ASEAN Lebih Prioritaskan Agenda Ekonomi
Kredibilitas ASEAN luruh di mata banyak warganya karena isu-isu yang digarap sangat elitis dan tidak menyentuh akar permasalahan, terutama soal politik dan keamanan. Isu ekonomi jadi fokus karena menguntungkan.
Beberapa warga ASEAN, dua asal Filipina dan satu lagi dari Indonesia, Jumat (11/8/2023), mencoba masuk ke dalam Gedung Sekretariat ASEAN di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Gilbert Andres, Romel Bagares, dan Shaleh Al Ghifari, ketiganya adalah pengacara hak asasi manusia. Mereka semula berencana menemui Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn untuk menyerahkan petisi agar Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara itu membentuk mekanisme pengaduan individu dan misi pencarian fakta atas dugaan kejahatan kemanusiaan dan perang di Myanmar.
Petisi ini menyusul laporan baru dari Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (IIMM) yang menyatakan terdapat bukti kuat bahwa militer Myanmar telah melakukan tiga jenis kejahatan perang yang semakin sering. Militer menargetkan warga sipil secara tidak pandang bulu atau tidak proporsional dengan menggunakan senjata bom, pembunuhan terhadap warga sipil atau kombatan yang ditahan selama operasi, termasuk dalam eksekusi massal, dan pembakaran tempat tinggal warga sipil dan bangunan sipil lainnya dalam skala besar dan disengaja.
Ketiganya mewakili pengadu utama, Salai Za Uk, Wakil Direktur Organisasi Hak Asasi Manusia Chin (CHRO). Za Uk, yang seharusnya saat itu bisa hadir langsung untuk menyerahkan petisi, mendesak ASEAN untuk mendirikan kantor permanen utusan mereka untuk Myanmar. Dia menilai, kebijakan ASEAN yang hanya memantau kejadian di Myanmar dari jauh tidak akan berefek apa-apa bagi junta militer Myanmar.
Baca Juga: Indonesia, Myanmar, dan ASEAN
”Kebijakan ’pintu putar’, di mana ada utusan baru ASEAN setiap tahun, membuat junta bisa mengendalikan ASEAN. ASEAN perlu hadir secara permanen di Myanmar, memantau situasi di sana dalam jangka panjang, melacak kejahatan, dan menghasilkan ide-ide inovatif untuk mendorong keadilan, perdamaian, dan stabilitas,” katanya.
Khin Ohmar, aktivis HAM Myanmar dan penyintas kekejaman militer terhadap gerakan demokrasi tahun 1988, mendukung petisi ini. Militer Myanmar menikmati impunitas menyeluruh selama puluhan tahun atas kejahatan berat yang semakin diperkuat oleh kelambanan ASEAN dan PBB, sementara mekanisme peradilan dalam negeri semuanya telah dipersenjatai oleh militer.
”Hanya dengan meminta pertanggungjawaban militer, kekejaman dapat dihentikan. Sudah saatnya ASEAN dan komunitas internasional memperbaiki tindakan mereka dan mengambil tindakan untuk mencapai keadilan dan akuntabilitas bagi rakyat Myanmar,” katanya.
Satu ASEAN
Posisi dan sikap berbeda di antara anggota ASEAN dalam menyikapi persoalan Myanmar sudah lama terbaca. Negara-negara yang memiliki kedekatan geografis dan emosional cenderung memilih tidak bereaksi keras terhadap kudeta militer Myanmar, 1 Februari 2022. Sebaliknya, negara-negara yang cenderung demokratis, seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina, bereaksi cukup keras terhadap kudeta tersebut.
Ketidaksamaan pandangan di antara negara-negara ASEAN juga tecermin dalam keputusan yang diambil pemegang jabatan keketuaan ASEAN. Pemimpin Kamboja yang baru saja lengser, Hun Sen, misalnya, memilih bertemu dengan pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing di Naypidaw, Myanmar. Banyak pihak menganggap kunjungan ketua ASEAN saat itu sebagai sebuah pengakuan resmi ASEAN terhadap junta.
Tindakan sendiri juga diambil oleh Thailand pada masa pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai mengundang perwakilan junta ke Bangkok untuk berbicara dalam Forum ASEAN meski acara itu tak dihadiri seluruh anggota ASEAN. Dalam komunike bersama Menteri Luar Negeri ASEAN yang dikeluarkan pada 13 Juli 2023, kesatuan ASEAN ditegaskan kembali. Komunike menekankan semua upaya yang dijalankan oleh anggota ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan Myanmar harus mendukung, selaras dengan Lima Poin Konsensus (5PC) dan dengan koordinasi ketua ASEAN, dalam hal ini Indonesia, ketua bergilir tahun 2023.
5PC yang dibuat oleh para pemimpin ASEAN di Jakarta, 24 April 2021, dan dihadiri Hlaing, dalam pandangan Kantor Utusan Khusus Ketua ASEAN tak ada yang dilaksanakan. Meski ada penundaan pemilihan umum, hal itu dibarengi dengan perpanjangan masa darurat militer yang artinya konflik terbuka antara junta dan warga sipil terus berlanjut.
Baca Juga: Isu Myanmar Belah ASEAN
Berdasarkan data Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Hak Asasi Manusia di Myanmar Thomas Andrews saat berkunjung ke Jakarta pada Juni 2023, lebih dari 58.000 rumah, sekolah, dan berbagai fasilitas kesehatan luluh lantak. Diperkirakan 1,5 juta warga Myanmar mengungsi dari rumah mereka, baik di dalam negeri maupun di negara tetangga.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berulang kali menyatakan, masalah Myanmar tidak boleh menyandera kerja-kerja ASEAN untuk memberikan kemakmuran bagi warganya. Namun, ketika persoalan Myanmar tidak bisa diselesaikan, bukankah pembangunan di negara itu tersendat atau bahkan terhenti? Bukankan ini akan menimbulkan kesenjangan antara Myanmar dan anggota ASEAN lainnya?
I Gede Ngurah Swajaya, Staf Khusus Menlu Bidang Diplomasi Kawasan, pernah menyebut Kantor Utusan Khusus Ketua ASEAN untuk Myanmar akan mengkaji isi 5PC yang macet itu dan mencari jalan alternatif agar masalah Myanmar bisa selesai. Kajian itu nantinya akan menjadi titik tolak bagi orang-orang yang bekerja untuk menangani masalah Myanmar ketika Laos memegang keketuaan ASEAN tahun 2024.
Akan tetapi, banyak yang meragukan apakah Laos bisa memecahkan masalah Myanmar yang pelik. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung RI dan mantan Ketua Tim Pencari Fakta untuk Myanmar, mengatakan, sudah pada tempatnya jika ASEAN mengambil langkah yang lebih tegas terhadap Myanmar. Salah satunya dengan mengakui Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) Myanmar sebagai pemerintahan yang sah di negara itu karena ASEAN tidak mengakui junta sebagai pemerintahan Myanmar.
Selain itu, terbuka peluang untuk menyelidiki lebih lanjut soal dugaan pelanggaran HAM, seperti laporan dari Thomas Andrews. ”ASEAN seharusnya merasa dirugikan juga karena kualifikasi genosida menjadi awan gelap di atas ASEAN. Ini harus dihalau,” katanya.
Baca Juga: Membenahi Halaman Depan
Negara-negara anggota ASEAN tidak hanya berjalan sendiri-sendiri dalam menyikapi soal Myanmar. Negara anggota menyikapi perkembangan di Laut China Selatan, mulai dari adanya AUKUS, pendirian beberapa basis militer Amerika Serikat di Filipina, hingga yang terbaru soal peta baru wilayah teritorial China. Yang terakhir disebut-sebut, AS bahkan akan mendirikan basis militer di pulau paling utara yang dekat dengan Taiwan. Tarikan antara Rusia dan China di satu sisi serta AS, negara-negara Barat, dan sekutunya di Asia di sisi lain juga membuat negara anggota ASEAN berjalan sendiri-sendiri dengan kebijakannya masing-masing.
Pengamat hubungan internasional Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dewi Fortuna Anwar, Jumat (1/9/2023), mengatakan, isu seperti perbatasan, soal keamanan, dan HAM masih dipandang sebagai isu tingkat tinggi yang sulit diukur pencapaiannya. Selain itu, setiap negara memiliki kepentingan sendiri-sendiri yang belum bisa dikelola oleh ASEAN sebagai sebuah kerja sama.
Dia mencontohkan Filipina yang telah memiliki kerja sama pertahanan dengan AS sejak jauh sebelum ASEAN terbentuk. Begitu juga dengan negara-negara persemakmuran di bawah Inggris.
Baca Juga: Perang Dingin di Halaman ASEAN
Duta Besar Inggris untuk ASEAN Sarah Tiffin, dalam wawancara dengan Kompas di Jakarta, Kamis (31/8/2023), mengatakan, dalam pandangan negaranya, pengadaan kapal selam bertenaga nuklir dalam kerangka AUKUS adalah bagian dari upaya menjaga kestabilan kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak potensi. Untuk itulah, Inggris memutakhirkan kebijakan luar negerinya dengan mengalihkan pandangan ke timur dan selatan.
Meski ada kerja sama keamanan, dalam hal ini AUKUS, Tiffin mengatakan, sektor keamanan bukan titik berat negara mereka di Indo-Pasifik. Inggris memandang keamanan rantai pasok di kawasan ini sangat penting. Walau begitu, Inggris tidak akan meniru AS yang mendirikan berbagai pos militer di Indo-Pasifik atau China.
Dewi mengatakan, meski sejatinya ASEAN berdiri karena didasari situasi keamanan (geopolitik pada era 1960-an), para pelakunya saat ini memilih yang paling mudah untuk mendorong kebersamaan antarnegara anggota, yakni ekonomi. Mau tidak mau, inilah yang pada akhirnya menjadi faktor pendorong “kesatuan” ASEAN.
Ekonomi
Tidak heran, agenda pembahasan soal ekonomi lebih mengemuka dibandingkan dengan soal isu keamanan, demokrasi, dan HAM. Agenda pembahasan pandangan ASEAN di Indo-Pasifik dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Ke-43 ASEAN pun bernada sama. Mayoritas adalah pembahasan mengenai persoalan ekonomi, seperti perdagangan dan investasi hingga pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Beberapa agenda mengenai masalah perlindungan pekerja migran sudah menjadi bahasan bersama. Usulan lain yang perlu didiskusikan bersama adalah akses asuransi perlindungan tenaga kerja universal, dalam hal ini BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja yang digunakan di Indonesia.
Baca Juga: ASEAN Bisa Menua Sebelum Kaya
Timboel Siregar, anggota BPJS Watch, dalam pertemuan masyarakat sipil di Jakarta, awal Agustus lalu, menyebut, Indonesia dan negara-negara ASEAN harus mulai merundingkan kemungkinan pemanfaatan iuran yang dibayarkan para pekerja secara lintas batas. Sebab, selama ini, para pekerja migran Indonesia belum mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan apabila terjadi sesuatu pada diri mereka saat bekerja di luar negeri meski mereka secara aktif membayar iuran perlindungan ketenagakerjaan. ”Manfaat terhenti ketika mereka berada di wilayah negara lain,” katanya.
Soal rencana pengembangan ekosistem kendaraan listrik juga hampir pasti akan mendapat banyak sorotan di tengah meningkatnya gairah menggunakan kendaraan listrik berbasis baterai (battery electrified vehicle/BEV). Kendaraan ini diklaim mengurangi polusi udara karena tidak menghasilkan gas buang atau gas rumah kaca sehingga ramah lingkungan.
Negara-negara Asia Tenggara bersepakat mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik yang komprehensif di kawasan. Peluang investasi yang saat ini baru dinikmati segelintir negara ASEAN akan diiringi dengan penguatan rantai pasok regional agar turut menguntungkan semua negara anggota.
Baca juga : Perdagangan Internal ASEAN Stagnan
Indonesia berharap mendapatkan berkah dari ekosistem ini karena keunggulan komparatif di kawasan sebagai pemilik pasokan cadangan nikel terbesar dunia atau setara 21 persen dari total cadangan global. Apalagi, Indonesia kini sedang mengembangkan industri baterai listrik di dalam negeri. Dengan penguatan rantai pasok regional, Indonesia bisa memasok hasil produksinya ke negara ASEAN lainnya yang memproduksi kendaraan listrik.
Namun, negara anggota ASEAN sangat beragam. Ada beberapa negara di kawasan yang dinilai belum cukup berdaya saing untuk mengembangkan industri kendaraan listriknya sendiri, apalagi menembus rantai pasok global (Kompas, 2 September 2023).
Daniel Gonzalez, COO Stellantis untuk ASEAN, mengatakan, yang perlu diperhatikan oleh negara-negara ASEAN adalah membentuk ekosistem yang membuat industri otomotif bisa bersaing sehat satu sama lain. Bagi industri, kompetisi yang terpenting karena ekosistem yang sehat akan memberikan keuntungan bagi konsumen juga. Dia mencontohkan, perusahaannya tidak akan mengirimkan tiga produk yang sama untuk semua negara, tetapi akan mengirimkan atau memproduksi kendaraan yang sesuai dengan karakteristik konsumen serta kondisi alamnya.