Bergoyang bersama Taylor Swift, Menyelami Karya-karya Sastra Lawas
Lirik-lirik lagu Taylor Swift sarat cuplikan karya sastra lawas yang menarik untuk dikaji mendalam. Untuk itu, beberapa kampus di AS dan Eropa membuka kuliah Swifterature atau Sastra Taylor Swift.
Cuplikan-cuplikan karya sastra, mulai dari novel berjudul Alice in Wonderland, The Great Gatsby, Rebecca, hingga Jane Eyre, berserak—tersurat ataupun tersirat—dalam lagu-lagu penyanyi dan penulis lagu Taylor Swift. Pada lagu ”Wonderland” dan ”Long Story Short”, misalnya, ada ungkapan ”jatuh ke lubang kelinci”. Kata-kata ini mengacu pada novel Lewis Carroll tahun 1865, Alice’s Adventure in Wonderland.
Di kalangan sebagian akademisi di Amerika Serikat dan Eropa, lirik-lirik lagu Swift bisa menjadi jalan masuk untuk menarik minat publik, terutama generasi milenial, pada karya-karya sastrawan hebat sepanjang masa, seperti William Shakespeare, Charlotte Bronte, Geoffrey Chaucer, dan William Thackeray. Apalagi, jumlah penggemar Swift mencapai sekitar 500 juta orang di seluruh dunia.
Baca juga : Taylor Swift dan Senandung Imajinasi Pandemi
Oleh karena itu, sejak tahun lalu, banyak kampus di Amerika Serikat dan Eropa, seperti Universitas Stanford, Universitas New York, Sekolah Tinggi Musik Berkeley, Arizona State University, Universitas Rice, dan Queen Mary University, membuka mata kuliah khusus, Swifterature atau sastra Taylor Swift. Setelah mengajar kelas atau mata kuliah puisi dan prosa, Elly McCausland, asisten profesor di Universitas Ghent, Belgia, juga membuka kelas khusus sastra baru Swifterature mulai September 2023.
Mata kuliah ini akan menggali lebih dalam akar sastra Swift, sekaligus mempelajari kumpulan karya sastra yang membentuk lirik lagu-lagunya. McCausland menilai lagu-lagu Swift bisa digunakan untuk mempelajari kehebatan karya sastra Inggris sekaligus mengeksplorasi, misalnya, tema feminisme melalui lagu ”The Man” dan tema antipahlawan dalam lagu ”Anti-Hero” pada album tahun 2022, Midnights. Swift juga mengacu pada karya beberapa penulis lain, termasuk Charles Dickens dan Emily Dickinson.
Ide membuka mata kuliah Sastra Taylor Swift berawal setelah McCausland mendengarkan lagu ”The Great War”. Ia tahu betul kekuatan lagu-lagu Swift. Mata kuliah Swifterature, menurut McCausland, adalah cara untuk membuat pembelajaran sastra menjadi lebih menarik.
Dalam mata kuliahnya nanti, McCausland akan menggunakan lagu-lagu Swift untuk masuk ke dunia sastra, mulai dari periode Abad Pertengahan hingga Zaman Victoria, termasuk Troilus and Criseyde karya Geoffrey Chaucer, The Tempest karya Shakespeare, dan Villette karya Charlotte Brontë, serta karya penulis kontemporer seperti Margaret Atwood dan Simon Armitage.
Dalam mata kuliahnya nanti, McCausland akan menggunakan lagu-lagu Swift untuk masuk ke dunia sastra, mulai dari periode Abad Pertengahan hingga Zaman Victoria.
”Sastra Inggris bukan sekadar kumpulan buku-buku lama dari masa lalu yang tersimpan di perpustakaan. Tetapi, sastra adalah sesuatu yang hidup, bernapas, serta terus berkembang dan berubah,” kata McCausland, peraih gelar sarjana Sastra Inggris dan magister Sastra Inggris Abad Pertengahan dari Universitas Oxford serta gelar PhD dari Universitas York di Inggris.
Baca juga : Taylor Swift, ”Anti-Hero”, dan Citra Diri
Mendapat inspirasi dari karya sastra untuk menyusun lagu sebenarnya tak hanya dilakukan Swift. Banyak lagu grup K-pop, BTS, juga mengutip karya-karya sastra milik Haruki Murakami dan Hermann Hesse. Begitu pula dengan The Beatles, U2, Genesis, Sting, Metallica, Rolling Stones, Led Zeppelin, Nirvana, dan David Bowie.
Banyak peminat
Akan tetapi, ide membuka kelas atau mata kuliah khusus selebritas tertentu baru ramai dilakukan akhir-akhir ini karena peminatnya sangat besar. Mata kuliah Swifterature yang dibuka McCausland kebanjiran peminat bukan hanya dari Universitas Ghent, melainkan juga dari kampus-kampus lain.
Selain itu, banyak pula respons didapat McCausland melalui pesan pribadi di akun Instagram-nya. Ada yang ingin ikut kuliah. Ada juga yang mengkritisi McCausland dan mempertanyakan manfaat menggunakan lagu-lagu Swift di pendidikan tinggi.
Nada skeptisisme seperti itu dulu pernah dihadapi penyanyi dan penulis lagu Bob Dylan ketika memperoleh penghargaan Nobel Sastra pada 2016. ”Swift sering menyinggung teks sastra dalam musiknya. Dengan memanfaatkan karya Swift sebagai batu loncatan, kita akan mengeksplorasi topik-topik seperti feminisme sastra, studi jender, ekokritik, studi penggemar, dan kiasan seperti antipahlawan,” demikian silabus Swifterature.
Di Arizona State University, karya Swift tidak hanya dikaji dari sisi lirik, tetapi juga sampai pada muatan atau cerita lagunya dari sisi psikologi. Mata kuliah yang dibuka berjudul Psikologi Taylor Swift-Topik Lanjutan Psikologi Sosial. Kuliah unik ini menggali tema-tema yang ada dalam karya Swift, seperti balas dendam, trauma, dan kecemasan yang kemudian dihubungkan dengan teori-teori psikologi.
Baca juga : Pahlawan Itu Bernama Taylor Swift
Pengajar kuliah tersebut, Alexandra Wormey, mengutip album lagu Swift, Reputation (2017). ”Para mahasiswa tahu soal ini, tetapi apakah mereka tahu kenapa orang suka balas dendam? Bagaimana cara balas dendam? Jika belajar psikologi sosial, mereka bisa menjawab (pertanyaan-pertanyaan) ini,” ujarnya kepada CNN.
Gaya tulisan
Menurut McCausland, kemampuan Swift dalam menulis lagu yang kreatif juga menarik dipelajari karena ia beralih macam-macam gaya. Lirik-liriknya sangat pribadi, mencerminkan pengalamannya yang lengkap. Atas dasar itu, McCausland menjadikan Swift sebagai penulis yang sempurna untuk dieksplorasi.
”Saya ingin siswa menyadari media yang mereka konsumsi sehari-hari, baik itu musik, Netflix, podcast, Tiktok, atau apa pun, saya ingin mereka memikirkannya dengan cara yang sama seperti mereka memikirkan topik yang mereka pelajari,” ucap McCausland kepada harian The Guardian, 13 Agustus 2023.
Swift pernah menceritakan gaya dan proses menulis lagunya ketika menerima penghargaan Penulis Lagu-Artis Terbaik Satu Dekade dari Asosiasi Internasional Penulis Lagu Nashville pada 2022. Majalah Rolling Stone pernah memuat pidato lengkapnya pada 20 September 2022.
Baca juga : Taylor Swift Mendapat Gelar Doktor Kehormatan dari NYU
Swift membagi proses kreatifnya dalam menulis lirik menjadi tiga genre imajinatif, yakni lirik Quill, lirik Fountain Pen, dan lirik Glitter Gel Pen. Kategori ini dibuatnya berdasarkan alat tulis apa yang dibayangkan ada di tangannya ketika dia menulis lirik.
Swift membagi proses kreatifnya dalam menulis lirik menjadi tiga genre imajinatif.
Dalam lirik-liriknya yang memakai Quill atau bulu ayam, kata-kata dan frasanya kuno karena Swift menulis liriknya setelah membaca novel karya Charlotte Bronte atau setelah menonton film di mana semua orang memakai kemeja penyair dan korset. ”Jadi, liriknya terdengar seperti surat yang ditulis nenek buyut Emily Dickinson sambil menjahit tirai renda. Itu ketika saya menulis dalam genre Quill,” ujar Swift yang baru kali itu membeberkan rahasia menulisnya.
Adapun untuk genre Fountain Pen, lirik-liriknya lebih banyak menggunakan referensi modern dengan sentuhan puitis dan melukiskan situasi yang ada di sekitar. ”Tempatkan dirimu dan siapa pun yang mendengarkan tepat di ruangan tempat semua itu terjadi. Cinta, kehilangan, semuanya. Lagu-lagu yang saya kategorikan dengan gaya ini terdengar seperti pengakuan yang ditulis dan disegel dalam amplop, tetapi terlalu jujur untuk dikirimkan,” ungkap Swift yang sudah menulis lagu dan ikut sesi menulis bersama puluhan penulis sejak remaja.
Sementara untuk kategori ketiga, lirik dengan Glitter Gel Pen, lebih berwarna riang dan ceria. Lirik ini tidak peduli jika tidak ditanggapi serius karena memang tidak serius. Meski begitu, lirik-lirik seperti itu tetap penting karena sesekali diperlukan di masa-masa sulit.
”Lagu yang bagus membawamu ke perasaanmu yang sebenarnya dan menerjemahkan perasaan tertentu untukmu. Lagu yang bagus juga akan tetap bersamamu meski orang atau perasaan kita sudah tidak menyukainya. Saya suka menulis lagu karena itu adalah panggilan bagi saya,” tutur Swift.
Bahan ajar selebritas
Swift bukan penyanyi pertama yang karya-karyanya menarik perhatian kalangan akademisi. Pada 2016, Universitas Texas pernah membuka mata kuliah yang membongkar album visual Beyonce, Lemonade, dan hubungannya dengan feminisme kulit hitam. Pada tahun berikutnya, Universitas Kopenhagen juga menawarkan mata kuliah ”Beyonce, Jender dan Ras”. Begitu pula dengan Rihanna.
Bahkan, Guru Besar Sastra Inggris Universitas Texas Elizabeth Scala juga pernah selama beberapa tahun menggunakan buku serial Harry Potter sebagai landasan kelas bahasa Inggris untuk memperkenalkan penulisan, penelitian, dan analisis kepada mahasiswa. Scala juga mengajarkan puisi Shakespeare melalui cara yang bisa diterima anak muda, yakni budaya pop, termasuk karya Swift, untuk menarik minat generasi Z.
Baca juga : Fenomena “Ticket War”
Mata kuliah Scala berjudul The Taylor Swift Songbook. Ini hanya salah satu dari sekian banyak mata kuliah yang sudah menarik perhatian selama bertahun-tahun karena menggunakan budaya pop dan selebritas sebagai media untuk mengajarkan mahasiswa tentang segala hal, mulai dari sosiologi hingga feminisme. Ada juga mata kuliahnya yang mempelajari selebritas lain, seperti Beyonce, Lady Gaga, Miley Cyrus, dan Hakim Judy.
Mahasiswa-mahasiswa Scala di kelas Swifterature—hampir semuanya ikut kuliah karena fans Swift—bersemangat mengikuti mata kuliah itu dan mudah menyerap konsep-konsep yang berkaitan dengan karya idola mereka. Mereka, misalnya, dengan cepat mencari makna kata ”indelible” dan ”vigilante” yang muncul dalam wawancara Swift atau di media sosial. Akan tetapi, sulit juga untuk menahan mahasiswa agar tidak menggunakan informasi biografi tentang Swift, seperti hubungan masa lalunya dan kehidupan keluarganya, sebagai lensa untuk menafsirkan liriknya.
Ketua Institut Musik Rekaman Clive Davis, New York University, Jason King, menilai para kritikus sering salah memahami pentingnya mempelajari selebritas. Kelas-kelas seperti itu bukan hanya mempelajari selebritasnya, tetapi juga menggunakannya untuk memahami, misalnya, musik pop atau bahkan lebih luas lagi, kondisi masyarakatnya seperti apa di masa seorang selebritas menjadi terkenal.
Dia mencontohkan kelas Stevie Wonder yang dibuka di kampus tersebut. Kelas ini berfokus pada bagaimana penyanyi dan penulis lagu berkulit hitam hidup pada tahun 1960-an dan 1970-an serta memiliki lebih banyak kebebasan untuk menulis dan menampilkan berbagai jenis musik.
”Ini bukan soal selebritasnya, meski tentu saja itu aspek yang penting. Namun, ini lebih tentang artis-artis yang telah memberikan pengaruh besar melalui musik mereka. Dengan mempelajari artis-artis itu, mahasiswa bisa belajar untuk berpikir secara lebih makrokosmik tentang peran artis-artis itu dalam masyarakat,” papar King kepada Variety, 2 Februari 2022.
Baca juga : Keterwakilan Perempuan Musisi Grammy Awards 2021
Guru Besar di Universitas California, Rob Wilson, pengajar mata kuliah pengantar sastra ”Bob Dylan sebagai Penyair: Dari Pahlawan Rakyat hingga Mesias Listrik”, memahami alasan para akademisi menggunakan artis yang lebih dikenal oleh mahasiswa untuk mengajari konsep-konsep baru. Cara itu memang sangat berguna.
Penting bagi anak muda untuk bisa diberdayakan secara kreatif melalui karya-karya yang mereka bedah di kelas, lalu mereka bisa menuangkannya ke dalam tulisan dan kajian analisis yang mendalam. ”Ini perasaan yang saya alami sendiri ketika menulis tentang Dylan yang pertama kali saya dengar di SMA,” ujar Wilson. (AFP)