Transisi energi dan mitigasi perubahan iklim adalah kebijakan Uni Eropa yang terbaru. Mereka memperkenalkannya ke masyarakat Indonesia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Tenda beberapa lembaga swadaya masyarakat yang berorientasi kepada penyelamatan lingkungan dalam acara Piknik Hijau-Hijau di Jakarta, Sabtu (23/9/2023). Acara ini diadakan oleh Kedutaan Besar Uni Eropa dalam rangka Pekan Diplomasi Hijau UE 2023.
JAKARTA, KOMPAS – Persoalan peralihan energi fosil ke energi terbarukan dan upaya memitigasi krisis iklim merupakan kebijakan politik luar negeri Uni Eropa tahun 2023. Blok perekonomian yang terdiri dari 27 negara di Benua Eropa ini menyebarluaskan kebijakan itu ke negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN maupun kepada lembaga-lembaga di bawah naungan UE.
“Khusus tahun 2023, Uni Eropa mengadakan Pekan Diplomasi Hijau yang jatuh pada akhir bulan September hingga awal Oktober,” kata Penasihat untuk Lingkungan dan Perubahan Iklim Delegasi UE di Indonesia, Henriette Faergemann di Jakarta, Sabtu (23/9/2023).
UE mengadakan acara Piknik Hijau-Hijau di Hutan Kota Kompleks Gelora Bung Karno. Menurut Faergemann, sasaran dari diplomasi hijau ini adalah masyarakat awam, terutama keluarga. Oleh sebab itu, acara sengaja diadakan di ruang terbuka dengan berbagai kegiatan. Sasarannya, antara lain, adalah anak-anak dan ibu-ibu. Kepada mereka, dikenalkan isu pentingnya mengurangi emisi dengan meninggalkan bahan bakar fosil dan menangani krisis iklim.
Diplomasi Hijau ini diputuskan oleh Dewan UE pada 9 Maret 2023. Mereka memetakan ada tiga persoalan utama di dunia. Pertama ialah perubahan iklim; kedua adalah tergerusnya keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan; serta yang ketiga adalah invasi Rusia ke Ukraina yang mengakibatkan dunia terjerumus ke dalam krisis energi dan pangan.
Menurut Faegermann, UE berambisi menurunkan 55 persen emisi gas rumah kaca per tahun 2030. Oleh sebab itu, ada perubahan dalam pola pembuatan kebijakan agar lebih memerhatikan kebutuhan generasi muda. Khusus untuk ASEAN, di sela-sela Pertemuan Para Menlu ASEAN (AMM), Juli lalu, Perwakilan Tinggi UE untuk Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borrell Fonteles menyampaikan bahwa UE memberi hibah sebesar 10 miliar euro.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Seorang penjaga stan minuman herbal mengajari pengunjung Piknik Hijau-Hijau cara membuat teh herbal di Jakarta, Sabtu (23/9/2023). Acara ini diadakan oleh Kedutaan Besar Uni Eropa dalam rangka Pekan Diplomasi Hijau UE 2023.
Penggunaannya antara lain untuk melakukan peningkatan kapasitas masyarakat di kawasan Asia Tenggara mengenai mitigasi krisis iklim dan juga untuk pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Akan tetapi, program kongkret pemakaian hibah ini belum keluar, baik dari UE, ASEAN, maupun negara-negara di Asia Tenggara. (Kompas.id, 13 Juli 2023)
1 miliar euro untuk Indonesia
Bank Investasi Eropa (EIB) yang berada di bawah naungan UE mengatakan di dalam keterangan pers bahwa per tahun 2030 mereka berambisi mengucurkan 1 triliun euro untuk mendanai berbagai aksi penanganan iklim secara global. Khusus di Asia Tenggara, EIB berencana memberi 1 miliar euro untuk Indonesia dan 500 juta euro untuk Vietnam.
Dari sisi bilateral, perusahaan konsultan pembangunan di bawah Pemerintah Jerman, Kerja Sama Pembangunan Jerman (GIZ), berjejaring dengan berbagai negara, salah satunya Indonesia. Fokus mereka adalah mengupayakan terciptanya kebijakan-kebijakan di seluruh sektor dengan memakai persepsi feminis.
“Logikanya ialah persepsi feminis merupakan sudut pandang yang memerhatikan kelompok marjinal. Jika kelompok-kelompok rentan ini masuk sebagai pemangku kepentingan di dalam setiap kebijakan, segala aturan yang diciptakan oleh negara maupun daerah menjamin kesejahteraan bagi semua pihak,” kata Oliver Baudler-Voigt, penasihat kebijakan untuk GIZ Indonesia.
Bank Investasi Eropa (EIB) mengatakan, per tahun 2030 mereka berambisi mengucurkan 1 triliun euro untuk mendanai berbagai aksi penanganan iklim secara global.
Ini berkaca dari pengalaman Pemerintah Federal Jerman. Sejak tahun 2021, mereka memastikan semua peraturan negara beserta turunannya berpersepsi feminis. Ini tidak sekadar menempatkan perempuan di posisi-posisi strategis pemerintahan, melainkan memastikan bahwa kelompok rentan--yang mencakup antara lain adalah anak-anak, kaum migran, dan minoritas keagamaan--memiliki hak dalam menentukan arah pembangunan negara sehingga tidak ada komunitas yang tergusur.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa, perempuan menempati 80 persen dari penyintas bencana akibat perubahan iklim. Dalam masyarakat adat global, perempuan adalah individu yang langsung terhubung dengan alam. Misalnya, perempuan yang bertugas berjalan mengambil air ke sumber-sumbernya dan bercocok tanam untuk kebutuhan pangan keluarga.
Apabila keluarga mengalami tekanan kemiskinan yang berat, anak perempuan dikorbankan dengan cara menyuruhnya putus sekolah untuk bekerja atau bahkan dinikahkan.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Pendiri jenama minuman herbal Ruparaga, Ivy Lando mengajar cara membuat minuman kombucha atau fermentasi teh di Piknik Hijau-Hijau, Jakarta, Sabtu (23/9/2023). Acara ini diadakan oleh Kedutaan Besar Uni Eropa dalam rangka Pekan Diplomasi Hijau UE 2023.
Penasihat Transisi Energi GIZ Indonesia Tammya Purnomo menjelaskan lebih lanjut. Kebijakan peralihan ke energi terbarukan juga masih berpola dari atas ke bawah. Ini yang membuat berbagai wacana sukar diterapkan di akar rumput. Contoh yang tampak sepele ialah keinginan pemerintah mengganti kompor gas dengan kompor listrik demi mengurangi emisi karbon.
Permasalahannya, kuliner orang Indonesia maupun Asia Tenggara umumnya dimasak dengan kuali atau wajan yang memiliki dasar melengkung. Akibatnya, warga Indonesia tidak berminat membeli kompor listrik karena tidak bisa mengolah pangan yang biasa mereka makan dengan kompor tersebut.
“Isu-isu terkesan sepele di permukaan, tetapi ternyata penting di akar rumput ini sebetulnya bisa dihindari supaya kebijakan tidak mubazir dan tepat sasaran,” tutur Tammya.
Suara anak-anak
Kelompok lain yang perlu diperhatikan suaranya adalah anak-anak. Pekan lalu, enam pemuda Portugal berumur 11-24 tahun menggugat 32 negara Eropa ke Mahkamah Hak Asasi Manusia. Mereka menuding pemerintah-pemerintah tersebut abai terhadap berbagai gangguan kesehatan dan risiko yang ditimbulkan oleh kerusakan alam akibat krisis iklim. (Kompas.id, 21 September 2023)
Permainan ular tangga berwawasan lingkungan di Piknik Hijau-Hijau, Jakarta, Sabtu (23/9/2023). Acara ini diadakan oleh Kedutaan Besar Uni Eropa dalam rangka Pekan Diplomasi Hijau UE 2023.
Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) mencatat bahwa di dunia, ada 1,8 miliar anak yang diperkirakan terkena setidaknya satu bencana akibat cuaca ekstrem. Wujudnya, antara lain, berupa banjir, kekeringan parah, dan suhu dingin beku. Polusi dan risiko munculnya berbagai penyakit pascabencana juga mengancam kesehatan serta keselamatan anak.
“Dari kajian Save the Children Indonesia, isu dampak dari perubahan iklim belum banyak dibahas di sekolah maupun lingkungan tempat tinggal. Anak-anak tahu bencana alam itu buruk, tetapi mereka belum memahami bahwa mereka bisa membantu mencegah dengan perubahan gaya hidup, misalnya mengelola sampah,” kata Koordinator Proyek Ekonomi Sirkular Save the Children Indonesia Syifa Fitriani.