China Bantu Pemulangan Prajurit Amerika Serikat yang Kabur ke Korut
Prajurit Amerika Serikat yang lari ke Korea Utara, Travis King, mengaku kabur karena kecewa terhadap rasisme di militer AS. Ia mencari perlindungan.
WASHINGTON, RABU — Travis King (23), tentara Amerika Serikat yang lari ke Korea Utara pada 18 Juli 2023, kini sudah berada dalam tahanan AS. King akan segera dipulangkan setelah diusir dari Korea Utara ke China.
Proses panjang upaya pembebasan King yang berlangsung hampir dua bulan ini melibatkan banyak pihak, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa, Swedia, dan China. Swedia mewakili kepentingan AS di Korea Utara. Sebab, Washington tidak punya hubungan diplomatik dengan Pyongyang.
Kedutaan Besar Swedia di Pyongyang menerima King di dalam wilayah Korea Utara. Setelah itu, King dibawa ke China. Dalam pernyataan pada Rabu (27/9/2023) siang waktu Washington atau Kamis dini hari WIB, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, mengatakan, Duta Besar AS untuk China Nicholas Burns bertemu dengan King di Dandong. Kota itu terletak di perbatasan China-Korut.
Baca juga: Ulah King Bikin Amerika Pusing Tujuh Keliling
Dari Dandong, King akan diterbangkan ke Shenyang, China. Setelah itu, ia dibawa ke Pangkalan Udara Osan di Korea Selatan. King direncanakan tiba di AS pada Rabu malam waktu setempat atau Kamis siang WIB.
King dilaporkan berada dalam keadaan sehat dan ”sangat bahagia” bisa kembali ke AS. King sudah berkomunikasi dengan keluarganya setelah dibebaskan dari Korut.
King mengaku memasuki wilayah Korut secara ilegal karena kecewa dengan rasisme di militer AS. Ia ingin berlindung karena mengalami penganiayaan dan diskriminasi rasial di tempatnya bertugas.
Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, menyampaikan apresiasinya kepada Swedia dan China atas upaya diplomatik mereka. Rincian mengenai upaya diplomasi pemindahan King ini belum diketahui.
Namun, pembebasan itu menunjukkan kerja sama yang jarang terjadi antara AS, Korut, dan China. Memang, Miller memandang pengembalian King tidak bisa dilihat sebagai bentuk terobosan terbaru dalam hubungan AS dan Korut.
Miller menyebut China berperan sangat konstruktif dalam pembebasan King. Walakin, China bukan penengah dalam proses itu. China hanya menjadi pintu King keluar dari Korut. AS tidak memberi konsesi apa pun kepada Korut atas pembebasan King.
”Insiden ini menunjukkan pentingnya menjaga jalur komunikasi tetap terbuka, bahkan ketika kondisi hubungan sedang tegang. Dan, memang bisa membuahkan hasil. Kami kembali menegaskan siap melakukan diplomasi lebih lanjut dengan Korea Utara,” kata seorang pejabat senior AS yang mengekspresikan rasa terima kasihnya kepada Swedia dan China itu.
Diskriminasi rasial
Kantor berita Korea Utara, KCNA, menyebutkan pengusiran King diambil setelah ada pengakuan dari tentara AS itu. Selama interograsi, King mengaku memasuki Korut secara ilegal karena kecewa terhadap perilaku rasisme di militer AS. Ia mengaku ingin berlindung di Korut atau di tempat lain karena mengalami penganiayaan dan diskriminasi rasial di tempatnya bertugas.
Baca juga: Korea Utara: Tentara AS Kabur Mencari Suaka
Seperti dilaporkan pada Juli 2023, King tiba-tiba masuk ke Korut dari Korea Selatan ketika sedang ikut tur ke Kawasan Keamanan Bersama di Zona Demiliterisasi (DMZ). Dia langsung ditahan Korut dan diperlakukan sebagai kasus imigrasi ilegal.
Kepada ABC News pada Agustus 2023, salah satu paman King, Myron Gates, juga menyebut soal rasisme yang dialami keponakannya selama bertugas. Ketika dipenjara di Korsel dan harus bekerja di bengkel penjara pada 24 Mei-10 Juli 2023, King terdengar mulai berubah.
Sementara perwakilan keluarga King, Jonathan Franks, berterima kasih kepada Angkatan Darat AS dan semua pihak yang terlibat pembebasan King. King, yang bergabung dengan militer AS pada Januari 2021, menghadapi dua tuduhan penyerangan di Korsel.
Dalam dokumen pengadilan Korsel disebutkan King mengaku bersalah atas kasus penyerangan dan penghancuran properti umum. King merusak mobil polisi dan melontarkan kata-kata kotor pada warga Korsel. King dijatuhi hukuman kerja paksa di bengkel penjara Korsel pada 24 Mei-10 Juli 2023. Sebab, ia gagal membayar denda setelah merusak mobil polisi.
King sebenarnya sudah ditetapkan untuk kembali ke AS pada 17 Juli 2023. Di AS, ia akan kembali dihukum oleh AD AS. Walakin, King berhasil menghindari naik ke pesawat yang seharusnya dia naiki di Bandara Internasional Incheon, Korsel. Dari bandara, ia menyelinap dan bergabung dengan kelompok pelancong yang pesiar di DMZ. Dari sana, ia kabur ke Korut.
Baca juga: China-Korut-Rusia, Poros Persahabatan demi Keamanan, Persenjataan, dan Ekonomi
Pada Agustus lalu, menurut kantor berita Yonhap, AS mendapatkan informasi dari Swedia bahwa Korut ingin membebaskan King. Keputusan Korut untuk membebaskan King ”tanpa konsesi” ini meningkatkan harapan akan dimulainya kembali upaya diplomasi antarkedua negara.
Interaksi diplomasi AS-Korut antara lain soal perundingan nuklir. Perundingan itu terhenti sejak Februari 2019 atau setelah pertemuan puncak tanpa kesepakatan di Hanoi, Vietnam.
Bahan propaganda
Ketika King berada di Korut, ada kekhawatiran Pyongyang mungkin akan memanfaatkan dia untuk tujuan propaganda. Ada juga kekhawatiran dia dijadikan alat tawar Pyongyang untuk mendapatkan konsesi dari Washington.
Setidaknya enam tentara AS membelot ke Korut selepas perang Korea. Mereka dijadikan alat propaganda Pyongyang.
Kekhawatiran ini muncul karena Pyongyang memiliki sejarah panjang dalam menahan warga AS dan menggunakan mereka sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi bilateral. Salah satu warga AS yang ditahan Korut adalah mahasiswa bernama Otto Warmbier. Ia ditahan selama 1,5 tahun sebelum dibebaskan dalam keadaan koma ke AS. Dia meninggal enam hari setelah tiba di AS.
Sejauh ini setidaknya enam tentara AS membelot ke Korut selepas perang Korea. Mereka dijadikan alat propaganda Pyongyang. Dulu pernah ada tentara AS bernama Jenkins dan Dresnok yang juga menyeberang masuk ke Korut pada tahun 1965 karena hendak menghindari penugasan di Vietnam.
Bagi Korut, mereka tentara AS yang kecewa pada negaranya dan melarikan diri ke Korut dan memilih tinggal di Korut. Keduanya, menurut Jenny Town yang peneliti senior Stimson Center di Washington, lebih berharga ketimbang King.
Korut cenderung menilai King membawa kesulitan. Sebab, King punya persoalan hukum di AS dan Korsel. ”Mungkin di mata Korut, King lebih baik dikembalikan supaya tidak memperburuk hubungan yang sudah rapuh dengan AS,” kata Direktur laman 38North, laman yang fokus pada isu-isu Korut, itu.
Baca juga: Korea Utara Isyaratkan Buka Babak Baru dengan Amerika Serikat
Town menduga Korut tidak tertarik menjadikan King sebagai alat propaganda. Pyongyang tidak menganggap King alat tawar yang berharga.
Sementara Guru Besar Kajian Korea di Universitas Oslo Vladimir Tikhonov menilai perkembangan yang terjadi dengan pengembalian King itu bisa dibaca sebagai tanda kesediaan Korut untuk bernegosiasi. Korut pada dasarnya menginginkan kemajuan menuju normalisasi hubungan dengan AS.
Normalisasi itu untuk mengimbangi kebergantungan Korut yang sangat tinggi pada perekonomian China. ”Jadi, sudah ada isyarat niat baik untuk menuju ke arah itu meski masih belum pasti untuk saat ini,” ujarnya.
China merupakan sekutu dan penyumbang ekonomi terpenting bagi Korut. Padahal Korut juga, kata Tikhonov, membutuhkan AS. Masalahnya, Washington terus menerapkan sanksi ketat terhadap Korut karena rezim Kim masih saja mengembangkan persenjataan. Pada pekan lalu, Korut menggelar parade militer dramatis yang menampilkan pesawat tanpa awak serang yang baru dan rudal balistik antarbenua berkemampuan nuklir.
Sementara pakar Korut pada Institut Perdamaian AS (USIP), Frank Aum, mengatakan, penahanan 71 hari King adalah hal yang biasa dalam kasus warga AS yang ditahan di Korut. Kasus seperti itu tidak dianggap kejahatan besar.
”Korut biasanya percaya cara seperti itu bisa jadi cara membantu memulai kembali perundingan dengan AS. Akan tetapi, sepertinya Korut—untuk kasus ini—tidak tertarik untuk melakukannya. Ini mungkin menunjukkan bahwa Korut sedang tidak tertarik terlibat dengan AS untuk saat ini,” kata Aum yang pernah menjadi penasihat senior tentang Korut di Departemen Pertahanan AS itu.
Baca juga: Korea Utara Simulasikan Serangan Nuklir Balasan untuk Bumi Hanguskan Negara Gangster
Aum menduga para pejabat Korut sepertinya mau menghindari memperkuat anggapan bahwa Korut adalah negara yang melanggar hak asasi manusia dengan melakukan penahanan yang sewenang-wenang. Karena itu, King dibebaskan.
Adapun Rektor Universitas Kajian Korut di Korsel Yang Moo-jin mengatakan sangat kecil kemungkinan Korut mengabaikan nilai propaganda tentara AS yang sukarela masuk Korut. Ada kemungkinan Korut meminta AS mengurangi aktivitas militernya dengan Korsel sebagai imbalan atas pembebasan King.
Seperti diketahui, AS telah meningkatkan pengerahan aset-aset strategisnya seperti pesawat pengebom dan kapal selam berkemampuan nuklir sejak tahun 2022 sebagai unjuk kekuatan melawan ancaman nuklir Korut. ”Korut ingin menciptakan dilema bagi AS untuk memilih antara memperkuat aktivitas militernya dengan Korsel atau melindungi warga negaranya,” kata Yang.
Sementara pembelot Korut yang kini menjadi anggota parlemen di Inggris, Thae Yong Ho, menyebut bahwa Korut tidak pernah membebaskan secara sukarela satu pun tentara AS yang masuk ke Korut. Meski demikian, mantan diplomat Korut itu tidak tahu alasan Korut menahan King dalam waktu lama. Sebab, pangkat King rendah dan kecil kemungkinan punya informasi intelijen yang berharga.
Adapun Guru Besar di Universitas Ewha di Seoul Park Won Gon menjelaskan, proses pemulangan King butuh waktu lama karena hubungan tegang antara AS dan Korut saat ini yang mempersulit upaya diplomatiknya. Ketika hubungannya dengan AS sedang dalam kondisi lebih baik, Korut lebih cepat dan mudah membebaskan tahanan AS.
Pada 2018, Korut membebaskan Bruce Byron Lowrance sebulan setelah dia masuk secara ilegal melalui China. Deportasi Lowrance yang relatif cepat terjadi setelah pertemuan puncak antara Presiden AS Donald Trump dan Kim pada waktu itu. Beberapa minggu sebelum pertemuan puncak itu, Korut membebaskan tiga tahanan AS.
Baca juga: AS Ajak Bicara, Korea Utara Cuek
Direktur Eksekutif Pusat untuk Diplomasi Global Richardson, Mickey Bergman, yang pernah selama 20 tahun membantu proses negosiasi memulangkan warga AS dari negara-negara yang bermusuhan, mengatakan, peluang terbaik untuk membebaskan tahanan adalah segera setelah mereka ditahan. Ini adalah saat mereka kemungkinan besar sedang diinterogasi, tetapi belum dituduh melakukan kejahatan tertentu, seperti mata-mata.
Bergman yang pernah terlibat dalam negosiasi pembebasan Warmbier itu juga meyakini reaksi internasional terhadap kematian Warmbier telah mengubah perspektif Korut mengenai tahanan politik. Dan, mungkin itu yang membuat Korut lebih mudah untuk berkompromi. ”Setelah berurusan dengan perundingan Warmbier dan berakhir sangat tragis, saya yakin Korut tidak mau lagi melakukannya,” kata Bergman kepada BBC News, Rabu.
Jalur belakang
Berdasarkan pengalamannya, Bergman mengatakan, jika sudah menyangkut Korut, tidak ada pedoman pasti untuk urusan negosiasi. Yang terbaik yang bisa dilakukan adalah menggunakan pendekatan ”diplomasi pinggiran”. Organisasi nirlaba dan lembaga kemanusiaan AS telah memberikan bantuan kepada warga Korut selama beberapa dekade.
Ketika jalur resmi terhenti, jalur belakang nonpemerintah ini yang sering kali diminta untuk berunding atas nama keluarga tahanan. Pemisahan LSM dari Pemerintah AS ini menjadi keuntungan karena memungkinkan negosiasi untuk fokus hanya pada keselamatan dan kepulangan tahanan, bukan pada politik global.
”Dunia sering kali berfokus pada momen intervensi ketika seorang tahanan politik diselamatkan dan dipulangkan. Tetapi, momen itu tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan yang berarti selama bertahun-tahun. Anda harus tetap membangun hubungan sehingga ketika terjadi krisis, Anda tidak memulai dari awal,” kata Bergman.
Baca juga: Tangan Dingin Richardson Bebaskan ”Tahanan” dari Korut hingga Myanmar
Selain jalur LSM, jalur belakang juga harus diambil jika berurusan dengan Korut. Korut memiliki misi di PBB dan pada saat terjadi krisis, misi yang dijuluki ”New York Channel” itu menjadi jalan bagi para pejabat kedua negara untuk berbicara.
Selama bertahun-tahun, Robert King menjadi salah satu orang pertama yang dihubungi ketika ada warga AS yang ditangkap Korut. Sebagai mantan utusan khusus HAM Korut di Deplu AS, King sudah membantu negosiasi untuk pembebasan beberapa tahanan, termasuk Warmbier dan misionaris AS, Kenneth Bae.
”Ketegangan politik antara AS dan Korut sering kali mewarnai negosiasi sehingga membuat para tahanan menjadi pion dalam pertikaian geopolitik yang lebih luas. Korut seperti ingin memanfaatkan kesempatan membuat AS terlihat buruk,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)