Angin Perubahan di Manhattan
Reformasi PBB bukanlah tindakan teknokratis yang netral secara politik. Tawaran untuk mendapatkan kekuasaan dan hak istimewa mengintai di setiap proposal.
Reformasi Perserikatan Bangsa-bangsa dan lembaga terkait adalah "arus besar" yang sedang bergemuruh di Markas Besar PBB di Manhattan, New York, menjelang musim gugur 2023. Tidak baru-baru amat, akan tetapi dalam sidang Majelis Umum PBB pada 19-23 September 2023, pekiknya lebih lantang dan substansinya lebih ambisius.
Sebagai kepala negara pertama yang berpidato di sidang MU PBB 2023, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva of Brazil ikut menyorot isu reformasi PBB. Ia menyasar Dewan Keamanan PBB.
"Dewan Keamanan PBB kehilangan kepercayaan. Kegagalan itu disebabkan anggota tetapnya, yang melancarkan perang untuk perluasan wilayah atau pergantian pemerintahan (di negara lain). Kelumpuhan (DK PBB) adalah bukti nyata pentingnya mereformasi, memberikan lebih banyak keefektifan dan keterwakilan," tuturnya, Selasa (19/9/2023).
Presiden Kenya William S Rutto menyebut, DK PBB tidak demokratis, tidak berfungsi, dan tidak mewakili berbagai kawasan secara seimbang. Karena itu, DK PBB tidak mampu bertindak dan terus memberikan kekebalan pada berbagai pihak.
Baca Juga Seruan Reformasi PBB Kian Santer
Ada pun Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta menyoroti pelanggaran berulang Israel pada resolusi DK dan MU PBB. Pelanggaran itu memicu pertanyaan pada kredibilitas DK PBB dan soal ketidakadilan global.
Ia menyebut, arsitektur keamanan multilateral sudah usang. "Berulang kali terdengar reformasi DK PBB, bertumpuk kajian soal masalah ini. Para akademisi mengusulkan DK PBB diperluas," kata dia, Kamis (21/9/2023).
Ia juga mengecam ketiadaan keseriusan para pemimpin global mengatasi berbagai masalah global. Mereka antara lain tidak mau menghapuskan utang negara miskin yang disebabkan bank-bank Barat yang bertindak seperti lintah darat.
Lula juga menyoroti fakta alokasi pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) untuk negara-negara Eropa mencapai 160 miliar dollar AS pada 2022. Sementara untuk negara-negara Afrika, yang lebih miskin dari Eropa, alokasinya hanya 34 miliar dollar AS.
"Hampir semua pendapatan negara Afrika dipakai untuk menyicil utang luar negeri. Ketimpangan dan ketidakcocokan perwakilan di unsur manajemen IMF dan Bank Dunia tidak bisa diterima,"
Ragam reformasi
Definisi reformasi dan gradasi perubahan yang diinginkan t rhadap PBB beragam. Tiap negara punya kepentingan nasional, versi, dan narasinya masing-masing. Maka jalan mencapai reformasi, pada jantungnya adalah diplomasi dan negosiasi yang di belakang layar akan penuh konsolidasi kelompok, lobi, dan manuver. Ini adalah soal relasi kekuatan!
Aspirasi reformasi PBB sejatinya sudah mulai berembus sejak 1990-an. Dan faktanya, sejumlah perubahan telah berlangsung sepanjang sejarah PBB. Ada yang sama, akan tetapi sekaligus ada yang berbeda.
Baca Juga RI Kampanyekan Hak Pembangunan
Hal yang sama adalah bahwa aspirasi reformasi sebenarnya selalu berangkat dari keinginan untuk perimbangan kekuatan atau pengaruh di pelantar multilateralisme itu. Sementara bedanya, adalah pada konteksnya. Konteks yang berbeda menciptakan artikulasi yang berbeda pula.
PPB dirikan pada 1945. Sampai dengan 1990, perubahan-perubahan berlangsung pada era Perang Dingin. Sementara Sejak 1990 hingga 2016, perubahan terjadi pada era unipolar. Sejak 2017, perubahan terjadi pada era multipolar seiring menguatnya China dan bangkitnya Rusia.
Kelembagaan PBB berikut lembaga multilateralisme terkait lain saat ini sudah kedaluwarsa. Reformasi kelembagaan menjadi prasyarat agar multilateralisme relevan dan efektif
Selama era Perang Dingin, ada dua adidaya dalam sistem. Sementara di era unipolar, hegemoni Amerika Serikat (AS) mendominasi dunia. Selama masa itu, mayoritas negara-negara lain, terutama di belahan Selatan, masih terbelakang dan baru dalam tahap awal pembangunan setelah merdeka dari penjajahan.
Memasuki era multipolar, kekuatan relatif lebih berimbang. Di luar tiga adidaya dan negara-negara Barat, banyak negara berkembang yang dulu masih dalam tahap pertumbuhan awal, kini sudah menjadi kekuatan menengah yang tidak bisa tidak harus diperhitungkan. Sebut saja misalnya Brazil, India, Afrika Selatan, Turki, Arab Saudi, dan Indonesia.
Sementara negara-negara Selatan lainnya sudah lebih berkembang. Kesadaran senasib dan sepenanggungan membangkitkan sentimen bersama sehingga konsolidasi negara-negara ini menjadikannya kekuatan berpengaruh di panggung internasional.
Tiga area
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sejak awal periode kepemimpinannya per Januari 2017 telah membawa misi reformasi PBB. Dalam proposalnya, ia mengusulkan reformasi PBB dalam tiga area. Pertama adalah pembangunan dengan jangkar Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Baca Juga Desakan Reformasi Arsitektur Keuangan Global Berlanjut
Kedua, tata kelola Sekretariat PBB. Targetnya adalah menciptakan lembaga kesekretariatan yang menyederhanakan proses, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan efektivitas pencapaian mandat-mandat PBB. Ketiga, perdamaian dan keamanan. Targetnya adalah mencegah perang dan menjaga perdamaian.
Dunia telah berubah. Namun, lembaga-lembaga multilateral tidak. Komunitas internasional tidak bisa efektif menangani persoalan-persoalan jika lembaga-lembaga tak mencerminkan dunia apa adanya.
Mendasarkan proposal tersebut, tampak bahwa reformasi yang diusulkan Guterres menjangkau area yang lebih luas. Dengan demikian, implikasinya juga akan lebih luas. Sebelumnya, seruan reformasi lebih banyak pada area perdamaian dan keamanan.
Pada pidato pembukaan Musim Sidang ke-78 Majelis Umum di New York, Selasa (19/9/2023), Guterres menegaskan kelanjutan agenda reformasi PBB. Dalam kesempatan itu, menyampaikan kebutuhan untuk mereformasi PBB.
Intinya, kelembagaan PBB berikut lembaga multilateralisme terkait lain yang ada saat ini sudah kedaluwarsa. Oleh sebab itu, reformasi kelembagaan menjadi prasyarat agar multilateralisme relevan dan efektif menjawab tantangan zaman mutakhir dan masa depan.
Guterres menjelaskan, dunia dengan cepat memasuki dunia multipolar. Dalam banyak hal, ini positif karena membawa peluang-peluang baru untuk keadilan dan keseimbangan dalam hubungan internasional.
Namun multipolar sendiri tidak bisa menjamin perdamaian. Awal abad ke-20, Guterres memberikan rujukan sejarah, adalah era multipolar dengan sejumlah kekuatan di Eropa. Akan tetapi karena tak memiliki lembaga-lembaga multipolar yang kokoh, yang terjadi kemudian adalah Perang Dunia I.
Baca Juga Sidang Umum PBB Dimulai, Dunia Diingatkan Agenda SDGs Bisa Molor 42 Tahun
Dunia multipolar membutuhkan lembaga-lembaga multilateral yang kuat dan efektif. Namun tata kelola global saat ini terjebak di masa lalu, seperti Dewan Keamanan PBB dan sistem Bretton Woods. Sistem ini merefleksikan realitas politik dan ekonomi pada 1945, ketika banyak anggota PBB masih di bawah dominasi kolonial.
Dunia, Guterres melanjutkan, telah berubah. Namun, lembaga-lembaga multilateral tidak. Komunitas internasional tidak bisa efektif menangani persoalan-persoalan jika lembaga-lembaga tak mencerminkan dunia apa adanya. Alih-alih mengatasi persoalan-persoalan, lembaga-lembaga multilateralisme justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
”Kini saatnya untuk memperbarui lembaga-lembaga multilateral berdasarkan realitas ekonomi dan politik abad 21 yang berakar pada kesetaraan, solidaritas, dan universalitas serta berjangkar pada prinsip-prinsip Piagam PBB dan hukum internasional,” katanya.
Hal itu berarti mereformasi DK PBB sesuai situasi dunia hari ini. Hal itu juga berarti mendesain ulang arsitektur keuangan internasional yang tak berfungsi, kedaluwarsa, dan tak adil. Dengan demikian, lembaga-lembaga ini benar-benar menjadi universal dan melayani negara-negara berkembang yang bermasalah selaku jaring pengaman global.
Kekuatan dan kompromi
”Saya tidak sedang berilusi. Reformasi adalah pertanyaan soal kekuatan. Saya tahu, ada banyak kepentingan dan agenda yang saling bersaing. Namun, alternatifnya adalah reformasi bukan status quo. Alternatif di luar reformasi adalah fragmentasi yang kian jauh. Reformasi atau perpecahan,” kata Guterres.
Politik, menurut Guterres, adalah kompromi. Diplomasi adalah kompromi. Kepemimpinan yang efektif adalah berkompromi. Para pemimpin memiliki tanggung-jawab istimewa untuk mencapai kompromi dalam membangun masa depan bersama yang damai dan sejahtera demi kebaikan bersama.
”Reformasi mendalam tidak bisa berlangsung dalam waktu singkat. Namun sekarang kita bisa mengambil langkah-langkah yang ditetapkan untuk membantu negara-negara yang sedang mengalami krisis,” katanya.
Baca Juga Desakan Reformasi Arsitektur Keuangan Global Berlanjut
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Pertemuan Puncak SDGs pada Senin (18/9/2023), menyatakan, tatanan global saat ini tidak pas dan tidak memberikan kesempatan yang setara kepada negara-negara Selatan. Akibatnya, dunia benar-benar di luar jalur pencapaian target SDGs pada 2030.
”Tak ada pilihan lain. Dunia harus mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi negara-negara berkembang untuk tumbuh dan membuat lompatan pembangunan. Diskriminasi perdagangan harus dihentikan. Negara berkembang harus diberikan kesempatan untuk lakukan hilirisasi industri,” ujar Retno.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, menyatakan, komunitas global harus memastikan kualitas-kualitas penting yang mendefinisikan kemanusiaan terefleksikan jelas di lembaga-lembaga yang mengatur pelaksanaan hubungan internasional.
”Kita memerlukan lembaga-lembaga yang inklusif, representatif, demokratis, dan memajukan kepentingan semua negara. Kita memerlukan komitmen baru terhadap multilateralisme, berdasarkan aturan yang jelas dan didukung oleh lembaga-lembaga yang efektif,” katanya.
Inilah saat yang tepat menurut Cyril, untuk melanjutkan reformasi Dewan Keamanan PBB. Tujuannya agar lembaga itu memberikan makna pada prinsip persamaan kedaulatan negara-negara dan memungkinkannya memberikan respons yang lebih efektif terhadap realitas geopolitik saat ini.
”Kami gembira bahwa Posisi Bersama Afrika mengenai reformasi Dewan Keamanan semakin mendapat dukungan luas. Proses ini harus beralih ke perundingan berbasis teks, sehingga menciptakan peluang bagi konvergensi antar negara anggota. Kita harus memastikan bahwa suara benua Afrika dan negara-negara Selatan diperkuat di PBB dan sistem multilateral yang lebih luas” katanya.
Status quo
Mengutip Global Policy Forum, reformasi PBB menjadi agenda yang tak kunjung selesai dibahas. Terdapat perbedaan pendapat yang tajam mengenai jenis reformasi apa yang diperlukan dan apa tujuannya.
Yayasan, lembaga kajian , dan komisi pengkaji secara rutin menyerukan renovasi kelembagaan. Sekretariat Jenderal mengumandangkan inisiatif reformasi mereka. Lembaga Swadaya Masyarakat membuat proposal.
Baca Juga Majelis Umum PBB: Dari Reformasi, Utang, sampai Lobi
Reformasi PBB, masih mengutip Global Policy Forum, bukanlah tindakan teknokratis yang netral secara politik. Tawaran untuk mendapatkan kekuasaan dan hak istimewa mengintai di setiap proposal.
Banyak ahli ingin melihat organisasi multilateral yang lebih kuat dan efektif. Namun pemerintah yang paling kuat biasanya menentang institusi yang kuat. Dan mereka sering menggunakan kekuasaan mereka untuk menghalangi perubahan.
Presiden AS Joe Biden juga menyinggung reformasi pada pidato di sesi Debat Umum, Selasa (19/9/2023). Bedanya, ia meyakinkan bahwa proses reformasi itu telah berlangsung dan ia bertekad melanjutkannya.
”Dalam pidato saya di hadapan badan ini tahun lalu, saya mengumumkan bahwa AS akan mendukung perluasan Dewan Keamanan, meningkatkan jumlah anggota tetap dan tidak tetap,” katanya.
Untuk itu, Biden melanjutkan, AS telah melakukan konsultasi serius dengan banyak negara anggota. ”Dan kami akan terus melakukan bagian kami untuk mendorong upaya-upaya reformasi yang lebih lanjut, mencari titik temu, dan membuat kemajuan di tahun mendatang,” katanya.
PBB, menurut Biden, harus mampu memecahkan kebuntuan yang sering kali menghambat kemajuan dan menghalangi konsensus di Dewan Keamanan. PBB memerlukan lebih banyak suara dan lebih banyak perspektif. ”AS berupaya secara menyeluruh untuk menjadikan lembaga-lembaga global lebih responsif, lebih efektif, dan lebih inklusif,” katanya.
Biden misalnya, mengklaim bahwa AS telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mereformasi Bank Dunia. Biden juga menyatakan bahwa AS telah mengusulkan untuk memastikan negara-negara berkembang memiliki suara dan keterwakilan yang kuat di Dana Moneter Internasional (IMF). Ia juga berjanji untuk melanjutkan mereformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Baca Juga Negara Besar Absen, Negara Kecil Maju Jadi Teladan Konservasi Alam
Pada 22-23 September 2024, PBB akan menggelar Konferensi Puncak tentang Masa Depan. Proposal Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang disebut Agenda Bersama Kita akan menjadi bahan dasar pembahasan. ”Ini merupakan peluang sekali dalam satu generasi guna mengatasi tantangan-tantangan mutakhir yang dilakukan dalam kerangka Piagam PBB,” kata Guterres.
Dalam forum itu, negara-negara anggota PBB akan menentukan bagaimana multilateralisme bergerak ke depan pada sejumlah area. Di antaranya dalam urusan perdamaian, teknologi digital, dan reformasi arsitektur keuangan internasional, guna mengatasi tantangan-tantangan dan membawa keadilan dan kesetaraan dalam tatanan global.