”Kenaikan utang ini bukan karena buruknya pengelolaan keuangan negara, tetapi karena kejutan sistemik yang memukul banyak negara,” kata Grynspan.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·6 menit baca
AFP/DANIEL MUNOZ
Mata uang pecahan 100 dollar AS difoto di atas lembaran mata uang euro di Bogota, Kolombia, 12 Juli 2022.
Utang negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dalam denominasi dollar AS mencapai 70-85 persen. Utang negara-negara kelompok tersebut rentan terhadap apresiasi dollar AS dan kenaikan suku bunga. Ancaman serupa berlaku bagi negara-negara berkembang secara umum. Dunia di ambang badai utang kelima sejak 1970-an.
Khusus tentang utang negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, Sekretaris Jenderal Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) Rebeca Grynspan memberikan pemaparan, 6 Desember 2022, di Geneva, Swiss. Menurut Grynspan, setidaknya 88 negara telah mengalami depresiasi mata uang lokal terhadap dollar AS. Dari 88 negara itu, 33 negara mengalami depresiasi mata uang lokal lebih dari 10 persen terhadap dollar AS. Akibatnya, beban utang meningkat hanya karena apresiasi dollar AS.
Kenaikan beban utang akibat apresiasi dollar AS setara dengan pengeluaran pemerintah tahunan untuk layanan kesehatan dan ini pada umumnya terjadi di negara-negara Afika. Situasi itu telah mengorbankan kesempatan untuk pembangunan berkelanjutan di sejumlah negara.
Sepanjang 2019 sampai 2021 saja, ada kenaikan utang di lebih dari 100 negara berkembang sebesar hingga 2 triliun dollar AS. ”Kenaikan ini bukan karena buruknya pengelolaan keuangan negara, melainkan karena kejutan sistemik yang memukul banyak negara,” kata Grynspan. Kejutan sistemik itu merujuk pada efek pandemi Covid-19, gangguan rantai pasok global.
Berikutnya muncul kenaikan inflasi dan kenaikan tajam suku bunga global. Hal ini mencuatkan krisis utang baru karena ada beban utang baru. Terjadi pengurasan keuangan publik untuk membayar utang luar negeri, khususnya di negara-negara berkembang yang sangat membutuhkan investasi di bidang pendidikan, layanan kesehatan, perekonomian, dan biaya pelestarian lingkungan hidup.
BLOOMBERG
Proyeksi suku bunga The Fed
UNCTAD memperkirakan, rata-rata kenaikan suku bunga utang global yang terjadi sejak 2019 akan menyebabkan tambahan utang baru 1,1 triliun dollar AS pada 2023. Jumlah ini kurang lebih setara dengan empat kali dari jumlah dana investasi yang diperlukan untuk biaya pelestarian lingkungan dan mitigasi di negara-negara berkembang sebesar 250 miliar dollar AS.
Hambat progam
”Utang tidak seharusnya menjadi penghalang untuk meraih Agenda 2030 dan penyelamatan iklim global yang sedang dibutuhkan dunia,” kata Grynspan. Agenda 2030 merupakan program PBB untuk perdamaian dan kemakmuran manusia serta kelestarian alam sekarang dan di masa depan.
UNCTAD meluncurkan data 20 negara yang paling parah terpukul beban utang. Somalia, misalnya, menghabiskan 96,8 persen penerimaan negara untuk membayar cicilan utang pokok dan bunganya. Sri Lanka menghabiskan 58,8 persen penerimaan negara untuk membayari cicilan utang pokok dan bunganya.
Untuk itu, UNCTAD mengadvokasi penciptaan kerangka multilateral untuk restrukturisasi dan keringanan utang negara-negara berkembang. Kerangka ini dikembangkan G20 yang dikenal dengan Common Framework. ”Kita harus mendukung seruan UNCTAD untuk reformasi moneter internasional dan pengelolaan keuangan,” kata Presiden Bolivia Luis Acre yang disampaikan lewat Menteri Keuangan Marcelo Montenegro.
Montenegro menyerukan penelaahan arsitektur keuangan internasional, termasuk pemecahan krisis utang yang mendorong perundingan antara debitor dan kreditor terkait restrukturisasi utang. Selama ini umum terjadi, jika satu negara gagal bayar utang, terminologi restrukturisasi biasanya ditentukan kreditor. Terminologi restrukturisasi kurang memberikan prioritas pada kepentingan pembangunan berkesinambungan bagi negara-negara berkembang.
”Untuk mengatasi isu ini secara berimbang, diperlukan pemikiran agar para debitor tetap mampu tumbuh secara ekonomi sembari bisa melanjutkan kewajiban pembayaran utang di masa depan,” kata Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe lewat pernyataan yang disampaikan Duta Besar Sri Lanka untuk PBB di Geneva Gothami Silva. ”Saya yakin PBB merupakan tempat terbaik untuk mencapai solusi atas masalah tersebut,” kata Silva dalam seminar tiga hari yang diselenggarakan UNCTAD, 5-7 Desember 2022, di Geneva.
Seruan serupa disampaikan Belize. ”Arsitektur keuangan global menghambat program pencapaian pembangunan dan pelestarian lingkungan tepat waktu,” kata Menkeu Belize Christopher Coye.
Menkeu Barbados Ryan Staughn mengatakan, dunia harus mencari solusi agar negara-negara berkembang bisa merespons program tanpa terjebak masalah. ”Saya tidak perlu menyampaikan pada Anda perbedaan membangun sekolah atau poliklinik dengan bandara dan pelabuhan,” kata Staughn.
Badai utang kelima
LEON NEAL/POOL PHOTO VIA AP
Presiden Bank Dunia David Malpass disambut Presiden Joko Widodo saat upacara pembukaan KTT G20 di Nusa Dua, Bali, 15 November 2022.
Perihal utang negara-negara berkembang ini juga menjadi peringatan Presiden Bank Dunia David Malpass. Di New York, 6 Desember, Malpass mengingatkan bahwa utang luar negeri negara-negara berkembang pada umumnya dalam satu dekade terakhir telah naik dua kali lipat menjadi 9 triliun dollar AS pada 2021. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak negara meminjam lebih banyak.
Malpass mengatakan, situasi itu membuat negara-negara berkembang berpotensi menghadapi krisis utang yang semakin berat. Malpass mengatakan, dunia kini berpotensi menghadapi badai utang kelima setelah badai utang yang pernah muncul pada 1970-an, 1990-an, 2002, dan 2010.
Pendekatan komprehensif dibutuhkan untuk menurunkan beban utang dan fasilitasi restrukturisasi sehingga negara-negara dapat melakukan program pembangunan dan penurunan kemiskinan.
Menandai gelombang kelima ini, banyak negara yang telah menghadapi atau berisiko menghadapi tekanan utang akibat kenaikan inflasi dan kenaikan suku bunga global. Hal itu akan diperburuk lagi dengan penurunan tajam pertumbuhan ekonomi global pada 2022 dan potensi resesi global pada 2023.
Masalah utama terbaru adalah akibat kebijakan pengetatan moneter global yang pertama kali serentak terjadi di seluruh dunia dalam 50 tahun terakhir. Solusi tidak saja diperlukan oleh negara-negara termiskin. ”Pendekatan komprehensif dibutuhkan untuk menurunkan beban utang dan fasilitasi restrukturisasi sehingga negara-negara dapat melakukan program pembangunan dan penurunan kemiskinan,” kata Malpass.
Negara-negara berkembang berada dalam situasi pelik karena akan kesulitan mengakses aliran listrik, pupuk, makanan, dan modal dalam waktu yang lebih lama. Penurunan investasi, di sisi lain, akan menghambat pertumbuhan di masa depan.
Bank Dunia menyebutkan, negara-negara termiskin dunia penerima bantuan resmi pemerintahan (International Development Association/IDA) menghadapi situasi lebih pelik. Penerima IDA tersebut kini rata-rata menghabiskan sepersepuluh dari penerimaan ekspor untuk membayari utang luar negeri pemerintah, porsi terbesar sejak tahun 2000. Situasi lebih ekstrem dihadapi sejumlah negara penerima IDA.
Sangat mendesak
AP PHOTO/MICHAEL SOHN
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva dalam wawancara dengan kantor berita The Associated Press di Berlin, Jerman, 29 November 2022.
Utang luar negeri negara-negara penerima IDA naik tiga kali lipat dalam satu dekade hingga 2021. ”Di permukaan, indikator-indikator utang dunia membaik pada 2021, tetapi ini tidak terjadi pada negara-negara penerima IDA,” kata Malpass.
Situasi ini mendorong Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva meminta China untuk bersedia meringankan utang negara miskin dan berkembang. Tekanan utang bagi negara-negara berkembang amat memprihatinkan. Hal ini sudah ditandai dengan kebangkrutan keuangan di sejumlah negara.
Perdana Menteri China Li Keqiang, di Huangshan, Provinsi Anhui, 9 Desember, dalam sebuah pertemuan yang dihadiri Malpass, Georgieva, dan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala, serta Sekjen Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) Mathias Cormann, berkata China siap mengimplementasikan inisiatif G20 untuk restrukturisasi utang negara berkembang.
Masalahnya solusi atas utang ini tidak mungkin hanya dibebankan pada China. Solusi juga harus muncul dari Eropa dan AS, yang ironisnya menjadi episentrum krisis global pada 2023. Menambah pelik masalah adalah ketegangan geopolitik AS, yang turut megacaukan kolaborasi global, termasuk dalam relasi AS dan Eropa dengan Rusia. (REUTERS/AP/AFP)