Afrika dalam Bayang-bayang Kudeta, Pandemi, dan Perubahan Iklim
Uni Afrika adalah blok yang dibentuk 20 tahun lalu untuk mempromosikan kerja sama internasional dan menyelaraskan kebijakan negara anggotanya. Namun, belakangan aneka kudeta dan upaya kudeta membayangi wilayah itu.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
ADDIS ABABA, SABTU –Para pemimpin negara-negara di Benua Afrika berkumpul dalam Konferensi Tingkat Tinggi Uni Afrika akhir pekan ini, 5-6 Februari 2022, guna merespons aneka persoalan dan tantangan di benua itu. Enam kudeta atau percobaan kudeta dalam kurun waktu 18 bulan terakhir yang berkelindan dengan pandemi Covid-19 dan ancaman krisis iklim menjadi topik-topik utama pembahasan dalam forum itu.
Uni Afrika adalah blok yang dibentuk 20 tahun lalu untuk mempromosikan kerja sama internasional dan menyelaraskan kebijakan negara-negara anggotanya. Namun, belakangan kudeta dan upaya kudeta membayangi keamanan dan stabilitas blok sekaligus wilayah Afrika secara keseluruhan. Empat negara telah ditangguhkan keanggotaannya oleh Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika sejak pertengahan 2021 karena perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional. Penangguhan keanggotaan terbaru diberlakukan terhadap Burkina Faso, di mana tentara menggulingkan Presiden Roch Marc Christian Kabore bulan lalu.
Berbicara kepada para menteri luar negeri Afrika minggu ini, Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat mengecam kebangkitan kudeta militer yang mengkhawatirkan. ”Perdamaian dan keamanan sangat terancam di beberapa wilayah kami dan di beberapa negara anggota (Uni Afrika),” kata Mahamat. Namun, muncul tuduhan Uni Afrika juga tidak konsisten terkait persoalan kudeta. Hal itu muncul karena Uni Afrika tidak menangguhkan Chad. Padahal, dewan militer negara itu mengambil alih kekuasaan menyusul kematian Presiden lama Idriss Deby Itno di medan perang, April lalu.
Etiopia sebagai negara tempat penyelenggaraan KTT juga menjadi sorotan tersendiri. Ini tidak terlepas dari perang di Etiopia yang pecah pada November 2020 dan telah menewaskan ribuan orang. Pertemuan di ibu kota Etiopia itu digelar hanya tiga bulan setelah negara itu mengumumkan keadaan darurat karena pasukan pemberontak di utara mengancam akan masuk ke Addis Ababa. Kantor-kantor kedutaan negara Barat dan Afrika sempat mengevakuasi warga mereka.
Solomon Dersso, pendiri kelompok Amani, wadah pemikir yang berfokus pada Afrika, menilai KTT dua hari itu harus membahas bagaimana Uni Afrika lebih proaktif dalam mengatasi faktor-faktor yang menimbulkan kudeta. Hal itu termasuk ketidakstabilan terkait terorisme dan ketidakpuasan atas revisi konstitusi yang memperpanjang waktu para pemimpin berkuasa. ”Jangan sampai ketika krisis melanda kita hanya berkata, ’Astaga, kenapa negara ini hancur begitu cepat?’” kata Solomon.
Sejumlah kepala negara dipastikan hadir dalam KTT, antara lain pemimpin Nigeria, Senegal selaku ketua baru Uni Afrika, dan pemimpin Kenya. Beberapa tokoh utama dipastikan absen, yakni Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa dan Presiden Uganda Yoweri Museveni. Pada Sabtu ini, Ramaphosa memberikan informasi terbaru tentang respons dan langkah Afrika terhadap pandemi Covid-19, hampir dua tahun setelah kasus Covid-19 pertama di benua itu terdeteksi di Mesir. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, hingga 26 Januari 2022 baru 11 persen dari sekitar 1 miliar warga Afrika telah divaksinasi Covid-19 secara penuh.
Para pemimpin juga akan membahas hubungan blok itu dengan Israel. Pada Juli tahun lalu, Mahamat secara sepihak menerima permintaan Israel untuk mendapat status sebagai negara pengamat di Uni Afrika. Hal itu pun memicu kritik dari Afrika Selatan, yang partai berkuasanya sangat mendukung perjuangan Palestina. Masalah itu tidak diselesaikan pada pertemuan Oktober dan sekarang akan dibahas oleh para kepala negara. Tidak jelas apakah para pemimpin akan memilih sikap atau hanya membahas masalah ini.
Nigeria, Aljazair, dan Afrika Selatan mendorong agar status Israel dicabut, menurut memo internal yang disiapkan untuk KTT. Adapun menurut seorang diplomat, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Maroko, dan Togo mendukung kehadiran Israel. Ebba Kalondo, juru bicara Kantor Ketua Komisi Uni Afrika, tidak menanggapi permintaan komentar tentang status Israel. Sharon Bar-li, Kepala Divisi Afrika di Kementerian Luar Negeri Israel, menolak berkomentar.
Beberapa diplomat khawatir sengketa Israel mungkin mengalihkan perhatian dari isu-isu mendesak seperti konflik di Etiopia dan kerusuhan di Sudan setelah kudeta pada Oktober 2021. Di luar isu politik dan kesehatan, para pemimpin juga akan membahas perubahan iklim. Perubahan iklim dinilai telah memperburuk bencana di Afrika, seperti banjir dan kekeringan. Cuaca panas dan invasi belalang dinilai semakin mengancam pasokan makanan, meningkatkan kelaparan, dan mendorong migrasi penduduk. (AFP/REUTERS)