Kala penggemar sake dan onigiri meningkat di sejumlah negara lain, di Jepang justru konsumsinya semakin terpangkas. Orang Jepang lebih memilih makanan dan minuman yang bahannya harus diimpor.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Seperti bagi banyak bangsa di Asia, Jepang menganggap beras sebagai hal penting dalam kehidupan. Sayangnya, anggapan itu tidak selaras dengan jumlah produksi dan luas sawah di negara kaya tersebut. Beras semakin tersingkir dari Jepang. Kalah dari aneka tepung yang harus diimpor. Pukulan bertubi melanda beras yang menjadi bagian kehidupan dan kebudayaan Jepang lebih dari 2.000 tahun.
Dulu, beras dan luas sawah jadi salah satu ukuran kekayaan di Jepang. Para shogun dari klan Tokugawa mengukur kekuatan panglima perang di berbagai daerah dari jumlah beras dan luas sawah. Semakin banyak beras, semakin besar potensi pasukan bisa dibentuk.
Sementara di masa kini, makna penting beras dan sawah, antara lain, ditunjukkan dengan keberadaan sawah dalam kompleks Istana Kekaisaran Jepang. Setiap tahun, kaisar Jepang, termasuk Naruhito yang kini menduduki Takhta Seruni, rutin menanam dan memanen padi di sawah itu.
Panen terakhir dilakukan Kaisar Naruhito pada 13 September 2023. Kaisar benar-benar ke sawah, membenamkan kakinya di lumpur saat menanam dan memanen padi.
Terus merosot
Sayangnya, kebiasaan rutin itu tetap tidak mampu menahan penurunan luas sawah, produksi padi, dan konsumsi beras Jepang. Kementerian Pertanian dan Kehutanan Jepang mencatat, sebagaimana dilaporkan Yomiuri Shimbun dan Japan Times, negara itu kini hanya punya 1,4 juta hektar sawah. Padahal, Jepang punya 2,5 juta hektar sawah sampai awal dekade 1970-an.
Pada 2023, menurut Japan Times dan Kyodo News, penurunan jumlah sawah terjadi di 24 dari 47 prefektur Jepang. Sisa 21 prefektur tidak mencatatkan perubahan luas sawah dan dua lain ada potensi tambahan sawah hingga 1 persen dibandingkan dengan tahun 2022.
Adapun produksi beras 2023-2024 ditaksir hanya 7,3 juta ton atau berkurang 148.000 ton dibandingkan dengan musim tanam sebelumnnya. Untung, kebutuhan beras berkurang.
Jepang terutama menggunakan beras untuk dijadikan nasi dan sake. Nasi Jepang, antara lain, dikemas menjadi bagian dari sushi atau dijadikan onigiri alias nasi kepal. Tentu, ada juga nasi yang diambil dengan sumpit dari mangkok.
Meski sudah ribuan tahun jadi bagian Jepang, konsumsi nasi dan sake terus menurun di negara itu. Asosiasi produsen sake Jepang, JSS, mencatat, tahun 1973 sebagai puncak produksi sake. Waktu itu diproduksi total 1,7 miliar liter sake. Pada 2020, Jepang hanya memproduksi 420 juta liter sake.
Kementerian Pertanian dan Kehutanan Jepang menaksir, konsumsi beras pada 2023 paling banyak 6,81 juta ton. Konsumsi 2023 disebut terendah sejak 1996. Konsumsi 2023 lebih rendah 100.000 ton dibandingkan dengan konsumsi 2022. Sejak 2012, belum pernah sekali pun konsumsi beras Jepang naik.
Konsultan Program Pangan Jepang pada JIN Coorporation, Yusaku Yoshikawa, mengatakan bahwa memang ada sebagian pihak berusaha membesarkan hati karena ekspor beras Jepang terus naik. Dari 4.515 ton pada 2014 menjadi hampir 23.000 ton pada 2021. Kenaikan ekspor beras seiring peningkatan minat warga di sejumlah negara pada makanan Jepang.
Namun, dari jumlahnya, jelas jumlah beras yang diekspor amat rendah dibandingkan dengan yang dijual di dalam negeri. Sementara di dalam negeri, tingkat konsumsi beras terus menurun.
Ekspor sake juga rendah dan tidak dapat memacu konsumsi dari produksi dalam negeri. Sementara, seperti nasi, konsumsi sake terus merosot.
Meski sudah ribuan tahun jadi bagian Jepang, konsumsi nasi dan sake terus menurun di negara itu.
Faktor penyebab
Sejak Perang Dunia II selesai, konsumsi beras penduduk Jepang terus merosot. Dari 118 kilogram per kapita pada 1962 menjadi hanya 50,8 kilogram pada 2020. Jumlah kalori yang dikonsumsi orang Jepang memang terus menurun. Dari 2.670 kilo kalori per hari pada 2016, warga Jepang kini hanya mengasup rata-rata 2.400 kilo kalori per hari.
Penurunan dan penuaan populasi disebut berperan dalam pemangkasan konsumsi. Warga Jepang semakin sedikit dan semakin tua. Di banyak masyarakat, orang tua memang lebih sedikit makannya.
Yoshikawa menyebut, penuaan populasi tidak hanya berdampak pada konsumsi. Produksi beras juga terimbas penuaan itu. Usia rata-rata pekerja sektor pertanian Jepang di atas 60 tahun alias di atas usia pensiun di banyak negara.
Dalam delapan tahun terakhir, sektor pertanian Jepang kehilangan setidaknya 500.000 pekerja. Faktor terbesar kehilangan itu adalah petani tidak lagi sanggup bekerja karena sudah berusia lanjut. Sebagian lagi meninggal.
Sementara orang-orang muda tidak berminat bekerja di pertanian. Salah satu alasannya, penghasilan dari pertanian tidak cukup untuk membiayai kehidupan. Pendapatan rata-rata petani dari sekali musim tanam paling banyak 500.000 yen. Padahal, bertani membutuhkan modal besar dan ada risiko gagal panen atau setidaknya hasil panen tidak cukup untuk balik modal.
Direktur Riset Canon Institute for Global Studies Kazuhito Yamashita mengingatkan bahwa ada peran pemerintah dalam penurunan produksi beras. Sampai dihentikan sebelum pandemi Covid-19, Pemerintah Jepang menerapkan kebijakan yang disebut sebagai gentan.
Secara ringkas, kebijakan sejak awal dekade 1970-an itu mendorong petani menanam komoditas selain padi. Petani diberi subsidi jika menanam komoditas selain padi di lahan mereka.
Pengganti
Konsumsi nasi dan sake juga berkurang karena ada produk pengganti. Alih-alih sake, semakin banyak orang Jepang memilih minuman beralkohol jenis lain. Harganya lebih murah, kualitasnya juga semakin meningkat.
Ada pun untuk sumber karbohidrat, orang Jepang semakin keranjingan pada aneka hasil olahan gandum. Padahal, Jepang harus mengimpor hampir seluruh kebutuhan gandumnya.
Alih-alih nasi, orang Jepang lebih memilih aneka mi atau roti. Ramen, udon, soba, dan puluhan jenis mi dikenal orang Jepang.
Seperti bahan bakunya, aneka jenis masakan mi itu juga sebenarnya impor dari negara lain. Ramen, misalnya, merupakan hasil kreasi imigran China di Jepang pada abad ke-19. Bahkan, sebagian orang Jepang menyebut ramen sebagai mi China.
Sebagian pihak cemas dengan fakta Jepang harus mengimpor aneka bahan pangannya. Walakin, warga Jepang selalu diyakinkan bahwa yang terpenting adalah keamanan, bukan kedaulatan pangan. Konsep keamanan pangan menekankan ketersediaan bahan pangan, bukan asal pasokannya. Impor pun tidak masalah selama cadangan mencukupi.
Risikonya, pangan dalam negeri semakin ditinggalkan. Kala penggemar sake dan onigiri meningkat di sejumlah negara lain, di Jepang justru konsumsinya semakin terpangkas. (AFP/REUTERS)