Demam Berdarah Semakin Ganas akibat Pemanasan Global
Penyakit ini diprediksi menyebar ke sejumlah daerah yang tak pernah terjangkiti sebelumnya. Sistem kesehatan masyarakat berpotensi tertekan.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·3 menit baca
Demam berdarah diperkirakan akan mengganas sebagai dampak dari pemanasan global. Penyakit ini prediksi akan menyebar ke sejumlah daerah yang tak pernah terjangkiti sebelumnya.
Suhu yang menghangat menciptakan kondisi yang mendukung bagi nyamuk untuk berkembang biak. Sebaran penyakit itu diprediksi akan meluas ke kawasan-kawasan di Amerika Serikat bagian selatan, Eropa bagian selatan, dan Afrika, terutama di daerah-daerah yang selama ini tak pernah mengalami demam berdarah.
Penyakit demam berdarah telah lama menjadi ancaman di sebagian besar Asia dan Amerika Latin sehingga menyebabkan sekitar 20.000 kematian setiap tahun. Jumlahnya meningkat delapan kali lipat secara global sejak tahun 2000. Perubahan iklim serta peningkatan pergerakan orang dan urbanisasi merupakan penyebab utama peningkatan ini.
Pada 2022, dilaporkan 4,2 juta kasus demam berdarah di seluruh dunia. Tahun ini, tingkat penularan hampir mencapai rekor. Di Asia Selatan, Bangladesh tengah mengalami wabah demam berdarah terburuk dalam sejarahnya, dengan lebih dari 1.000 kematian.
Statistik tersebut seperti puncak gunung es karena diduga banyak kasus yang tidak tercatat. Sebagian besar orang yang terkena demam berdarah tidak memiliki gejala.
Akibatnya, tingkat kasus diyakini jauh lebih tinggi daripada jumlah yang dilaporkan. Mereka yang mengalami gejala bisa hanya mengalami demam, kejang otot, dan nyeri sendi yang begitu parah sehingga salah dikenali sebagai penyakit demam patah tulang.
Jeremy Farrar, spesialis penyakit menular di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada Mei 2023 mengatakan, pemerintah negara-negara yang berpotensi menjadi perluasan demam berdarah perlu mulai bersiap.
Farrar yang telah belasan tahun menggeluti demam berdarah itu mengatakan, penyakit ini kemungkinan akan meningkat dan menjadi endemik di sebagian AS, Eropa, dan Afrika. Beberapa wilayah di kawasan itu telah mengalami penularan lokal terbatas selama beberapa bulan terakhir.
Kita perlu menggabungkan sektor-sektor yang tidak biasa bekerja bersama-sama.
Kondisi ini diprediksi akan memberikan tekanan pada sistem kesehatan dan rumah sakit di banyak negara.
Meskipun vaksin tersedia, tidak ada obat untuk demam berdarah. Pada awal pekan ini, WHO merekomendasikan vaksin demam berdarah Qdenga dari Takeda Pharmaceuticals untuk anak-anak usia 6-16 tahun.
Rekomendasi vaksin ini diberikan untuk daerah di mana demam berdarah telah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Qdenga juga disetujui oleh regulator Uni Eropa. Akan tetapi, di AS, Takeda menarik penggunaan vaksin itu pada awal tahun ini dengan alasan masalah pengumpulan data. Takeda mengatakan masih dalam pembicaraan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA).
Farrar mengatakan, saat ini adalah saat terbaik untuk menyiapkan diri menghadapi demam berdarah. Caranya, antara lain, dengan memastikan dana kesehatan masyarakat diarahkan secara tepat serta mengendalikan populasi nyamuk.
Pencegahan juga perlu mencakup perencanaan rumah sakit serta inovasi ilmiah, seperti perencanaan perkotaan untuk menghindari daerah genangan berair. ”Kita perlu menggabungkan sektor-sektor yang tidak biasa bekerja bersama-sama,” katanya.
Demam berdarah Bangladesh
Saat ini, Bangladesh tengah menghadapi gelombang demam berdarah paling mematikan dalam 23 tahun terakhir. Tahun 2023, setidaknya 1.017 orang meninggal di Bangladesh karena demam berdarah. Sementara jumlah penularan telah mencapai 209.000 orang.
Jumlah ini merupakan kematian terbesar sejak epidemi demam berdarah pertama yang tercatat pada 2000. Peningkatan hampir empat kali lipat lebih tinggi daripada seluruh kematian akibat demam berdarah tahun 2022. Tahun lalu, Bangladesh mencatat 281 kematian akibat demam berdarah.
Rumah sakit mulai kewalahan dan sulit memberi tempat karena banyaknya pasien. Mereka datang dengan keluhan umum demam tinggi, nyeri sendi, dan muntah.
”Saya tidak tahu bagaimana anak saya terinfeksi, tiba-tiba dia demam. Saya membawanya ke sini dan hasil pemeriksaan dokter menyebut dia terkena demam berdarah,” kata Sanwar Hossain di Rumah Sakit Umum Mugda di ibu kota Dhaka pekan lalu.
ABM Abdullah, dokter terkenal asal Bangladesh, mengatakan, dari tahun 2000 hingga 2018, demam berdarah hanya terjadi di Dhaka. Namun, pada 2019, demam berdarah menyebar ke sejumlah kota lain. Tahun ini, penyakit itu bahkan menyebar ke daerah perdesaan. (REUTERS)