G20 Gagal Sepakati Skema Restrukturisasi Utang untuk Negara Miskin
Negara-negara G20 gagal mencapai terobosan upaya restrukturisasi utang negara rentan. Keberhasilan Zambia tidak disepakati sebagai peta jalan restrukturisasi utang.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
NEW DELHI SELASA — Kegagalan G20 menemukan terobosan untuk merestrukturisasi utang negara-negara rentan telah menimbulkan keprihatinan serius. Situasi global yang saat ini penuh tekanan, terutama karena tidak optimalnya pemulihan ekonomi pascapandemi akibat perang Ukraina yang berkepanjangan, membuat tantangan menjadi semakin kompleks.
”Sejauh ini, negosiasi menteri keuangan dan gubernur bank sentral belum benar-benar mencapai terobosan soal utang dan restrukturisasi utang. Ini jelas sangat memprihatinkan,” kata Kepala Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Achim Steiner, Senin (17/7/2023).
Sejauh ini, negosiasi menteri keuangan dan gubernur bank sentral belum benar-benar mencapai terobosan soal utang dan restrukturisasi utang.
UNDP telah mengeluarkan desakan kepada para menteri keuangan G20 untuk memberikan jeda pembayaran utang bagi negara-negara miskin. Lonjakan inflasi akibat kenaikan harga minyak dan pangan dunia telah menyebabkan 1,65 miliar warga dunia atau 20 persen total penduduk dunia hidup sangat terbatas.
Mereka hanya memiliki uang sekitar 3,65 dollar AS atau Rp 54.732 per hari. Uang itu dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama makan.
”Jadi, pilihan bagi Anda (para menteri keuangan) adalah mengembangkan kerangka kerja bersama untuk memungkinkannya menjadi kendaraan (restrukturisasi utang) atau Anda menyesuaikan mekanisme lain,” kata Steiner.
Kerangka kerja bersama atau common framework adalah platform yang dibentuk oleh G20 selama pandemi untuk mempercepat penyelesaian utang dan menyederhanakan proses pemulihan negara-negara yang kesulitan untuk membayar utangnya. Steiner mengatakan, meski pembiayaan masih menjadi aktivitas keuangan yang terus didorong, tidak ada hal yang bisa membantu negara-negara kreditor mendapatkan keringanan utang seperti yang diharapkan.
Diskusi soal restrukturisasi utang oleh negara-negara anggota G20 dinilai tidak menghasilkan kemajuan yang diharapkan. Blok tersebut tidak bisa mengatasi perbedaan utama dalam pertemuan di Gandhinagar, Gujarat, India, Senin (17/7/2023).
Tingkat kehadiran negara anggota yang rendah juga mengakibatkan diskusi itu stagnan dan kurang berkembang. ”Kami tidak membuat banyak kemajuan dengan masalah restrukturisasi utang,” kata seorang pejabat senior yang ikut dalam pertemuan kepada Reuters, Senin.
Pertemuan di Gandhinagar itu salah satunya adalah memfasilitasi restrukturisasi utang negara miskin dan berkembang yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. India mencoba mengambil model restrukturisasi utang Zambia senilai lebih dari 6,3 miliar dollar AS.
India, bersama AS, menilai negosiasi restrukturisasi utang Zambia yang memakan waktu setahun bisa menjadi cetak biru tindakan yang sama untuk negara lain. Dalam pandangan India, pemegang presidensi G20 2023, Ghana dan Sri Lanka adalah dua negara yang paling membutuhkannya karena keduanya gagal membayar utang mereka tahun lalu.
Ghana dan Sri Lanka adalah dua negara yang paling membutuhkannya karena keduanya gagal membayar utang mereka tahun lalu.
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen, dikutip dari laman New York Times, mengatakan, keberhasilan Zambia dan China menyelesaikan hal ini bisa menjadi landasan bagi pembicaraan yang sama antara kreditor dan debitor lain.
”Kita harus menerapkan prinsip-prinsip umum yang kita sepakati dalam kasus Zambia dalam kasus lain daripada mulai dari nol setiap saat. Dan, kita harus bertindak cepat,” kata Yellen, yang hadir di India.
Akan tetapi, tidak semua negara sepakat menggunakan model Zambia sebagai cara restrukturisasi utangnya. Pada saat yang sama, para pemberi utang tidak mau berbicara mengenai kemungkinan memberikan pinjaman baru. Sebab, mereka juga menghadapi tantangan internal, terutama persoalan ekonomi di dalam negeri.
Pertemuan di Gandhinagar itu hanya diikuti 13 menteri keuangan. Negara-negara yang mengirimkan menteri keuangannya antara lain Jepang, Australia, Kanada, Korea Selatan, Indonesia, Afrika Selatan, AS dan India.
Adapun Argentina, Brasil, Perancis, dan Meksiko hanya mengirimkan pejabat tingkat yuniornya. Menteri Keuangan Jerman dan Inggris juga tidak hadir. Sementara Kepala Bank Sentral Jerman Joachim Nagel hadir dalam kegiatan itu.
Pejabat lain yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan, ketidakhadiran sejumlah menteri keuangan negara anggota G20 membuat potensi pengambilan konsensus akan terhambat. ”Dengan tidak adanya perwakilan menteri, pejabat (yunior) yang mewakili menyatakan bahwa mereka harus kembali dan berkonsultasi dengan menteri mereka,” katanya.
Yellen menyebut bahwa lebih dari setengah jumlah negara berpenghasilan rendah berada dalam kesulitan keuangan yang masif. Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan pada 2015. (AP/AFP/REUTERS)