China dan Rusia Bahas Koordinasi Strategis Bilateral
China dan Rusia sepakat mengedepankan multilateralisme dan mencegah hegemoni Barat. Rusia dan China bisa menawarkan kerja sama multirateral yang adil dan setara kepada dunia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
AP/RUSSIAN FOREIGN MINISTRY PRESS SERVICE
Dalam foto yang dirilis oleh oleh Biro Pers Kementerian Luar Negeri Rusia memperlihatkan Menlu Rusia Sergey Lavrov (kedua dari kiri), berbincang dengan Menlu China Wang Yi (ketiga dari kanan) saat menggelar pertemuan bilateral di Moskwa, Rusia pada Senin (18/9/2023).
MOSKWA, RABU - Menteri Luar Negeri China Wang Yi masih berada di Moskwa, Rusia guna melaksanakan agenda utama kunjungannya, yaitu rapat koordinasi strategis. Di bawah tekanan Barat, terutama soal invasi Rusia ke Ukraina dan perang dagang antara Amerika Serikat-China, Rusia dan China kini justru kian merapat.
Surat kabar nasional China, Global Times, melaporkan bahwa di hari Rabu (20/9/2023), Wang yang juga merupakan Ketua Komite Kebijakan Luar Negeri China bertemu dengan Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Rusia Nikolai Patrushev. Ini adalah pertemuan ke-58 konsultasi strategis China-Rusia. Mereka membahas hubungan bilateral kedua negara dan perkembangan situasi global terkini.
"Hubungan China dan Rusia sangat sehat dan terus berkembang. Kedua negara sangat mendukung penguatan multilateralisme di dunia," kata Wang.
Sebagaimana diketahui, China tidak mengecam Rusia ketika menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Akan tetapi, China menekankan pentingnya semua negara saling menghormati kedaulatan dan mendorong adanya perundingan damai guna mengakhiri peperangan. Proposal China ini pada Februari 2023 ditolak oleh Ukraina dan negara-negara Barat karena tidak memasukkan pengembalian wilayah Ukraina yang dijajah Rusia.
Sementara itu, Patrushev menuturkan kedua negara memiliki prinsip dan komitmen yang kuat untuk tidak terpengaruh tekanan dari luar. Ia juga mengatakan bahwa Rusia mendukung China menolak intervensi Barat terkait masalah internal China yang beberapa di antaranya adalah mengenai Taiwan, Xinjiang, dan Hong Kong.
AFP PHOTO/RUSSIAN FOREIGN MINISTRY/HANDOUT
Foto yang diambil pada 23 Maret 2021 ini memperlihatkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov "beradu siku" dengan mitranya Menlu China Wang Yi saat mereka menggelar pertemuan di Guilin.
Sebelum bertemu Patrushev, pada Senin (18/9) Wang bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Mereka sepakat sebagai dua anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), China dan Rusia harus menjaga keseimbangan global agar tidak terjerumus ke dalam hegemoni Barat. Rusia dan China harus bisa menawarkan kerja sama multirateral yang adil dan setara kepada dunia. (Kompas.id, 19 September 2023)
Dilansir dari kantor berita Rusia, TASS, Lavrov pada hari Rabu tiba di New York, Amerika Serikat untuk mengikuti Sidang Majelis Umum PBB. Ia dijadwalkan berpidato pada Sabtu (23/9). Sementara itu, Lavrov akan disibukkan dengan agenda 20 pertemuan bilateral.
Peneliti dari Institut Pertukaran Internasional dan Kerja Sama Yudisial Nasional China, Cui Heng, menjelaskan bahwa ketiga adidaya global, yakni China, Rusia, dan AS harus mencari cara bekerja sama. Situasi sekarang menyandera berbagai pihak di dunia untuk mengupayakan perdamaian karena ketiga pihak ini terbelah menjadi kubu-kubu yang bertentangan.
Tidak ada pilihan
Sementara itu, pakar hubungan internasional Universitas Tsinghua Wu Dahui memaparkan bahwa China memang tidak memiliki pilihan selain kian mendekat dengan Rusia. Selain berbagi perbatasan sepanjang 4.300 kilometer, kedua negara juga terisolasi saat ini.
RAMIL SITDIKOV, SPUTNIK, KREMLIN POOL PHOTO VIA AP, FILE
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping di KTT BRICS, Brasilia, Brasil, 12 November 2019.
Laporan Wu itu diterbitkan di jurnal World Affairs yang terafiliasi Kementerian Luar Negeri China. Akan tetapi, makalah itu dihapus dari laman resmi jurnal pada Selasa (19/9). Harian South China Morning Post sempat mengutip tulisan Wu dalam edisi Rabu (20/9).
Wu menjelaskan, terlepas penyusutan ekonomi, Rusia masih memiliki pengaruh global. Apalagi, mereka memiliki cadangan minyak dan gas alam terbesar di dunia serta hulu ledak nuklir terbanyak. Di bawah tekanan negara-negara Barat akibat invasi ke Ukraina, Rusia harus bekerja sama dengan negara lain yang tidak mengecam mereka.
China, lanjut laporan Wu, adalah negara yang paling diuntungkan secara ekonomi dari situasi global sekarang. Akan tetapi, kecondongan berbagai negara mulai melakukan peragaman rantai pasok membuat China harus lebih mendekat ke Rusia.