Etnis Rohingya yang terpaksa mengungsi keluar dari Myanmar pada 2017 tak kunjung jelas nasibnya. Isunya makin tenggelam dengan berbagai dinamika mutakhir.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA DARI NEW YORK, AS
·4 menit baca
NEW YORK, KOMPAS – Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina meminta ASEAN tetap menempatkan isu Rohingya sebagai agenda penting kawasan. Ia mendorong ASEAN untuk meningkatkan upaya membangun kepercayaan di Myanmar agar warga etnis Rohinya bisa kembali ke tanah air mereka dengan bermartabat.
”Dalam hal ini (ketidakpastian situasi politik di Myanmar), kami yakin ASEAN mempunyai tanggung jawab yang penting. Kami menyambut baik penunjukan Utusan Khusus ASEAN dan kami berharap penyelesaian krisis ini melalui pemulangan warga negara Myanmar yang terlantar ke negara mereka secara dini dan berkelanjutan akan tetap menjadi agenda utama ASEAN,” kata Hasina pada pertemuan sampingan di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB ke-78 di New York, Amerika Serikat, Kamis (21/9/2023).
Pertemuan membahas isu Rohingya itu mengusung tema, ”Have they Forgotten Us? Ensuring Continued Global Solidarity with the Rohingya of Myanmar”. Kegiatan bersama itu disponsori oleh Bangladesh, Indonesia, Kanada, Gambia, Malaysia, Türkiye, Inggris dan Amerika Serikat.
ASEAN harus meningkatkan upaya membangun kepercayaan di Myanmar yang dapat mendorong warga Rohingya untuk kembali ke tanah air mereka.
Sebagai sesama anggota, Hasina melanjutkan, ASEAN harus meningkatkan upaya membangun kepercayaan di Myanmar yang dapat mendorong warga Rohingya untuk kembali ke tanah air mereka. Ia juga mengingatkan bahwa bantuan kemanusiaan sangat penting tetapi bukanlah solusi permanen.
Untuk itu, PBB bersama para mitranya harus melakukan tindakan dan proyek nyata di Myanmar untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi repatriasi dan keberlanjutannya. ”Sejauh ini, kami belum melihat kemajuan seperti itu,” katanya.
Hasina juga menekankan, akuntabilitas atas penganiayaan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya penting untuk menciptakan kepercayaan pada populasi ini. Impunitas atas kejahatan keji seperti ini tidak boleh dibiarkan dalam segala hal.
”Dalam hal ini, Bangladesh mendukung upaya internasional yang sedang berlangsung untuk memastikan akuntabilitas termasuk di International Court of Justice. Mekanisme internasional lain yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia juga harus didukung,” katanya.
Bangladesh adalah negara yang membuka perbatasan untuk menerima gelombang pengungsi Rohingya pada 2017. Sampai saat ini, para pengungsi masih tinggal di Bangladesh.
Setiap tahun lebih dari 30.000 bayi baru lahir di kamp pengungsian di Bangladesh.
Menurut Hasina, setiap tahun lebih dari 30.000 bayi baru lahir di kamp pengungsian di Bangladesh. Guna mengurangi kepadatan kamp-kamp yang terlalu padat di Cox’s Bazar, Bangladesh telah mengembangkan sebuah pulau bernama Bhasan Char. Pemerintah mengeluarkan 350 juta dollar AS untuk mengembangkan area seluas 13.000 hektar di bagian selatan Bangladesh itu.
Pulau tersebut, menurut Hasina, memiliki infrastruktur yang memadai dan memiliki fasilitas yang lebih baik untuk merelokasi sementara sekitar 100.000 penduduk kamp. Hingga saat ini, Pemerintah Bangladesh telah merelokasi sekitar 18.500 pengungsi dari kamp di Cox’s Bazar ke Bhashan Char. Relokasi dilakukan atas dasar kesukarelaan. Kami berharap dapat segera melihat dimulainya operasi PBB di Bhashan Char.
”Saya ingin menekankan bahwa apa pun yang kami lakukan di Bangladesh hanyalah bersifat sementara. Seperti yang berulang kali saya katakan, mereka adalah warga negara Myanmar dan oleh karena itu, mereka harus kembali ke tanah air mereka, Myanmar, dengan aman dan bermartabat. Kita semua, khususnya komunitas internasional, harus melakukan segala yang mungkin untuk mewujudkan hal ini,” katanya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam kesempatan itu menyatakan, dua hal perlu dilakukan untuk menyelesaikan krisis Rohingya. Pertama, mendorong adanya solusi politik.
”Isu Rohingya adalah isu kemanusiaan, tapi sangat politis. Oleh karenanya, satu-satunya jalan keluar untuk Rohingya ini adalah melalui solusi politik,” katanya.
Satu-satunya jalan keluar untuk Rohingya ini adalah melalui solusi politik.
Untuk itu, Retno menekankan, penyelesaian masalah Rohingya harus menjadi bagian integral dari solusi krisis politik di Myanmar. Upaya dialog nasional inklusif yang didorong oleh ASEAN melalui Konsensus 5 Poin juga harus mencakup penyelesaian bagi masyarakat Rohingya. Terkait isu repatriasi pengungsi Rohingya, harus difasilitasi secara sukarela, aman dan bermartabat.
”ASEAN akan terus membantu Rohingya dan ASEAN tidak akan pernah melupakan Rohingya,” katanya.
Langkah kedua, Retno melanjutkan, adalah memastikan tersedianya bantuan kemanusiaan. Secara umum, rakyat Myanmar memerlukan bantuan kemanusiaan. Namun bantuan untuk Rohingya paling dibutuhkan.
”Saat ini lebih dari 1 juta masyarakat Rohingya terlantar dan menjadi pengungsi. Sementara mereka yang tinggal di wilayah Rakhine juga menghadapi situasi yang sangat sulit. Mereka rentan menjadi korban kejahatan terorganisasi,” ujar Retno.
Saat ini lebih dari 1 juta masyarakat Rohingya terlantar dan menjadi pengungsi. Sementara mereka yang tinggal di wilayah Rakhine juga menghadapi situasi yang sangat sulit.
Karena itu, dukungan dari dunia internasional perlu terus diperkuat. “Saat ini, masyarakat Rohingya menangis dalam senyap. Hanya karena kita tidak bisa mendengar tangisan mereka, kita tidak boleh tinggal diam,” kata Retno menutup pernyataannya.
Selain Hasina dan Retno, hadir menyampaikan pidato pada kesempatan itu sejumlah pemimpin. Di antaranya adalah Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta, Direktur Jenderal Organisasi Internasional untuk Migrasi Antonio Vitorino, Kepala Jaksa Pengadilan Pidana Internasional Karim AA Khan.