Senja Awal Musim Gugur di Osaka
Senja memang salah satu saat terbaik berfoto dengan latar Kastil Osaka. Mereka yang ingin wajah tradisional dan pedesaan Jepang akan masuk lewat Osaka.
Daun yang berubah warna adalah harapan Osaka dan kota lain di Jepang. Bersama kastil, kuil, dan rumah kuno, perubahan daun itu diharapkan memulihkan kunjungan pelancong asing ke Jepang. Sudah tiga tahun mereka ditunggu.
Sebagian pelancong memang telah datang ke Osaka pada awal Oktober 2023. Pada Senin (2/10/2023) sore, sebagian dari mereka berjalan mendekati patung Toyotomi Hideyoshi. Patung panglima perang Jepang abad 16 dan pendiri Kastil Osaka itu itu berada di luar pagar inti Kastil.
Datang ke Kastil Osaka saat senja di awal musim gugur bisa jadi bukan saat terbaik. Suhu memang sudah turun dibandingkan musim panas, waktu itu 16 derajat celcius. Suhu rendah membuat jalan-jalan di kompleks kastil lebih menyenangkan. Tidak gerah seperti di puncak musim panas.
Baca juga Jepang Semakin Meninggalkan Onigiri dan Sake
Sebagian orang naik sepeda, sebagian lagi berjalan lalu duduk di bangku taman atau di atas pagar kastil. Banyak pula memilih berfoto dengan latar kastil.
Senja memang salah satu saat terbaik berfoto dengan latar Kastil Osaka. Lampu sorot menerangi sebagian kastil, langit masih jingga. Kamera dari ponsel sudah cukup mengabadikan pose di depan kastil yang bolak-balik rusak dalam berbagai perang itu.
Lebih mahal
Selain dengan latar kastil, sebagaian orang berfoto dengan latar gedung-gedung di Osaka dan langit yang terus berubah warga. Hanya satu yang kurang, daun belum berubah warna.
Memang, daun Sakura dan aneka tumbuhan di halaman kastil belum berganti warna. Bagi banyak pelancong asing, daun yang berganti warna adalah salah satu pengalaman yang ingin dikejar saat datang ke Jepang.
"Harga tiket dan penginapan bisa tiga kali lipat kalau ke Osaka akhir Oktober. Semua mahal sampai awal tahun," kata Hendri, pria asal Surabaya yang sudah 15 tahun tinggal di Jepang.
Puncak perubahan warna daun Sakura dan aneka tumbuhan lain memang ditaksir mulai akhir Oktober sampai akhir November. Setelah itu, daun-daun mulai rontok menjelang musim dingin. "Nanti akan tiket dan penginapan akan mahal lagi di April, musim semi. Saat terbaik ke Jepang memang waktu Sakura berganti warna atau mulai tumbuh lagi," kata Watanabe, pria yang tinggal di pinggiran kota Osaka.
Baca juga Sanding Menu ala Negeri Sakura
Bersama Tokyo, Osaka menjadi pintu masuk utama ke mayoritas orang asing ke Jepang. Mereka yang ingin wisata dengan nuansa modern cenderung ke Jepang lewat Tokyo. Sementara mereka yang ingin melihat wajah tradisional dan pedesaan Jepang akan masuk lewat Osaka.
Bekas pemerintahan
Dari Osaka, perjalanan dapat dilanjutkan ke Kyoto. Sebelum dipindahkan ke Edo, yang kini jadi Tokyo, Istana Kekaisaran Jepang berada di Kyoto. Kaisar di sana selama berabad-abad meski penguasa sebenarnya, para panglima perang seperti Hideyoshi, memilih berada di kota-kota lain.
Di Kyoto, pelancong antara lain menyambangi Kuil Kiyumizu. Sebagian lagi mendatangi hutan bambu Arashimaya. Karena jauh dari stasiun kereta, perjalanan ke berbagai tempat pelancongan Kyoto lebih dianjurkan dengan bus. Bagi yang mau, dapat pula menyewa sepeda.
Sebagian Situs Warisan Budaya Dunia memang ada di Kyoto. Di prefektur itu, situs-situs tersebut menjadi andalan pariwisata.
Bukan hanya di Kyoto, situs-situs itu juga tersebar di prefektur lain di Jepang. Salah satunya Desa Shirakawa. Di desa itu ada rumah-rumah kuno yang dibangun dengan teknik gassho-zukuri. "Tidak ada tempat lain untuk melihat rumah gassho-zukuri sebanyak di desa ini," kata pemandu wisata di desa itu. Kenji.
Secara ringkas gassho-zukuri adalah rumah dengan atap seperti dua telapak tangan yang ditangkupkan. Atapnya dari jerami, bahan yang banyak tersedia di desa yang masih mempertahankan sawah itu.
Baca juga Dubes Kenji dan Cerita Memotret Kaisar Jepang
Desa itu salah satu bentuk upaya Jepang mempertahankan sebagian bangunan kuno. Semakin ke utara dari Osaka, bangunan seperti itu semakin sedikit. Wajah metropolitan Jepang lebih tersaji sampai ke Tokyo.
Lebih murah
Sampai sebelum pandemi, wajah metropolitan itu menghadirkan citra biaya mahal datang ke Jepang. Kini, menurut Watanabe, datang ke Jepang sekarang relatif lebih murah. Sebab, nilai tukar yen melemah. Dari rata-rata 110 yen per dollar AS pada 2019, kini kurs menembus 148 yen per dollar AS. "Bagi kami (warga Jepang) ke luar negeri lebih mahal. Bagi orang asing, bisa agak lebih murah ke sini," ujarnya.
Sebagian pihak menduga, kurs yang lebih murah menjadi salah satu penyebab pelancong Asia Tenggara semakin ramai ke Jepang. Dalam laporan Nikkei Asia sampai disebut Asia Tenggara ikut mendorong pemulihan pariwisata Jepang.
Data Japan National Tourism Organization (JNTO) memang menunjukkan, 2,1 juta dari 15 juta pelancong asing ke Jepang 2023 berasal dari Asia Tenggara. Fakta di berbagai lokasi wisata juga menunjukkan peran penting pelancong Asia Tenggara.
Di Asakusa, Tokyo dan tempat wisata berbagai prefektur lain, ada pemberitahuan dalam bahasa-bahasa Asia Tenggara. Bahkan, ada beberapa pelayan kedai bisa berbahasa Indonesia. "Silakan, mau beli apa?" kata pelayan di Asakusa dan Gotemba Premium Outlet
Kunjungan ke Jepang juga lebih mudah karena kemudahan mendapatkan visa. "Sudah tidak repot lagi mengurus visa," kata Diana, pelancong asal Indonesia.
Jepang membebaskan visa bagi warga Indonesia pemilik paspor elektronik. Cukup mendaftar sekali, bebas visa berlaku sampai tiga tahun.
Baca juga Milenial Jepang Hidup Pasrah
Selain itu, kecuali saat musim puncak liburan, harga tiket dan aneka hal di Jepang relatif lebih terjangkau. Penerbangan dengan transit menawarkan harga lebih murah dibandingkan yang langsung.
Hal itu selaras dengan kiat yang ditawarkan berbagai laman soal pariwisata. Pilih penerbangan transit, bukan langsung, jika ingin mendapat tiket lebih murah. Tidak kalah penting, pesan tiket jauh-jauh hari. Sebab, pemesanan tiket menjelang keberangkatan biasanya memang hanya menyediakan pilihan kelompok tiket yang mahal.
Masalahnya, tiket murah dan kurs rendah pun belum bisa memulihkan kunjungan pelancong asing. Sampai Agustus 2023, baru 15 juta wisatawan asing datang ke Jepang. Pada Januari-Agustus 2019, ada 22,1 juta pelancong asing datang ke Jepang. Pandemi memang menurunkan jumlah kunjungan wisatawan asing ke banyak negara. Jepang pun ikut terimbas.
Kemerosotan paling tinggi tercatat dari China. Dari 6,5 juta pada Januari-Agustus 2019, hanya 1,2 juta pelancong China datang ke Jepang pada Januari-Agustus 2023. Sebelum pandemi, para pebisnis pariwisata Jepang menjadikan China sebagai salah satu sumber utama pendapatan.
Kurang pekerja
Harapan pebisnis pariwisata Jepang soal pemulihan juga masih terkendala faktor dalam negeri. Salah satunya, banyak penginapan, kedai, hingga tempat wisata kekurangan pekerja. Akibatnya, mereka tidak bisa menerima lebih banyak tamu.
Sebelum pandemi, salah satu sumber pekerja pariwisata adalah mahasiswa asing. Hampir 40 persen pekerja pariwisata Jepang adalah mahasiswa asing yang bekerja paruh waktu. Kini, jumlah mahasiswa asing merosot.
Baca juga Gen Z Sungkan Ambil Cuti
Jepang berusaha menyiasati antara lain dengan otomatisasi. Pembayaran di kasir, pelaporan masuk di hotel, hingga pemeriksaan di imigrasi dilakukan oleh mesin. Pekerja hanya membantu pelancong yang kesulitan berhadapan dengan mesin. Sementara wisatawan yang terbiasa dengan teknologi, merasa semakin mudah berwisata ke Jepang. (KRIS MADA)