AS berusaha mematahkan monopoli di segala sektor. Raksasa-raksasa teknologi, termasuk Google, incaran utamanya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU – Perusahaan raksasa teknologi Amerika Serikat, Google, menghadapi gugatan dari pemerintah federal negara tersebut. Mereka dituduh melakukan monopoli atas mesin peramban. Departemen Kehakiman mengatakan, Google setiap tahun mengucurkan dana sebesar 10 miliar dollar AS atau sekitar Rp 153,5 triliun demi menjegal saingan-saingan mereka.
Persidangan melawan Google, anak perusahaan Alphabet, berlangsung di Washington DC, mulai Selasa (12/9/2023) siang waktu setempat atau Rabu (13/9/2023) dini hari waktu Indonesia. Departemen Kehakiman AS menunjuk Kenneth Dintzer selaku jaksa penuntut umum. Google diwakili tim pengacara yang diketuai John Schmidtlein. Bertindak sebagai hakim adalah Hakim Federal Amit Mehta.
“Google mengancam masa depan perkembangan internet dan membatasi inovasi dari berbagai pihak. Semua ini karena mesin pencari atau mesin telusur (search engine) Google menjadi bawaan asali di semua situs maupun aplikasi digital,” kata Dintzer.
Ia menjelaskan, Google mengucurkan biaya 10 miliar dollar AS setiap tahun untuk membayar berbagai aplikasi peramban (browser), antara lain adalah Mozilla Firefox dan Opera untuk menjadikan Google sebagai pencari bawaan.
Hal serupa mereka lakukan terhadap Apple. Khusus untuk perusahaan yang didirikan oleh Steve Jobs ini, Google melakukan bagi hasil.
“Namun, kerja sama ini tidak melalui negosiasi yang setara, melainkan paksaan. Google mengancam meninggalkan Apple jika tidak bersedia menjadikan pencari mereka sebagai sistem asali Apple. Akibatnya, Apple tidak bisa mengembangkan mesin pencari sendiri,” papar Dintzer.
Melalui cara-cara ini, Google menguasai 90 persen pasar internet. William Cavanaugh, penuntut yang mewakili Negara Bagian Colorado, menuduh Google juga melarang mesin-mesin pencari saingan, salah satunya Microsoft, untuk bisa diakses melalui lapak penjualan daring mereka, SA360.
Menghadapi dakwaan tersebut, Google menyatakan, Pemerintah AS salah saat menyatakan mesin pencarian dan periklanan pihaknya melanggar Undang-Undang hanya karena diterima luas oleh pasar. Disebutkan, mesin pencarian sangat populer karena kualitasnya. Selain itu, pengguna yang tak puas atas layanannya tinggal menekan "beberapa klik dengan mudah".
Departemen Kehakiman mengajukan gugatan antimonopoli terhadap Google, hampir tiga tahun lalu, pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Saat ini, perusahaan induk Google, Alphabet, senilai 1,7 triliun dollar AS dan mempekerjakan 182.000 orang. Sebagian besar pendapatan mereka berasal dari periklanan, yang mencapai 224 miliar dollar AS setiap tahun, melalui jaringan layanan digital dipandu mesin pencarian.
Pesan tahun 2003
Ekonom utama Google, Hal Varian, menjadi saksi pertama yang diperiksa oleh jaksa. Dintzer membeberkan fakta bahwa pada tahun 2003, Varian mengedarkan pesan elektronik kepada seluruh karyawan agar jangan sampai membocorkan perihal cara-cara Google menjegal Microsoft agar tidak menjadi mesin pencari pilihan warganet.
Kuasa hukum Google, Scmidtlein, berargumen bahwa warganet bebas memilih memakai pencari yang mereka sukai, antara lain Yahoo, Bing, Yelp, dan Amazon. Mereka tinggal mengunduh aplikasi yang bisa diperoleh di berbagai lapak daring yang tersedia di gawai-gawai digital.
“Masalahnya, pilihan peramban itu jarang tersedia di aplikasi selancar. Warganet harus mencari dan mengunduh aplikasi terpisah dari peramban. Google juga menggunakan mahadata yang mereka kumpulkan untuk membombardir warganet dan menyetir minat mereka ke arah produk-produk sendiri,” tutur Dintzel.
Pegadilan ini dijadwalkan berlangsung selama sepuluh pekan dan dibagi menjadi dua fase. Pertama ialah bagi penuntut untuk membuktikan bahwa Google melakukan monopoli. Meskipun AS menganut sistem perekonomian kapitalis, monopoli dilarang oleh Undang-Undang karena hukum memercayai setiap pihak harus memiliki kesempatan setara dan biar pasar yang memutuskan.
Google juga menggunakan mahadata yang mereka kumpulkan untuk membombardir warganet dan menyetir minat mereka ke arah produk-produk sendiri.
Fase kedua adalah apabila Google terbukti bermonopoli, Hakim Mehta harus memutuskan hukumannya. Perkiraan hukumannya, antara lain, ialah memvonis Google menghentikan praktik monopoli atau bisa juga meminta Google menjual sejumlah aset mereka.
Kasus-kasus sebelumnya
Sidang melawan monopoli perusahaan-perusahaan besar telah banyak dilakukan di AS, Kanada, dan Uni Eropa. Pada tahun 1974, Pemerintah AS menggugat perusahaan telekomunikasi AT&T karena memonopoli saluran telepon. Berkat kemenangan pemerintah atas gugatan itu, jalan terbuka bagi perusahaan-perusahaan telekomunikasi lain yang membantu membidani kelahiran industri jaringan seluler.
Saingan terbesar Google, Microsoft yang didirikan oleh Bill Gates juga digugat pemerintah pada tahun 1998. Ketika itu, Microsoft “memaksa” perusahaan-perusahaan komputer agar sistem operasional Windows dan Internet Explorer menjadi bawaan asali di setiap gawai elektronik. Kekalahan Microsoft membuka jalan bagi Apple, Linux, dan Google untuk bersaing di pasar.
Tidak hanya di bidang internet, bidang-bidang lain juga mengalami sidang gugatan antimonopoli. Misalnya, perusahaan elektronik LG, Samsung, dan Panasonic pernah dihajar Uni Eropa pada 2012 karena menerapkan sistem bagi-bagi pasar. Raksasa-raksasa elektronik ini kongkalingkong dengan membagi pasar telepon pintar agar dikuasai merek tertentu, pasar televisi dikuasai merek lain, dan sebagainya.
Seperti dilansir dari laman Departemen Kehakiman AS, justice.gov, Perusahaan kosmetik La Roche digugat di AS pada tahun 1999 karena ketahuan memonopoli produk-produk perawatan kulit. Mereka mengatur harga untuk sejumlah vitamin dan serum sehingga perusahaan-perusahaan lain tidak bisa bersaing.
Khusus Google, pada tahun 2021-2023 mereka mengalami kekalahan di Uni Eropa dan Kanada atas tuduhan memonopoli iklan. Di Kanada, mereka juga diganjar undang-undang hak cipta karena mendulang hasil iklan dari tautan-tautan media arus utama Kanada yang dipasang di mesin pencari mereka.
Media CBC melansir, Google akhirnya berhenti menampilkan tautan-tautan berita karena tidak mau membayar royalti kepada media-media arus utama. Ini justru memicu kemarahan masyarakat Kanada karena mereka menginginkan bisa mengakses berita dengan cara-cara yang berkeadilan. (AP/REUTERS)