Tahun 2022 ditutup dengan keberhasilan Indonesia menyelenggarakan perhelatan KTT G20. Pada tahun 2023, giliran Indonesia membenahi halaman depannya, ASEAN dan Laut China Selatan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Tahun 2022 dipandang sebagai tahun yang bisa menentukan arah dunia. Upaya dunia internasional untuk pulih dari efek pandemi yang merusak, tak mudah. Kata berbalas kata berubah menjadi konflik terbuka. Aksi pun berbalas aksi. Hal ini yang terjadi di Ukraina. Sebentar lagi, invasi Rusia ke negara itu akan berumur satu tahun.
Persaingan, kata berbalas kata, dan aksi berbalas aksi tidak hanya terjadi di Eropa sana. Di Asia, hal itu bisa dilihat di Semenanjung Korea, Selat Taiwan, dan di halaman depan Indonesia, Laut China Selatan. Beruntung sejauh ini para pihak masih mampu menahan diri, meski harus diakui intensitasnya semakin tinggi dan mengkhawatirkan.
Di dunia yang semakin terhubung dan saling tergantung ini, setiap pernyataan, sentimen, dan tindakan akan berpengaruh terhadap yang lain. Perang di Ukraina telah menghentikan pasokan gandum yang dibutuhkan sejumlah negara di Afrika, yang mayoritas membutuhkannya untuk dijadikan roti, makanan pokok warga benua itu. Perang telah membuat harga-harga bahan kebutuhan pokok naik.
Perang juga telah membuat pasokan gas ke sejumlah negara Eropa terhenti, menyebabkan tagihan bulanan warga di banyak negara semakin tinggi, sementara kenaikan gaji tak seberapa.
Perang juga membuat negara-negara maju berpikir untuk sementara waktu dalam melaksanakan transisi ke energi terbarukan. Penggunaan batubara, yang disebut kalangan aktivis lingkungan sebagai sumber energi kotor, dimulai kembali untuk menyiasati kekurangan energi.
Masalah tak hanya terjadi jauh di seberang sana. Di halaman depan, tidak jauh dari wilayah teritorial Indonesia, terjadi persaingan antarnegara adidaya. Aroma persaingan berembus hingga ke Asia Tenggara dan bahkan hingga ke Pasifik Selatan. Tidak hanya itu, keinginan Australia untuk memiliki teknologi kapal selam bertenaga nuklir juga membuat situasi di kawasan menjadi semakin tidak menentu.
Masalah tak hanya terjadi jauh di seberang sana. Di halaman depan, tidak jauh dari wilayah teritorial Indonesia, terjadi persaingan antarnegara adidaya.
Belum lagi di halaman sendiri, persoalan juga tidak kalah serius. Sebut saja kudeta militer Myanmar yang sudah berlangsung hampir dua tahun, belum selesai. Keengganan dan penolakan junta militer Myanmar membuat ASEAN dianggap tidak mampu menangani persoalan rumah tangganya sendiri.
Masalah Myanmar pun berkelindan dengan masalah pengungsi Rohingya yang kembali datang di Indonesia. Ratusan pengungsi Rohingya mendarat kembali di Aceh dalam dua tahun terakhir setelah sempat ”tenang” selama beberapa waktu terakhir.
Dalam dua keketuaan ASEAN terakhir, Brunei Darussalam dan Kamboja, tidak hanya warga ASEAN yang kecewa dengan performa kedua negara itu. Masyarakat internasional juga menyatakan hal yang sama. Kedua negara tersebut tampak kesulitan mengajak junta untuk patuh pada lima poin konsensus yang dihasilkan dalam pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta, April 2021. Hanya berselang beberapa jam setelah pertemuan itu bubar, junta menyatakan menolak melaksanakan lima poin konsensus tersebut dan akan menggunakan caranya sendiri untuk membangun kembali ”kehidupan demokrasi” di Myanmar.
Indonesia, yang mendapat giliran keketuaan ASEAN tahun 2023, menjadi tumpuan harapan banyak pihak untuk bisa membantu rakyat Myanmar ke luar dari situasi pelik saat ini. Begitu juga dengan harapan jutaan warga minoritas Rohingya yang saat ini berada di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.
Pilihan Kementerian Luar Negeri untuk memfokuskan diri ”membenahi halaman depannya” adalah pilihan yang bijaksana mengingat Indonesia dipandang sebagai pemimpin tradisional masyarakat ASEAN. Kemampuan diplomat Indonesia untuk menembus kebuntuan di tengah situasi pelik antara Amerika Serikat dan sekutunya di satu sisi dan Rusia di sisi lain pada masa presidensi G20 tahun 2022 memberikan modal awal yang memadai untuk membenahi masalah ”rumah tangga ASEAN”, khususnya Myanmar.
Tak hanya Myanmar yang harus menjadi fokus Indonesia. Kode tata berperilaku di Laut China Selatan menjadi pekerjaan rumah yang juga harus diselesaikan, yang pada dua keketuaan sebelumnya tampak terabaikan. Kode tata berperilaku itu adalah norma yang nantinya bisa menjadi pegangan bagi semua pihak yang berkepentingan di Laut China Selatan untuk bertindak sesuai dengan norma hukum internasional, dalam hal ini Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Pada saat yang sama, Indonesia dan negara-negara mitra bisa berkolaborasi, menjaga agar konflik di bagian dunia yang lain, tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian kawasan dan lebih mikro, terhadap warga. Posisi yang sudah diperoleh Indonesia dalam forum internasional bisa dimanfaatkan menjadi modal. Modal untuk mencegah berulangnya konflik dan—lebih jauh—menghentikan konflik serta perang, yang merugikan, tidak hanya warga di negara lokasi konflik, tetapi juga dunia pada umumnya.