Indonesia mengampanyekan hak pembangunan pada Sidang Ke-78 Majelis Umum PBB di New York, 19-23 September. Sejumlah ikhtiar negara berkembang untuk maju, seperti hilirisasi, selalu mendapat perlawanan dari negara maju.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA DARI NEW YORK, AS
·4 menit baca
NEW YORK, KOMPAS — Pemerintah Indonesia terus mengampanyekan hak pembangunan bagi semua negara. Hal ini disampaikan sekaligus dengan gugatan bahwa negara-negara maju terus menghambat ikhtiar negara-negara berkembang. Padahal, hak membangun menjadi jalan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Hak pembangunan atau hak untuk membangun oleh suatu negara menjadi salah satu narasi utama Indonesia pada musim Sidang Ke-78 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS), 19-23 September 2023. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam sejumlah sidang di Markas Besar PBB konsisten mengangkat isu pembangunan sebagai hak semua bangsa sekaligus menggugat retorika negara-negara maju.
”Semua negara memiliki hak yang sama untuk maju dan tumbuh. Namun, sayangnya tata kelola global saat ini hanya menguntungkan segelintir negara saja,” kata Retno pada pernyataan nasional Indonesia di Sidang Ke-78 Majelis Umum PBB di New York, Sabtu (23/9/2023).
Faktanya, menurut Retno, diskriminasi perdagangan melawan negara-negara berkembang terus berlanjut. Rantai pasok global dimonopoli oleh beberapa negara. Sementara negara berkembang menderita karena utang luar negeri dan susahnya pembiayaan pembangunan.
Akibatnya, banyak negara berkembang tidak akan mencapai target SDGs pada 2030. Semua ini, berkontribusi pada luruhnya kepercayaan dan solidaritas global.
Oleh karena itu, Retno menekankan, kinilah saatnya semua pihak untuk membuat perubahan konkret. Hilirisasi tidak seharusnya menjadi hal yang sulit bagi negara berkembang.
Negara maju juga harus mendukung panggilan ini guna membangun masa depan bersama yang lebih kuat. Ide yang sama berlaku pula untuk agenda iklim dan upaya menjaga keragaman hayati.
Indonesia, Retno melanjutkan, telah menunjukkannya melalui contoh dengan cara memenuhi semua tanggung jawab internasionalnya. Di antaranya dengan menjadi kelompok negara-negara pertama yang menandatangani perjanjian Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Keragaman Hayati di Laut Lepas atau BBNJ.
Namun, negara berkembang tidak bisa melakukan agenda itu sendiri. Mereka membutuhkan negara-negara maju memenuhi tanggung jawabnya, termasuk untuk pembiayaan iklim, investasi hijau, dan transfer teknologi.
Diskriminasi perdagangan melawan negara-negara berkembang terus berlanjut. Rantai pasok global dimonopoli oleh beberapa negara.
Teknologi dan inovasi semestinya tidak boleh eksklusif untuk beberapa negara saja. Akses pada teknologi digital yang aman untuk negara-negara berkembang, termasuk kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), penting untuk pertumbuhan masa depan yang berkelanjutan. Sekarang waktunya untuk melakukan apa yang kita khotbahkan.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan yang nyata sehingga tata kelola global lebih berpihak kepada negara berkembang, termasuk mendukung hilirisasi industri.
Retno juga menggarisbawahi agenda reformasi sistem multilateral. ”Banyak proposal diproduksi selama ini. Namun, kita masih jauh dari mana pun. Waktu terbaik untuk melakukan aksi barangkali sudah lewat. Tapi, waktu terbaik kedua adalah sekarang,” katanya.
Untuk itu, Retno mengajak semua pihak untuk menjalankan komitmen-komitmennya. ”Pertemuan Puncak tentang Masa Depan 2024 tidak boleh gagal. Kepercayaan dan solidaritas harus menjadi bagian dari upaya ini. Masyarakat kita dan dunia menunggu, dan kita harus bisa mewujudkannya,” kata Retno.
Ketidakadilan ekonomi
Pesan sama juga disampaikan pada Dialog Tingkat Tinggi tentang Pembiayaan Pembangunan di Markas Besar PBB pada 20 September 2023. Dalam kesempatan itu Retno menyuarakan tentang ketidakadilan ekonomi global.
Tatanan ekonomi saat ini, menurut Retno, tidak pas dengan tujuan mutakhir. Tatanan tersebut masih merupakan warisan arsitektur pascaperang yang sebagian besar menguntungkan negara-negara industri dan meninggalkan Global Selatan dengan beban berat utang yang tidak berkelanjutan.
Oleh sebab itu, Retno melanjutkan, dunia butuh terobosan untuk memperbaiki ekonomi global agar menjadi lebih representatif pada suara dan kepentingan negara-negara berkembang.
”Diskriminasi perdagangan harus diakhiri. Hak pembangunan harus dijamin. Arsitektur keuangan internasional, termasuk institusi-institusi Bretton Woods, harus direformasi. Hanya dengan memperbaiki situasi saat ini, kita dapat memberikan ruang bagi negara-negara berkembang untuk berkembang,” kata Retno.
Sehari sebelumnya, pesan sama diserukan Retno pada Pertemuan Persiapan Tingkat Menteri untuk Pertemuan Puncak tentang Masa Depan di New York. Lagi-lagi Retno menyerukan hak pembangunan bagi semua bangsa di dunia sekaligus mengkritik tatanan yang tak berkeadilan.
Diskriminasi perdagangan harus diakhiri. Hak pembangunan harus dijamin. Arsitektur keuangan internasional, termasuk institusi-institusi Bretton Woods, harus direformasi.
Retno menyatakan perlunya kesejahteraan untuk semuanya. Guna mewujudkannya, dunia membutuhkan sistem perdagangan multilateral yang terbuka, adil, dan tidak diskriminatif. Hal kedua, lagi-lagi soal hak pembangunan. ”Penghormatan terhadap hak pembangunan bagi negara-negara berkembang,” kata Retno.
Selain itu, dunia juga membutuhkan arsitektur keuangan global yang inklusif. Inklusif yang dimaksud adalah dengan mempertimbangkan suara dan kepentingan negara-negara berkembang.
Sebelum Retno, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mendapat giliran pidato. Ia menyatakan kekuasaan tergelincir ke tangan rezim lama, yang didominasi oleh Washington, yang telah lama menolak prinsip kesetaraan. ”Amerika dan Eropa membuat berbagai macam janji dan kemudian tidak memenuhinya,” katanya.
Mengutip pernyataan Presiden Vladimir Putin, Lavrov mengatakan bahwa Barat ”benar-benar sebuah kerajaan kebohongan”. Barat bahkan selama pertempuran melawan Nazisme di Perang Dunia II telah merencanakan serangan terhadap sekutu Soviet mereka.
Washington dan Brussels tak henti-hentinya berusaha memperluas kepentingan dan aliansi mereka untuk menundukkan negara-negara Dunia Selatan dan Timur. Washington dan Brussels menolak keinginan Rusia untuk memberikan jaminan keamanan bersama.