Tanpa Xi-Putin di KTT G20, Biden Coba Ambil Peluang Perkokoh Pengaruh AS
Presiden AS Joe Biden akan memanfaatkan absennya Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin dari KTT G20 untuk memperkuat pengaruh AS di negara-negara Selatan.
NEW DELHI, JUMAT — Pada akhir pekan ini, India akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi G20. Pertemuan puncak 19 negara plus Uni Eropa itu tidak akan dihadiri Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Meski demikian, Presiden Amerika Serikat Joe Biden yakin pertemuan tingkat tinggi G20 tetap akan menjadi forum yang efektif untuk membahas isu-isu internasional.
Saat ini, forum kerja sama multilateral negara-negara perekonomian terbesar itu masih terpecah belah dalam isu-isu yang penting dan genting, mulai dari isu perang Rusia di Ukraina hingga perubahan iklim. Xi dan Putin absen dari KTT G20 di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan dan geopolitik dengan Amerika Serikat dan India.
Tidak disebutkan alasan Xi tidak hadir. Beijing hanya menyebutkan, China akan diwakili oleh Perdana Menteri Li Qiang. Sementara Putin, yang setelah negaranya menyerang Ukraina, jarang diketahui bepergian ke luar negeri, bahkan tidak akan menyampaikan pidato melalui rekaman video pada pertemuan itu.
Baca Juga: G20 India dan Ompongnya AS
Dalam pernyataan yang disampaikan, Kamis (7/9/2023), Biden (80) menyatakan bahwa KTT G20 akan tetap berhasil meski Xi dan Putin tidak hadir. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa AS dan sekutunya adalah mitra ekonomi dan keamanan yang lebih baik ketimbang China.
G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa (UE). Forum itu merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen pendapatan domestik bruto (PDB) dunia. Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, AS, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, China, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Perancis, Turki, dan UE.
Dalam unggahannya di platform media sosial X (dahulu bernama Twitter), Biden menuliskan, dia akan fokus pada prioritas membuat kemajuan dan memberikan kontribusi bagi negara-negara berkembang dan menunjukkan komitmen AS terhadap G20 sebagai forum yang bisa mewujudkannya. Ia berharap bisa memanfaatkan ketidakhadiran Xi dan Putin untuk meningkatkan pengaruh AS.
Menurut rencana, Biden akan bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi segera setelah tiba di India dan akan berbicara dengan sejumlah pemimpin negara di sela-sela KTT G20. ”Ini akan menjadi momen penting bagi kerja sama global di saat yang kritis,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan kepada wartawan di pesawat kepresidenan AS, Air Force One.
Biden akan memanfaatkan ketidakhadiran Xi dan Putin di KTT G20 untuk meningkatkan pengaruh AS.
Namun, Sullivan mengakui para pemimpin belum menyepakati pernyataan final KTT G20. Tanpa pernyataan final itu, KTT G20 bisa dianggap gagal.
Sullivan menuding China berusaha ”menyandera isu iklim” dengan menghubungkan kesepakatan mengenai masalah ini dengan isu lain. Dia menegaskan, AS tidak akan larut dan terpengaruh upaya China itu. ”Masih ada waktu sebelum komunike akhir diumumkan ke publik atau disepakati para pemimpin,” ujar Sullivan.
Baca Juga: G20 Gagal Sepakati Skema Restrukturisasi Utang untuk Negara Miskin
Wakil Direktur Global China Hub pada lembaga kajian Atlantic Council, AS, Colleen Cottle, menilai China akan rugi besar jika Xi tidak hadir di KTT G20. Sebab, hal itu akan memberikan peluang besar kepada pemerintahan Biden untuk meningkatkan pengaruhnya di negara-negara Selatan. Para pemimpin AS, India, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab disebutkan sedang berupaya menyelesaikan kesepakatan infrastruktur bersama yang akan diumumkan di New Delhi.
Pejabat di Gedung Putih mengatakan, Biden secara khusus akan menekankan usulan untuk meningkatkan daya pinjaman Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) kepada negara-negara berkembang dan berpendapatan menengah sekitar 200 miliar dollar AS atau Rp 3 kuadriliun sebagai alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China. AS memandang BRI itu sebagai ”kuda troya” bagi pembangunan regional dan ekspansi militer China.
AS senantiasa mengkritik praktik pemberian pinjaman China di bawah payung BRI itu sebagai inisiatif yang bersifat memaksa. Upaya infrastruktur senilai 1 triliun dollar AS yang memberikan bantuan pinjaman China kepada negara-negara miskin sering kali disertai dengan ikatan yang membatasi restrukturisasi utang dengan negara-negara kreditur besar lainnya.
Baca Juga: Kepresidenan G20 India dan Relevansinya dengan ASEAN
China juga disebutkan sering kali memiliki hak untuk meminta pembayaran kembali kapan saja sehingga memberikan China pengaruh terhadap negara lain. Analisis kantor berita Associated Press (AP) baru-baru ini mengenai belasan negara yang paling berutang budi kepada China, termasuk Pakistan, Kenya, Zambia, Laos, dan Mongolia, menemukan bahwa pembayaran kembali utang dalam skema BRI menghabiskan jumlah pendapatan pajak yang semakin besar.
Negara-negara tersebut, dalam analisis AP, memiliki 50 persen pinjaman luar negeri dari China. Sebagian besar dari negara-negara itu menghabiskan lebih dari sepertiga pendapatan pemerintah untuk melunasi utang luar negeri.
Oleh karena itu, kata Sullivan, upaya untuk meningkatkan kapasitas pinjaman Bank Dunia dan IMF akan memberikan alternatif yang kredibel terhadap China. Biden memasukkan 3,3 miliar dollar AS untuk kedua institusi itu dalam permintaan anggaran tambahan yang telah dia kirimkan ke Kongres AS.
Washington mengatakan, dana itu akan membantu memanfaatkan hampir 50 miliar dollar AS dari AS saja dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara berpendapatan menengah dan miskin dan hingga 200 miliar dollar AS di seluruh dunia. ”Harus ada opsi pinjaman berstandar tinggi dan tidak bersifat memaksa yang tersedia bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah,” ujar Sullivan.
Namun, ketidakhadiran Xi dan Putin menunjukkan adanya perpecahan di G20. Hal ini bisa menghambat upaya Biden untuk mempertahankan blok itu sebagai forum utama kerja sama ekonomi global.
Sullivan mengatakan, AS ingin menunjukkan G20 bisa mewujudkan hal itu pada saat kelompok negara-negara berkembang yang tergabung dalam BRICS—mencakup India, tetapi sebagian besar didukung China dan Rusia—sedang berkembang.
Baca Juga: Globalisasi yang Berpusat pada Kemanusiaan
Meski tampak ”ribut” terus, pada saat yang bersamaan AS juga berupaya memperbaiki hubungannya dengan China. Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo, yang baru saja kembali dari China, adalah pejabat pemerintahan terbaru yang melibatkan Beijing di tengah perselisihan mengenai teknologi, keamanan, Taiwan, dan masalah pelik lainnya.
Raimondo mengatakan, dunia mengharapkan AS dan China mengelola hubungan bilateral secara bertanggung jawab. Tujuan Pemerintah AS adalah memiliki hubungan ekonomi yang stabil dan ada keterlibatan yang konsisten. ”Harus ada komunikasi dua arah dan dari komunikasi barulah bisa mengarah ke tindakan,” ujarnya.
Momentum India
Di sisi lain, India juga akan memanfaatkan kesempatan KTT G20 ini untuk meningkatkan kekuatan diplomatik India dan mencoba menyelesaikan persoalan geopolitik. Modi akan berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan Xi dan Putin. Untuk kepentingan domestik di negaranya, Modi akan kembali mencalonkan diri dalam pemilu awal tahun depan.
Hanya saja, hal itu dinilai tidak akan mudah. Bahkan, bisa saja tidak tercapai kesepakatan akhir KTT G20 karena ada isu Rusia-Ukraina yang mengganjal. Belum lagi isu penghapusan bahan bakar fosil dan restrukturisasi utang.
KTT G20 ini pun seakan menjadi ”wajah” Modi. Wajah pemimpin India itu terpampang di mana-mana, seperti di poster, spanduk, dan baliho. Ketika berada di negara-negara lain, seperti saat hadir di KTT Ke-43 ASEAN, Modi juga menyampaikan slogan-slogan, seperti pembangunan, lapangan kerja, dan ”memberikan suara kepada negara-negara Selatan”.
Modi juga menyatakan ingin memperluas G20 menjadi G21 dengan memasukkan Uni Afrika sebagai anggota tetap. Analis Asia di Unit Intelijen Ekonom mengatakan, India akan berusaha menjadi suara yang kredibel yang dapat memfasilitasi dialog antara belahan dunia Utara dan Selatan.
Baca Juga: Polarisasi G20 Berlanjut di Presidensi India
Modi telah mencoba memanfaatkan G20 untuk membangun konsensus di antara negara-negara utama dalam upaya mereformasi lembaga-lembaga multilateral global, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk memberikan suara yang lebih kuat kepada negara-negara berkembang, seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan.
Namun, karena China nanti akan diwakili PM Li Qiang—bukan Xi—belum jelas apa yang nanti bisa disepakati. Modi sudah mendesak para pemimpin G20 untuk menghindari perpecahan dalam mengatasi isu-isu penting dunia, termasuk restrukturisasi utang global dan guncangan harga komoditas setelah invasi Rusia. Upaya itu tidak berhasil dalam pertemuan tingkat menteri menjelang KTT G20.
Pertemuan para menteri energi G20 pada Juli lalu gagal menyepakati peta jalan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Mereka bahkan tidak menyebutkan batubara, bahan bakar kotor yang masih menjadi sumber energi utama bagi negara-negara, seperti India dan China.
Ketidakhadiran Xi juga akan berdampak pada upaya AS untuk mempertahankan G20 sebagai forum utama kerja sama ekonomi global dan upayanya untuk mendorong pendanaan bagi negara-negara berkembang. ”Tanpa campur tangan China, permasalahan mungkin tidak akan benar-benar bisa terungkap atau mencapai kesimpulan logis apa pun,” kata Guru Besar Politik di Universitas Jawaharlal Nehru di India, Happymon Jacob.
Baca Juga: Dunia Hadapi Trilema, Kerja Sama Global Mutlak
AS telah berupaya keras memperkuat hubungan dengan India. Hubungan AS-India akan menjadi sangat penting dalam beberapa dekade mendatang. Dua negara itu sedang menghadapi pengaruh China. Selain itu, ada isu-isu penting lainnya, seperti perubahan iklim, kecerdasan buatan, dan ketahanan rantai pasokan.
Selepas menghadiri KTT G20 di India, Biden akan melanjutkan lawatan ke Vietnam dan bertemu dengan Sekretaris Jenderal Vietnam Nguyen Phu Trong di Hanoi, Minggu. Keduanya diperkirakan akan mengumumkan rencana untuk mempererat kerja sama ekonomi.
Upaya AS ini juga dilihat sebagai upaya menandingi pengaruh China. Vietnam dan China mempunyai hubungan perdagangan yang kuat, tetapi juga terdapat perbedaan yang mendalam. Vietnam, seperti halnya Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Brunei Darussalam, mengalami ketegangan teritorial selama beberapa dekade terakhir dengan China terkait klaim perairan di Laut China Selatan. (REUTERS/AFP/AP)