Lawatan Kim ke Rusia Berakhir, Tak Ada Transaksi Senjata
Moskwa-Pyongyang tidak menandatangani perjanjian apa pun. Tanpa perjanjian apa pun, lawatan Kim sangat kental dengan nuansa jual-beli senjata.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AP/RUSSIAN MINISTRY OF NATURAL RESOURCES AND ECOLOGY TELEGRAM CHANNEL
Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un (tengah) meninjau stasiun Khasan di Rusia pada 12 September 2023. Khasan terletak di perbatasan Rusia-Korea Utara. Foto diambil dan diedarkan oleh Kementerian Sumber Daya Alam dan Ekologi Rusia.
ARTYOM, MINGGU – Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un mengakhiri lawatannya selama satu pekan di Rusia pada Minggu (17/9/2023). Ia memulai perjalanan pulang ke Pyongyang menaiki kereta hijau antipeluru yang diperkirakan memakan waktu hingga tiga hari untuk tiba di tanah air.
Media nasional Rusia, RIA Novosty, mengabarkan, upacara pelepasan untuk Kim digelar di Stasiun Artyom 1 di Provinsi Primorsky. Dari Kota Artyom, kereta Kim harus menempuh jarak 250 kilometer menuju kota Khasan yang terletak persis di perbatasan Rusia dengan Korea Utara (Korut). Sebagai gambaran, kereta pribadi Kim sangat berat karena dilapisi baja antipeluru sehingga hanya bisa berjalan dengan kecepatan tertinggi 50 kilometer per jam. Ini sekitar setengah, bahkan sepertiga kecepatan rata-rata kereta penumpang reguler di Indonesia.
Kantor berita Rusia, TASS, menuliskan, Gubernur Primorsky Oleg Kozhemyako secara pribadi menghadiahi Kim rompi antipeluru. Rompi ini istimewa dibandingkan dengan rompi antipeluru biasa karena tidak terdeteksi sensor pemindai panas. Selain itu, Kim turut membawa pulang oleh-oleh berupa lima pesawat nirawak yang dilengkapi peledak dan satu pesawat nirawak Geran-25 yang berfungsi sebagai wahana pengintai.
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam wawancara dengan media-media Rusia mengatakan, kunjungan Kim sangat menyenangkan. ”Kim terlihat berminat dengan kemajuan teknologi satelit dan rudal kita,” tuturnya.
Walaupun begitu, dalam kunjungan Kim yang berlangsung sejak Selasa (12/9/2023), Moskwa dan Pyongyang tidak menandatangani perjanjian apa pun, termasuk nota kesepahaman. Korut berada di bawah sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu anggota tetapnya adalah Rusia. Segala jenis kerja sama ataupun transaksi yang memungkinkan Korut menambah teknologi pengayaan senjata nuklir akan dijatuhi sanksi internasional.
Tanpa perjanjian itu pun, lawatan Kim sangat kental dengan nuansa jual-beli senjata. Ia ditemani Putin berkunjung ke Pabrik Pesawat Yuri Gagarin (KNAAZ) di Komsomolsk Na Amur. Di sana, Kim melihat-lihat proses pembuatan dua pesawat tempur andalan Rusia, yakni Sukhoi-35 dan Sukhoi-57.
Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un (tengah) dan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu (kiri, berseragam militer) meninjau pameran senjata di Pyongyang, Korea Utara pada 26 Juli 2023. Foto diedarkan oleh kantor berita nasional Korut. KCNA.
Pada hari berikutnya, Kim ditemani Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu meninjau Pangkalan Udara Militer Rusia Knevichi di Vladivostok dan disusul tinjauan ke Armada Pasifik Rusia. Di Knevichi, Kim secara khusus melihat pesawat jet tempur Tupolev-160 yang dilengkapi rudal berdaya jelajah 6.500 kilometer. Ada pula rudal Kinzhal yang diangkut pesawat MiG-31 dan pertama kali digunakan dalam penyerangan ke Ukraina tahun 2022.
Dari sisi Rusia, negara ini sedang di bawah tekanan sanksi internasional akibat menginvasi Ukraina sejak 24 Februari 2022. Ukraina tanpa disangka bisa bertahan berkat bantuan dari negara-negara Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Udara (NATO). Rusia diduga ingin membeli amunisi dan artileri dari Korut sejak Menhan Shoigu berkunjung ke Pyongyang, Juli lalu.
”Pemimpin Kim menghabiskan waktu berdiskusi dengan Menhan Shoigu. Mereka bertukar gagasan mengenai koordinasi taktis dan strategis,” tulis kantor berita nasional Korut, KCNA.
Sementara kantor berita Korea Selatan (Korsel), Yonhap, menerbitkan laporan intelijen negara tersebut yang menyebutkan, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov akan membalas kunjungan kenegaraan Kim ke Pyongyang pada Oktober. Demikian pula dengan Pemerintah Provinsi Primorsky.
Menurut Yonhap, pada Oktober itu pula Korut akan mencoba meluncurkan satelit mata-mata untuk ketiga kalinya. Dua peluncuran sebelumnya pada Mei dan Agustus berakhir dengan kegagalan. Satelit meledak beberapa saat setelah diluncurkan dan puing-puingnya jatuh ke Laut China Timur. Militer Korsel mengevakuasinya.
Selain teknologi satelit dan rudal, Korsel menduga Kim juga ingin meminta bantuan berupa uang tunai dan bahan makanan dari Rusia. Pasalnya, Korut sedang dilanda krisis pangan. Pada akhir Agustus hingga awal September, Semenanjung Korea dilanda badai. Berbagai infrastruktur tua di Korut rusak parah. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan terendam banjir dan mengakibatkan gagal panen. Kim menyalahkan para menteri kabinetnya karena ”gagal mengelola negara”.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol.
Dari New York, Amerika Serikat, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol mengeluarkan pernyataan resmi. Ia dijadwalkan menghadiri Sidang Majelis Umum PBB pada Senin (18/9/2023). ”Dunia akan semakin merapatkan barisan menindak kerja sama militer Korut dengan Rusia yang ilegal dan melanggar Resolusi DK PBB,” tuturnya.
Ia menekankan, Seoul dan Washington memiliki sistem yang memungkinkan kedua negara mengambil keputusan bersama untuk membalas apabila terjadi serangan nuklir oleh Korut. Tindakan AS-Korsel ini, lanjut Yoon, akan bersifat tegas, cepat, dan efektif untuk mengakhiri rezim yang ada di Korut.
Yoon menambahkan, Korsel, AS, dan Jepang meminta agar China bertindak lebih bertanggung jawab. ”China sejatinya harus ikut serta membangun perdamaian dan kestabilan global,” ujarnya. (AP/AFP/Reuters)