Indonesia harus berani menegaskan Afrique pour d’Afrique atau Afrika untuk bangsa-bangsa Afrika. Sesuai konstitusi kita dan semangat Dasa Sila Bandung. Warisan politik luar negeri pendiri bangsa kita.
Oleh
IWAN SANTOSA
·6 menit baca
Berbagai negara Afrika Barat penutur bahasa Perancis mengalami rangkaian kudeta dalam sepuluh tahun terakhir. Pada saat yang sama, gangguan keamanan dan terorisme serta kemiskinan melanda kawasan Sahel dan juga terjadi kontestasi geopolitik antara hegemoni Perancis dan negara Barat dan kehadiran Rusia, China, serta Turki.
Council on Foreign Relations (CFR), lembaga kajian di Amerika Serikat, dalam laporan 8 September 2023 berjudul ”Rangkaian Kudeta Kembali di Afrika Barat” menyatakan telah muncul kembali budaya kudeta di kawasan Sahel atau Sub Sahara. CFR menulis, dalam lima bulan terakhir tindak kekerasan telah menciptakan peralihan kekuasaan di Afrika Barat di Guinea, Mali (dua kali dalam 13 bulan terakhir), dan Chad.
Namun, CFR tidak mengulas tentang kudeta di Gabon pada 30 Agustus 2023 dan di Niger 26 Juli 2023. Perancis sebagai negara bekas penjajah juga tidak mengecam kudeta di Gabon.
Tayangan BBC News Africa dua pekan lalu menerangkan, Amerika Serikat belum menggunakan istilah kudeta dalam menyikapi situasi di Niger. Bahkan, AS mengirimkan duta besar baru di Niger di tengah situasi kudeta militer.
Menurut BBC, itu disebabkan kepentingan strategis AS. Washington harus menghentikan bantuan dan kerja sama, termasuk operasi militer di Niger, jika menyatakan adanya kudeta di Niger. AS mengoperasikan pangkalan militer untuk operasi drone dan operasi antiteror melawan kelompok Al Qaeda di kawasan Sahel.
Al Qaeda di Sahel merajalela di Mali–Chad–Niger–Libya dan negara-negara sekitar. Washington mengalokasikan anggaran kerja sama militer di Niger per tahun sebesar 500 juta dollar AS.
Penyebab kudeta
CFR mengungkap sejumlah masalah besar yang mendera Chad-Mali-Guinea sebagai pemicu kudeta. Masalah itu, antara lain, ialah radikalisme agama, elite penguasa yang semakin menjauh dari rakyat, dampak Covid-19, serta perubahan iklim yang merusak ketahanan pangan dan ekonomi wilayah Afrika Sahel.
Mantan Duta Besar RI di Dakar, Andradjati, mengatakan bahwa para perwira di negara-negara Afrika Barat semakin tidak puas pada pemerintahan yang tidak membawa kemajuan bagi masyarakat. Para perwira itu juga gerah oleh gangguan keamanan serta terorisme yang terus menggerogoti kawasan Sahel.
”Di Senegal sewaktu saya bertugas nyaris terjadi kekerasan karena penguasa bermaksud mengubah konstitusi sehingga memungkinkan melanjutkan kekuasaan. Untungnya di Senegal, para ulama masih didengar suaranya. Para ulama muncul dan mampu meredakan suhu politik sehingga terjadi transisi damai dan para ulama kembali pada peran kemasyarakatan,” kata diplomat yang pernah mewakili Indonesia di 10 negara Afrika yang sebagian penduduknya penutur bahasa Perancis atau Francophonie.
Diplomat yang juga pernah bertugas di Kongo dan Afrika Tengah itu menyebut, Indonesia masih dihormati di negara-negara Sahel. Penyebabnya terutama Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung yang mempercepat kemerdekaan bangsa-bangsa di Afrika, termasuk di Afrika Barat.
Pengaruh budaya Perancis mengakar di negara-negara francophonie Afrika. Jumlah penutur Perancis pada 2050 diperkirakan akan lebih banyak di luar dibandingkan dengan di dalam Eropa. Penutur terbanyak akan berada di Afrika.
Negara-negara Francophonie yang mengalami kudeta tersebut memiliki sistem keuangan yang terkait dengan bank sentral Perancis. Mekanisme yang dibuat Perancis itu mengakibatkan, sebagian dana bank sentral negara–negara francophonie Afrika digunakan dan dikendalikan bank sentral Perancis. Betapa negara bekas penjajah tetap mendapat keuntungan finansial dari negara– negara bekas jajahan.
Andrajadi tidak yakin dana itu akan dibekukan Perancis sebagai sikap terkait kudeta. Sebab, pembekuan itu akan buruk bagi Perancis. Salah satu dampaknya, akan terkuak bahwa Perancis dimodali bekas jajahan yang sebagian masyarakatnya miskin itu. Padahal, sumber daya alam negara-negara itu melimpah.
Manusia terkaya
Hal itu merupakan ironi karena sebelum penjajahan Eropa, di Sahel hidup salah satu manusia terkaya dalam sejarah dunia. Ia adalah Raja Mansa Musa atau Musa I yang memerintah 1312-1337 Masehi.
Dalam catatan Warner Brian pada 14 April 2014 tentang 25 Orang Terkaya yang Pernah Hidup di Dunia, disebutkan kekayaan Mansa Musa mencapai 400 miliar dollar AS hitungan saat ini. Ketika berhaji pada 1324-1325 Masehi, Mansa Musa membawa rombongan 60.000 orang dengan 12.000 orang budak yang secara keseluruhan memboyong 18 ton emas.
Setiap hari Jumat, Mansa Musa membangun satu masjid baru dalam muhibahnya. Salah satu warisan Mansa Musa adalah cagar UNESCO Masjid Djinguereber di Timbuktu, Mali.
Namun, penjajahan Eropa dan Traktat Berlin tahun 1884 mengubah segalanya. Afrika ibarat kue besar yang dibagi antara negara-negara Eropa. Afrika hingga kini terpuruk dalam kemiskinan di saat kekayaannya terus dieksploitasi antara perusahaan besar di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang berkolaborasi dengan segelintir elite Afrika.
Terkait kekayaan alam tersebut, mantan Kuasa Usaha Tetap Kedutaan Besar Republik Indonesia di Madagaskar Anindita Harimurti Axioma mengatakan, negara-negara besar mengembangkan pengaruh sedemikian rupa di Madagaskar yang juga negara francophonie. Di sisi lain, negara-negara francophonie di Afrika seperti dibiarkan tidak berdaya oleh bekas penjajahnya.
”Ketika pertama kali datang ke Madagaskar, suasana di jalan raya seperti tahun 1970-an. Banyak mobil Perancis buatan tahun 1960-an dan 1970-an masih beroperasi. Saya puji rekan-rekan di Madagaskar karena mereka mampu merawat mobil-mobil tua, seperti Citroen 2CV dan Peugeot 304. Mereka balik menjawab, itu terjadi karena mereka tidak mampu membeli mobil-mobil baru,” ujarnya.
Dia mengatakan, peran non-intervensi urusan dalam negeri di Afrika yang disepakati Dasa Sila Bandung 1955 justru dengan konsekuen dijalankan China dan Rusia di Afrika. Walhasil, banyak proyek dan bisnis China dan Rusia di Afrika berkembang pesat. Selain itu, Rusia, menurut Anindita, memainkan kartu yang dimainkan Blok Barat di Afrika di masa silam, yakni beroperasinya tentara bayaran.
Keseriusan menggarap Afrika, lanjut Anindita, di Madagaskar saja kendaraan berpelat nomor diplomatik AS ada 1.000 lebih. Demikian pula fasilitas stasiun pemancar yang dimiliki negara-negara besar, seperti Perancis-China-Rusia, di Madagaskar dibangun besar-besaran.
Jasa Indonesia
Dia mengingatkan, pada masa konfrontasi perebutan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, pihak Belanda membangun stasiun relay besar di Madagaskar. Stasiun itu untuk meneruskan siaran propaganda Radio Hilversum di Belanda ke Indonesia.
Bangsa-bangsa Afrika pun paham pepatah ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Anindita menceritakan, pada tahun 1980-an ada salah satu pejabat negara di Afrika datang ke KBRI Aljazair di kota Algier. Pejabat Afrika tersebut bermaksud mengembalikan ”pinjaman” ribuan ton beras bantuan dari RI yang diberikan pada zaman Presiden Soekarno.
Semasa tahun 1960-an, Indonesia pun dengan tegas berani membantu perjuangan kemerdekaan Afrika. Semisal sebagian senjata yang dibeli TNI dari Yugoslavia, sebagian langsung dikirimkan ke pejuang kemerdekaan Aljazair pada tahun 1960-an. Bahkan, sebagian negara Afrika yang belum merdeka pun sudah diundang hadir dalam KAA I, Bandung, pada 1955. Hal itu kehormatan bagi mereka dan jasa besar dari Indonesia.
”Indonesia harus berani menegaskan Afrique pour d’Afrique atau Afrika untuk bangsa-bangsa Afrika. Sesuai konstitusi kita dan semangat Dasa Sila Bandung. Warisan politik luar negeri pendiri bangsa kita,” kata Anindita.
Ada pun juru bicara Kementerian Luar Negeri RI Lalu Mohammad Iqbal mengatakan, situasi pascakudeta di Afrika Barat masih belum jelas. Afrika sedang mencari keseimbangan baru.
Afrika sangat bersahabat kepada Indonesia dan sudah selayaknya Indonesia juga mengembangkan hubungan strategis dengan negara-negara Afrika. Sejauh ini baru Rusia, Turki, dan China menjadi pemain baru dengan hasil nyata berbagai kerja sama ekonomi tanpa embel-embel berbagai aturan dan batasan yang biasa diterapkan Barat.
Alam multilateralisme dalam hubungan internasional, menurut Iqbal, sangat sesuai semangat bebas dan aktif dalam politik luar negeri Indonesia. Percaturan geopolitik di Afrika bisa menjadi peluang baik bagi tatanan baru yang adil bagi dunia belahan selatan, termasuk Indonesia sebagai penggagas Gerakan Asia Afrika.