Perang Hamas-Israel Ancam Pasokan Minyak, Harga Minyak Terus Merangkak
Harga minyak dunia melonjak di tengah kekhawatiran konflik di Israel dan Gaza dapat meluas di kawasan sehingga mengganggu produksi dan pasokan minyak dari Timur Tengah.
NEW YORK, SENIN — Harga-harga minyak di pasar dunia terus merangkak naik pasca-meletusnya perang Hamas-Israel. Konflik tersebut dikhawatirkan akan menghambat pasokan minyak mentah dunia. Apalagi, jika konflik menyebar ke negara-negara tetangga.
Israel dan Palestina bukan produsen minyak, tetapi konflik ini terjadi di tengah kawasan penghasil minyak di Timur Tengah yang menyumbang hampir sepertiga pasokan minyak dunia.
Kekhawatiran akan ancaman pada pasokan minyak ini bertambah jika Iran, salah satu produsen minyak terbesar di dunia, terlibat dalam konflik ini. Iran membantah terlibat dalam serangan Hamas ke Israel.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate, Senin (9/10/2023) waktu New York, AS, atau Selasa (10/10/2023) pagi WIB, naik lebih dari 4 persen. Di pasar tersebut, harga minyak naik 4,3 persen, menjadi 86,38 dollar AS per barel. Sebelumnya harga minyak mentah West Texas Intermediate dipatok 85,30 dollar AS per barel setelah naik 2,50 dollar AS per barel.
Di pasar minyak mentah Brent, harga minyak naik 3,57 dollar AS per barel atau sebesar 4,2 persen menjadi 88,15 dollar AS per barel. Sebelumnya, Brent menetapkan harga minyak mentah 86,83 dollar AS per barel setelah naik 2,23 dollar AS per barel.
Baca juga: Ekonomi Dunia Dirundung Cemas Imbas Konflik Hamas-Israel
Saul Kavonic, analis energi dan Kepala Penelitian Energi, Sumber Daya, dan Karbon Terpadu pada Credit Suisse, kepada BBC News, Senin, mengatakan, harga minyak global meningkat karena adanya kekhawatiran konflik ini akan menyebar ke negara-negara penghasil minyak utama terdekat, seperti Iran dan Arab Saudi.
”Jika konflik ini melibatkan Iran yang dituduh terlibat dalam serangan Hamas, 3 persen pasokan minyak global akan terancam,” ujar Kavonic.
Kavonic juga memperkirakan, seperlima pasokan minyak dunia akan tersendat jika jalur melalui Selat Hormuz, jalur perdagangan minyak yang penting, terganggu. Selat Hormuz sangat penting bagi negara-negara pengekspor minyak utama di kawasan Teluk karena perekonomian mereka dibangun dengan berbasis produksi minyak dan gas.
Kepala Ekonom Komoditas di Capital Economics, Caroline Bain, memperkirakan permintaan akan pasokan minyak akan melebihi pasokan hingga akhir tahun. Ini akan membuat harganya kian melambung tinggi.
”Dampak konflik terhadap harga minyak tidak akan parah, kecuali konflik ini meluas dan menjadi perang regional di mana AS dan Iran serta pendukung kedua pihak ikut terlibat langsung,” kata Iman Nasseri, Direktur Pelaksana Facts Global Energy perusahaan konsultan energi Timur Tengah, kepada CNBC, Senin.
Baca juga: Palestina Terabaikan dalam ”Pesta” antara Dunia Arab dan Israel
Ketidakpastian akan situasi di Israel dan Palestina dalam beberapa hari ke depan juga bisa mendorong investasi pada obligasi pemerintah yang dikeluarkan Departemen Keuangan AS dan mata uang dollar AS. Bank sentral Israel, Senin, mengatakan akan menjual mata uang asing senilai 30 miliar dollar AS untuk menenangkan pasar dan mendukung mata uang Israel, shekel, yang anjlok tajam.
”Pada tahap ini, ada kegelisahan investor. Mereka ingin kejelasan, terutama soal data ekonomi dan perkembangan yang terkait ketidakpastian geopolitik,” kata James Cheo dari Bank HSBC.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, harga minyak juga melonjak dan mencapai lebih dari 120 dollar AS per barel pada Juni 2022. Harga minyak turun kembali sedikit di atas 70 dollar AS per barel pada Mei 2023. Sejak itu, harganya naik terus karena produsen membatasi produksi minyak.
Untuk menopang harga minyak yang lesu, Arab Saudi sebagai produsen minyak utama mengurangi produksinya 1 juta barel per hari pada Juli lalu. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang menyumbang sekitar 40 persen minyak mentah dunia, juga setuju mengurangi produksi minyak. Hal ini berdampak besar pada harga minyak.
Baca juga: Dampak Perang Israel-Hamas: 1.100 Warga Sipil Tewas dan Harga Minyak Naik
Harga emas
Seperti halnya harga minyak, harga emas juga naik lebih dari 1 persen menjadi 1.850 dollar AS per ons. Ini level tertinggi dalam seminggu terakhir. Emas berjangka AS naik 1,1 persen dan menjadi 1.865 dollar AS per ons (1 ons atau 28,3 gram). Konflik Hamas-Israel meningkatkan ketidakpastian politik di Timur Tengah. Situasi ini mendorong pembelian investasi yang aman, seperti emas batangan.
Selama ini emas digunakan sebagai investasi yang aman pada saat terjadi ketidakpastian situasi politik dan keuangan. Analis UBS, Giovanni Staunovo, mengatakan, ketika investor mencari aset-aset yang aman, emas setidaknya mendapat keuntungan dalam jangka pendek dari konflik ini. Meski demikian, suku bunga AS yang tinggi akan tetap menghambat emas.
Angka inflasi yang tinggi pada akhir minggu ini dapat membuka jalan bagi kenaikan suku bunga AS lainnya tahun ini sehingga mengurangi daya tarik emas. Investor juga fokus pada risalah pertemuan bank sentral AS September yang akan dirilis, Rabu. Pertanyaan besarnya adalah seberapa langgeng aliran dana safe-haven ini jika pada akhir pekan ini terjadi perubahan besar-besaran pada lanskap geopolitik.
”Dari perspektif komoditas, geopolitik cenderung menjadi elemen yang mengganggu dibandingkan kekuatan fundamental yang bertahan lama dan berdampak,” kata Norbert Rücker, analis di Julius Baer, kelompok perusahaan keuangan dan manajemen kekayaan dari Swiss.
Stop bantuan
Merespons serangan Hamas ke Israel, Austria dan Jerman akan menangguhkan bantuan senilai puluhan juta euro kepada Palestina. Mereka tidak mau dana itu mengalir ke tangan yang salah.
Kedua negara tersebut akan meninjau kembali keterlibatan mereka dengan Palestina dan mendiskusikannya dengan Israel dan mitra internasional lainnya dalam pertemuan darurat para menteri luar negeri Uni Eropa terkait konflik Hamas-Israel yang akan digelar pada Selasa.
Total bantuan UE yang dialokasikan untuk rakyat Palestina berdasarkan alokasi anggaran tahun 2022 sekitar 296 juta euro atau sekitar Rp 5 triliun. Eropa menjadi salah satu sumber utama dana bantuan pembangunan bagi rakyat Palestina. Ini berarti, keputusan Austria dan Jerman akan berdampak besar jika negara-negara anggota UE lainnya mengikuti langkah kedua negara itu.
Padahal, PBB memperkirakan 2,1 juta orang di wilayah Palestina membutuhkan bantuan kemanusiaan dan 1 juta di antaranya anak-anak. Menlu Austria Alexander Schallenberg mengatakan akan menangguhkan bantuan senilai 19 juta euro atau sekitar Rp 315 miliar untuk beberapa proyek.
”Teror yang terjadi sangat mengerikan. Kami tidak bisa bertindak seperti tidak ada apa-apa. Oleh karena itu, kami akan menghentikan semua pembayaran dari kerja sama pembangunan Austria untuk sementara waktu,” kata Schallenberg kepada radio ORF.
Baca juga: Korban Perang Hamas-Israel Melonjak, AS Kerahkan Gugus Tempur Kapal Induk
Schallenberg tidak membedakan antara Gaza, daerah kantong Palestina yang dikuasai oleh Hamas, dan Tepi Barat yang dikendalikan oleh Otoritas Palestina yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas.
Senada dengan Austria, Menteri Pembangunan Jerman Svenja Schulze juga akan menangguhkan proyek bantuan bilateral. Berlin sedang mengkaji ulang keterlibatannya dengan Palestina. ”Ini bentuk solidaritas kami terhadap Israel,” ujarnya.
Kementerian Pembangunan Jerman telah mengalokasikan dana pembangunan sebesar 250 juta euro atau Rp 4,1 triliun untuk proyek bilateral di wilayah Palestina pada tahun ini dan tahun depan. Namun, Kementerian Luar Negeri Jerman berbeda pendapat dan menyatakan pihaknya akan terus mengucurkan dana sebesar 73 juta euro atau sekitar Rp 1,2 triliun yang telah dialokasikan untuk warga Palestina.
Baca juga: Israel-Palestina Memanas, KH Said Aqil Minta Indonesia Berperan Aktif
Dana ini terpisah dari dana Kementerian Pembangunan dan sebagian besar sudah dibelanjakan. Kemenlu Jerman mendanai anggaran itu melalui organisasi internasional dan PBB. Ini berarti, menurut seorang pejabat Pemerintah Jerman, Jerman wajib mengucurkan apa yang sudah dijanjikan.
Beberapa politisi di Jerman menolak keputusan untuk menangguhkan bantuan. Komisioner bantuan kemanusiaan Kemenlu Jerman, Luise Amtsberg, mengatakan, pemerintah tidak mendanai Otoritas Palestina, tetapi kepada rakyat dengan memberikan akses terhadap layanan kesehatan dan makanan.
”Kami terus memverifikasi bantuan kami benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan,” ujarnya. (REUTERS)