Semua negara dinilai tengah menghadapi trilema energi yang semakin kompleks. Kerja sama global, riset dan inovasi, serta implementasi yang kokoh mutlak untuk mencapai membatasi pemanasan suhu 1,5 derajat celsius.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
NEW DELHI, KOMPAS — Semua negara di dunia dinilai menghadapi cengkeraman trilema energi yang kompleks, yakni terkait ketahanan dan keterjangkauan energi, serta kelestarian lingkungan. Sayangnya, fokus tiap negara berada di jalur transisi energi yang berbeda karena perbedaan tingkat ekonomi dan tantangan sosial.
Kerja sama global, riset dan inovasi, serta implementasi menjadi kunci menggapai target transisi energi. Hal itu terutama bagi negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan terkait kesiapan teknologi, pendanaan, kelayakan ekonomi (economic of scale), serta akses dan infrastruktur yang belum terintegrasi.
Demikian poin yang mengemuka dalam salah satu sesi dialog pada Sustainability Summit ke-18 yang digelar Konfederasi Industri India (CII) di New Delhi, India, Selasa (22/8/2023) sore. Forum itu menjadi rangkaian kegiatan Business 20 (B20) dalam Kepresidenan G20 India 2023. B20 merupakan forum dialog G20 yang mempertemukan komunitas bisnis global.
Deputy Director General International Renewable Energy Agency (IRENA) Gauri Singh menyatakan, kendati investasi global dalam teknologi transisi energi mencapai rekor baru pada tahun lalu, investasi yang dibutuhkan masih jauh lebih besar. Upaya mendatangkan investasi di sektor energi juga menjadi tantangan besar bagi negara-negara berkembang.
Pada pratinjau Proyeksi Transisi Energi Dunia 2023, IRENA menyebut, investasi global dalam teknologi transisi energi mencapai 1,3 triliun dollar AS pada tahun 2022. Namun, investasi tahunan harus lebih dari 5 triliun dollar AS dan kumulatifnya mencapai 44 triliun dollar AS pada tahun 2030 agar tetap berada di jalur target membatasi pemanasan maksimal 1,5 derajat celsius.
Kolaborasi
Selain pendanaan, tantangan yang dihadapi dunia dalam menggapai target emisi bersih dan menekan pemanasan global makin kompleks beberapa tahun terakhir. Pandemi Covid-19 membawa kejutan besar pada permintaan energi dan rantai pasok global tahun 2020.
Ketegangan geopolitik juga berdampak besar pada pasar energi global. Volatilitas harga, kekurangan pasokan, dan ketidakpastian ekonomi berkontribusi pada krisis energi global. Situasi itu membuat sejumlah negara menggeser fokus jangka pendeknya pada ketahanan energi.
Senior Vice President Riset dan Inovasi Teknologi PT Pertamina (Persero) Oki Muraza menambahkan, perbedaan tingkat pembangunan ekonomi dan tantangan sosial membuat fokus antarnegara berbeda di jalur transisi energi. Negara maju lebih fokus pada isu keberlanjutan, sementara negara berkembang lebih fokus pada isu keamanan dan keterjangkauan energi. Dua hal terakhir penting karena menjadi katalis pertumbuhan ekonomi.
”Jika dilihat dari emisi CO2 (karbon dioksida) per kapita anggota G20, negara maju berkontribusi di atas rata-rata global 4,5 ton emisi CO2 per kapita, sementara emisi CO2 India dan Indonesia yang mewakili negara berkembang masih di bawah 2,5 ton per kapita. Kendati mengeluarkan emisi karbon lebih kecil, populasi, ekonomi, dan ekosistem di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah menderita karena dampak pemanasan global,” ujarnya.
Dengan ketimpangan itu, kerja sama global dinilai mendesak dan mutlak. Menurut Oki, Indonesia memerlukan dukungan finansial untuk membawa teknologi bersih ke tingkat maturity, mendukung regulasi insentif pada produk-produk terbarukan, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
Selama ini, melalui kerja sama global, Indonesia telah merasakan beberapa tindakan nyata untuk mempercepat proyek dekarbonisasi, mulai dari penelitian hingga implementasi. Pertamina, misalnya, mendapat dana hibah dari Jepang untuk mendukung proyek penangkapan, utilisasi, serta penyimpanan karbon (CCUS) dan solusi berbasis alam.
Selama ini, melalui kerja sama global, Indonesia telah merasakan beberapa tindakan nyata untuk mempercepat proyek dekarbonisasi, mulai dari penelitian hingga implementasi.
Selain pengembangan bahan bakar nabati/biofuel, penerapan CCUS menjadi langkah Pertamina mengupayakan dekarbonisasi operasional migas. Teknologi CCUS dinilai menjadi penggerak (enabler) yang dapat meningkatkan produksi migas sekaligus menekan emisi gas rumah kaca secara signifikan.
”Pengolahan kilang Pertamina menggunakan bahan baku berupa feedstock terbarukan, seperti RBDPO (minyak sawit) dan UCO (minyak jelantah), untuk menghasilkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Kami juga ingin mengimplementasikan bioetanol dengan berbagai bahan baku, termasuk dari limbah kelapa sawit,” tambah Oki.
Chief Strategy Officer and Sustainability Services Lead and Growth Markets Accenture Valentin de Miguel, dalam forum yang sama menyatakan, terkait transisi energi, baik negara maju maupun berkembang menghadapi problem yang sama. Hasil diagnosis dan solusinya telah tersedia. Kini tantangannya ada pada bagaimana implementasi. ”Sayangnya, saat ini adalah dekade eksekusi, jadi kita harus benar-benar mengatasi tantangan itu,” ujarnya.
Menurut Valentin, teknologi dibutuhkan untuk mengejar target membatasi pemanasan suhu Bumi. Saat ini banyak teknologi sedang dikembangkan dan beberapa teknologi, seperti hidrogen, CCUS, dan penggunaan bahan bakar alternatif diperlukan untuk menekan emisi.