itu sebelum 5 April 2023 atau saat pemimpin Partai Liberal Peter Dutton menentukan sikap partai yang jadi oposisi itu. Selepas pernyataan Dutton, unggahan yang mendukung ”Indigenous Voice” melonjak lebih dari 500 persen. Lonjakan terjadi karena pendukung ”Indigenous Voice” mengkritik Dutton.
Meski demikian, belakangan penolak amendemen mendapatkan momentum. Pada Juni 2023, unggahan penolak itu lebih banyak dari pendukung amendemen.
Para pendukung amendemen juga gagal mempertahankan dominasi gagasan di media sosial. Mereka terutama mengusung soal hak asasi manusia dan perbaikan ketidakadilan sejarah bagi warga pribumi.
Narasi itu tergeser oleh diskusi soal biaya hidup dan inflasi. ”Permukiman kota bagian dalam yang lebih makmur kebanyakan mendukung perubahan, tetapi pinggiran kota menentangnya karena saat ini kekhawatiran utama masyarakat adalah biaya hidup,” kata Paul Smith, dari lembaga jajak pendapat YouGov.
Tanggapan
Perdana Menteri Anthony Albanese mengajak warga Australia melupakan perbedaan dan mengutamakan kesatuan. Ia berjanji akan terus mengupayakan pengakuan hak pribumi.
Cendekiawan Aborigin, Marcia Langton, menyatakan bahwa puluhan tahun usaha membangun kepercayaan antara warga Australia telah gagal. ”Rekonsiliasi sudah mati,” katanya.
Meskipun sebagian besar orang Aborigin mendukung referendum tersebut, sebagian menentangnya. Mereka menganggapnya hanya sebagai tindakan simbolis yang tak akan menghasilkan perubahan berarti. Warren Mundine mengatakan dia bersyukur referendum tersebut gagal.
Sementara Dutton mengatakan, Partai Liberal mendukung rekonsiliasi. Ia juga mendesak penyelidikan atas kasus-kasus pelecehan terhadap anak-anak pribumi. Audit dana program pemberdayaan pribumi juga perlu dilakukan. (AFP/REUTERS/AP)