AS Pasok Amunisi dan Perlengkapan Militer ke Israel, Tanpa Pengerahan Pasukan
AS mengirimkan bantuan militer untuk Israel, tetapi berjanji tak akan mengirimkan pasukan ke wilayah konflik Israel dan Palestina. Bersama Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia, AS juga berkomitmen membantu Israel.
WASHINGTON, SELASA — Amerika Serikat sudah mengirimkan amunisi dan peralatan militer lainnya ke Israel, sambil mengecek stok persenjataan lainnya untuk dilihat apa lagi yang bisa dikirimkan dengan cepat ke Israel. Di tengah kekhawatiran soal kemungkinan konflik meluas di kawasan, Gedung Putih menyatakan tidak ada rencana mengerahkan pasukan ke Israel.
Namun, pada saat yang bersamaan, Amerika Serikat juga masih membantu Ukraina dalam konflik Rusia dan Ukraina. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait kecukupan persediaan persenjataan untuk dua konflik itu. Belum lagi, ada kebutuhan menjaga pertahanan dalam negeri.
Untuk itu, Kongres Amerika Serikat diminta untuk segera memberikan dana lebih banyak agar Amerika Serikat bisa membantu persenjataan dan amunisi untuk mendukung Israel dan Ukraina secara bersamaan.
”Kami akan terus mendampingi Israel dan memastikan bahwa kami bisa memenuhi kebutuhan mereka sebaik dan secepat yang kami bisa,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby, Senin (10/10/2023).
”Jika kami butuh dana, pasti akan dapat dukungan dana tambahan untuk Israel. Kami negara yang cukup besar secara ekonomi dan cukup dinamis untuk bisa mendukung Israel dan Ukraina bersamaan,” ujar Kirby.
Baca Juga: Perang Hamas-Israel Ancam Pasokan Minyak, Harga Minyak Terus Merangkak
Sebagian besar persenjataan yang dikirimkan ke Ukraina berasal dari persediaan Angkatan Darat AS dan kontraktor pertahanan dengan jumlah besar. Meski Angkatan Darat AS baru-baru ini meningkatkan produksi amunisi penting, seperti amunisi 155 milimeter untuk howitzer, kecepatan produksinya masih belum maksimal. Kecepatan produksi ini yang akan menjadi pertimbangan dalam memberikan bantuan militer.
Meski memberikan bantuan militer ke Israel, Amerika Serikat menyatakan, tidak akan terlibat dalam konflik Israel dan Palestina dengan mengerahkan pasukan di darat. Namun, AS sudah menyiagakan kapal-kapal perangnya di sekitar wilayah konflik.
Baca Juga: Gempuran Israel ke Gaza Makin Intensif, Hamas Ancam Bunuh Sandera
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, Minggu (8/10/2023), mengatakan, dirinya telah memerintahkan kelompok gugus tempur kapal induk USS Gerald R Ford untuk dikerahkan ke Laut Tengah guna membantu Israel. USS Gerald R Ford adalah kapal induk terbaru dan paling canggih Angkatan Laut AS.
Kapal induk itu membawa sekitar 5.000 personel dan puluhan pesawat. Ford akan didampingi kapal penjelajah USS Normandy dan kapal-kapal perusak, seperti USS Thomas Hudner, USS Ramage, USS Carney, dan USS Roosevelt. AS juga menambah kekuatan skuadron jet tempur Angkatan Udara F-35, F-15, F-16, dan A-10 di kawasan.
Meski memberikan bantuan militer ke Israel, Amerika Serikat menyatakan, tidak akan terlibat dalam konflik Israel dan Palestina dengan mengerahkan pasukan di darat.
AS ”membanjiri wilayah itu” dengan kemampuan militernya hanya agar kelompok ekstremis dan negara-negara lain tahu bahwa AS berkomitmen membantu pertahanan Israel. Washington juga memperingatkan Iran untuk tidak ikut campur dalam konflik Palestina dan Israel.
Alasan AS memindahkan armada perangnya ke sekitar wilayah konflik karena ada kekhawatiran akan serangan dari kelompok Hezbollah. AS khawatir Hezbollah dan kelompok lain yang didukung Iran akan memperluas konflik.
Belum ada bukti soal Iran
Kirby mengaku, AS belum melihat dengan bukti jelas dan nyata bahwa Iran terlibat langsung dalam konflik ini atau menyediakan bantuan persenjataan atau ikut merencanakan serangan terhadap Israel.
Baca Juga: Roket-roket Hamas dalam Operasi Badai Al-Aqsa
Ali Barakeh, anggota kepemimpinan Hamas di pengasingan, mengakui bahwa Hezbollah, Iran, dan Lebanon dulu selalu membantu Hamas. Tetapi, sejak perang Gaza tahun 2014, Hamas mandiri memproduksi roket. Para pejuangnya juga berasal dari mereka sendiri. Rencana serangan ke Israel itu juga hanya diketahui segelintir komandan tertinggi di Gaza.
Bahkan, sekutu terdekat Hamas tidak diberi tahu sebelumnya tentang kapan serangan akan dilakukan. Termasuk Iran juga tidak tahu sama sekali mengenai rencana ini. ”Hanya segelintir orang saja yang tahu dan tidak ada seorang pun pemimpin atau biro politik Hamas yang berada di Lebanon pada pekan lalu (tahu serangan itu),” ujar Barakeh.
Barakeh juga membantah spekulasi bahwa serangan yang direncanakan selama lebih dari setahun itu bertujuan untuk menggagalkan upaya AS meyakinkan Arab Saudi agar menormalisasi hubungan dengan Israel. Serangan akhir pekan lalu didorong oleh serangkaian tindakan yang diambil pemerintah sayap kanan Israel selama setahun terakhir, termasuk kunjungan provokatif ke situs suci Jerusalem dan meningkatnya tekanan terhadap tahanan Palestina yang ditahan Israel.
Baca Juga: Mengungkap Taktik Rahasia Hamas Siapkan Serangan ke Israel
Dia meyakini Israel berencana membunuh para pemimpin Hamas. Barakeh juga mengaku kaget sendiri dengan masifnya Operasi Badai Al-Aqsa, Sebenarnya, lanjut Barakeh, Hamas khawatir Israel akan bisa mencegah atau melawan serangan itu. Sejauh ini Hamas hanya mengerahkan 2.000 anggotanya dari sekitar 40.000 orang yang berada di Gaza saja.
Dengan serangan tersebut, Hamas berharap bisa melakukan pertukaran tahanan. Hamas akan menggunakan sejumlah warga Israel yang ditangkap untuk menjamin pembebasan semua warga Arab yang ditahan di penjara-penjara Israel, bahkan beberapa warga Palestina yang ditahan di penjara di AS atas tuduhan mendanai Hamas.
Pada 2009, pengadilan di Dallas, AS, menjatuhkan hukuman 65 tahun penjara kepada dua anggota pendiri Holy Land Foundation for Relief and Development, yang pernah menjadi badan amal Muslim terbesar di AS. Lembaga itu dinyatakan menyalurkan jutaan dolar AS ke Hamas. Tiga pria lainnya dijatuhi hukuman penjara antara 15-20 tahun karena konspirasi.
”Hamas siap berperang dalam waktu lama dengan Israel dan masih punya banyak roket yang bisa tahan lama. Kami akan menghentikan kehidupan entitas Zionis jika agresi tidak berhenti di Gaza,” ujar Barakeh.
Barat Vs Rusia
Selain AS, Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia juga berkomitmen membantu Israel. Kelima negara itu mengeluarkan pernyataan bersama, Senin, yang mengecam serangan terhadap Israel oleh kelompok militan Hamas.
”Kami akan tetap bersatu dan berkoordinasi sebagai sekutu dan sebagai sahabat Israel mendukung Israel dan memastikan Israel mampu mempertahankan diri dan pada akhirnya memastikan kondisi Timur Tengah damai dan terintegrasi,” sebut pernyataan mereka.
Baca Juga: Korban Perang Hamas-Israel Melonjak, AS Kerahkan Gugus Tempur Kapal Induk
Pernyataan tertulis itu dikeluarkan bersama oleh Presiden AS Joe Biden, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak.
Merespons langkah yang diambil AS, Rusia menyebut, apa yang sekarang terjadi di Israel dan Palestina, semua gara-gara AS yang menggunakan pendekatan destruktif yang mengabaikan perlunya negara Palestina merdeka. Rusia mengecam kekerasan terhadap warga Yahudi dan Palestina.
Moskwa memperingatkan, jika tak bisa dikendalikan, konflik bisa meluas di kawasan lain di Timur Tengah. Rusia memiliki hubungan dengan negara-negara Arab, Iran, Hamas, dan Israel. Mereka juga mengatakan, Barat telah mengabaikan perlunya negara Palestina merdeka sesuai perbatasan tahun 1967.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan bahwa Barat berpikiran sempit jika mereka percaya bahwa mereka bisa dengan mudah mengecam serangan terhadap Israel dan kemudian mengharapkan kemenangan Israel tanpa menyelesaikan penyebab ketidakstabilan, yakni masalah Palestina itu sendiri.
Kebijakan destruktif AS yang menggagalkan upaya kolektif dalam kerangka kuartet mediator internasional. AS berusaha memonopoli dialog antara Palestina dan Israel dan menjauh dari pembentukan negara Palestina kemudian memilih untuk melakukan pembicaraan tentang meringankan masalah sosial-ekonomi Palestina.
Baca Juga: Hamas-Israel Berperang, Warga Sipil Sudah Pasti Kalah
Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya, di seluruh wilayah yang direbut Israel dalam perang tahun 1967. Dalam upaya tersebut, empat pihak membentuk kuartet mediator, terdiri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, AS, dan Rusia.
Mandat mereka adalah membantu memediasi perdamaian dan mendukung rakyat Palestina dalam persiapan untuk menjadi negara. Menlu Mesir, Aboul Gheit, ketika bertemu Lavrov di Moskwa mengutarakan kekhawatirannya bahwa kekerasan di Israel dan Palestina akan terus berlanjut selama masalah Palestina masih belum terselesaikan.
”Masalah Palestina ini tidak bisa ditunda lagi dan keputusan PBB harus dilaksanakan,” ujar Gheit. (REUTERS/AFP/AP)