Taylor Swift, ”Anti-Hero”, dan Citra Diri
Apa yang terlihat di permukaan kadang menipu. Taylor Swift lewat album barunya berkisah jujur tentang kerapuhan. Bahwasanya, rapuh itu manusiawi dan niscaya.
Menutup tahun 2022, musisi Taylor Swift kian tak terhentikan. Memasuki usianya yang ke-33 tahun pada 13 Desember lalu, Swift justru disebut-sebut memberikan petunjuk mengenai proyek barunya untuk 2023. Alih-alih merayakan dengan makan malam mewah atau berpesta, Swift menunjukkan ulang tahunnya dihabiskannya di dalam studio bersama produsernya, Jack Antonoff.
Aneka spekulasi pun bermunculan dari penggemarnya di jagat maya. Sejauh ini, para swifties memperkirakan idolanya ini akan merekam ulang album yang sudah rilis, seperti yang dilakukannya sepanjang 2022 ini untuk album Red dan album Fearless. Bahkan, salah satu lagunya, ”All Too Well” dari album Red dihadirkan kembali dalam bentuk film pendek yang disutradarai sendiri oleh Swift.
Benar atau tidak? Rekam ulang atau album baru? Karya dari Swift memang layak disimak. Album terbarunya bertajuk Midnight yang rilis pada Oktober 2022 bahkan memecahkan sejarah tangga lagu Billboard. Tidak cukup menempatkan single ”Anti-Hero” di puncak tangga lagu Billboard Hot 100, lagu lainnya di album barunya itu berurutan mengisi posisi 10 besar. Swift disebut mengungguli Michael Jackson dan The Beatles sepanjang 64 tahun keberadaan tangga lagu prestisius ini. Fantastis!
Dari catatan Billboard, Michael Jackson menempatkan tujuh lagunya pada jajaran 10 besar tangga lagu melalui album Thriller. The Beatles menempatkan lima lagu pada 1964. Rekor Jackson dan The Beatles ini sempat dipatahkan Drake pada 2021 dengan memosisikan sembilan lagunya di daftar Top 10. Namun, Swift melampauinya dengan dominasi 10 lagu sekaligus pada peringkat 10 besar.
Jika ditilik lebih lanjut, Swift jauh lebih berkembang dibandingkan dengan ketika debut dengan alunan musik country melalui album bertajuk Taylor Swift (2006). Selain musikalitas, kedewasaannya dan keberaniannya mengungkap sisi lain dari dirinya berdampak pada lirik dan aransemen yang dihasilkan. Album Midnight yang terang-terangan membongkar kerapuhan Swift nyatanya digemari karena dianggap para pendengar relevan dengan masing-masing hidup mereka.
Sebelumnya, deretan lagu Swift didominasi lagu manis tentang jatuh cinta dan harapan bertemu dengan pangeran hati. Khas remaja muda yang kasmaran. Beranjak ke album Red (2012) yang dirilis ketika dirinya berusia 22, Swift mencoba jujur dengan banyak berkutat pada pengalaman kisah cintanya yang pahit dengan beberapa artis dan musisi. Sayangnya, Swift justru dilabeli sebagai playgirl karena dinilai kerap berganti pasangan. Padahal, didengar lebih saksama, curhatan Swift dalam rentetan album itu memiliki makna yang tak sekadar rutukan perempuan patah hati.
Begitu pula ketika dirinya merilis album 1989 (2014) yang kental dengan pencitraan diri yang kuat sebagai perempuan, persepsi terhadap dirinya tidak serta-merta berubah. Pandangan misogini terhadap dirinya tetap berlanjut. Seberapa keras dirinya berupaya, tetap saja tak mengubah pandangan orang-orang, terutama yang kadung membencinya. Ini pula yang menginspirasinya mengeluarkan lagu ”Shake It Off”. The haters gonna hate, hate, hate.
Transformasinya berlanjut di album Reputation (2017) dan Lover (2019), seiring juga dengan aktifnya Swift terhadap isu sosial. Antara lain, isu feminisme dan kesehatan mental yang kemudian seolah menjadi benang merah bagi beberapa albumnya yang rilis di tengah pandemi, yakni Folklore (Juli 2020), Evermore (Desember 2020), rekam ulang Red dan Fearless (2021), dan Midnight.
Rekam ulang yang dilakukannya pada album Red yang sudah berumur satu dekade ini merupakan langkah tepat. Pengetahuan dan pemahaman yang berkembang belakangan ini terkait kesehatan mental dan isu feminisme memudahkan lagu-lagunya dimaknai ulang dan mengungkap selubung di balik lirik lugasnya. Sekaligus menguatkan keaktifannya pada isu sosial. Pemaknaan lirik ini dipelajari juga di New York University menjadi salah satu mata kuliah khusus.
Feminisme dan kesehatan mental
Dari ”I Knew You Were Trouble”, ”We Are Never Ever Getting Back Together”, ”All Too Well”, hingga ”Treacherous” menunjukkan adanya manipulasi pasangan yang tak mudah untuk lepas dari jeratannya. Padahal, manipulasi yang tanpa disadari itu sesungguhnya masuk bentuk kekerasan dalam hubungan. Dibalut kata cinta yang berbunga-bunga dan janji manis, perempuan yang berangan-angan kisah cinta manis bak dongeng pun mudah terjerumus. Terlebih lagi, mereka yang masih muda dan teperdaya popularitas si pria yang berubah menjadi jaring kuasa beracun.
Swift pun makin gencar menyuarakan isu feminisme, termasuk perlawanan terhadap kekerasan seksual. Apalagi, pada 2017, Swift menjadi korban kekerasan seksual atas perbuatan seorang disc jockey, David Mueller. Dalam perjalanan kasusnya, Swift sempat dilaporkan balik oleh Mueller hingga akhirnya pengadilan memutuskan Mueller bersalah.
”Saya hanya ingin para perempuan di luar sana yang mengalami kekerasan berani bersuara. Saya akan terus berupaya,” kata Swift seusai sidang dan dirinya pun berkomitmen untuk berdonasi kepada organisasi yang membantu korban kekerasan seksual untuk memperoleh keadilan.
Suaranya melawan segala macam kekerasan seksual dan kekerasan dalam hubungan masih juga berhadapan dengan para misogini yang lagi-lagi menyalahkan perempuan atas nasibnya. Swift pun dianggap hanya ingin mendongkrak publisitas lewat aksinya itu. Padahal, jelas Swift pernah menjadi korban kekerasan, bahkan manipulasi dalam hubungan ketika dirinya masih belia.
Bertepatan dengan pandemi, Swift seakan memanfaatkan momentum. Dua album keluar sekaligus pada 2020. Isinya lebih mendalam dan perlahan mulai membuka rapuhnya seorang Swift. Di saat yang bersamaan, dokumenter Miss Americana yang tayang di Netflix pada tahun yang sama juga menunjukkan sisi lain Swift yang selama ini enggan diungkapnya.
Body dysmorphia, gangguan makan, hingga depresi yang dialami peraih tiga kali Grammy Award untuk kategori album of the year ini dituturkan. Serangan para misoginis di internet dan segala pandangan yang menjatuhkannya cukup berpengaruh juga pada mentalnya dan menyebabkan episode depresi yang berulang.
”Kalau orang memiliki waktunya sendiri, aku pun begitu. Pandemi dan kondisi yang kuhadapi justru membuatku lebih produktif. Apalagi, ketika yang kukerjakan ini bentuk kejujuran dari diriku, rasanya tak ada masalah mengerjakan dua album sekaligus dalam tahun yang sama,” tutur Swift dikutip dari New York Times.
Puncaknya pada album Midnight. Dua lagu dari album ini, yakni ”Anti-Hero” dan ”Bejeweled” telah rilis videoklipnya. Selain lirik, presentasi dari videoklip dua lagu tersebut cukup untuk mengenali Swift yang nyatanya rapuh. Apabila pada era 1980-an hingga 2000-an, para bintang pop khususnya yang perempuan selalu mencirikan sebagai perempuan kuat, seperti Madonna, Cindy Lauper, dan Kylie Minogue. Swift pun pernah mencitrakan diri demikian. Ciri perempuan harus selalu terlihat baik-baik saja dan menyimpan perasaannya ini lama kelamaan menjadi beracun. Kini, masa berganti.
Ya, perempuan perlu untuk kuat, tetapi tak masalah juga mengakui tidak baik-baik saja. Tiap perempuan memiliki kekhawatiran dan kecemasannya masing-masing. Mereka juga punya problema yang bisa membuatnya jatuh dan kemudian bangkit, tapi bukan berarti harus terus terlihat bertameng baja dan rutin menjawab ”aku enggak apa-apa”.
Merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perempuan lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan mental, seperti depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan pola makan. Penelitian dari University of Manchester juga menunjukkan, 73 persen perempuan muda pernah menyakiti dirinya sendiri setidaknya sekali.
Untuk itu, rapuh sesungguhnya manusiawi. Apalagi, di tengah kondisi serba cepat dengan media sosial yang membuat orang berlomba untuk terlihat paling keren, perlu sebuah langkah untuk menarik siapa pun kembali pada dunia nyata. Terlebih lagi untuk para perempuan yang kerap merasa khawatir dengan penampilan sehingga berujung tidak mencintai diri sendiri. ”Anti-Hero” milik Swift seolah mengajak para perempuan menyadari pentingnya mencintai diri demi kesehatan mental yang baik. Lagu ini juga ingin mematahkan perspektif orang-orang yang menilai Swift tak konsisten dengan apa yang disuarakannya.
Berkulit putih, cantik, dan berpenampilan seksi merupakan privilese yang kerap disebut orang dimiliki Swift. Dengan privilese itu, Swift dinilai tak pantas berkampanye tentang mencintai diri dan kesehatan mental. Hingga akhirnya, ia memilih membuka dirinya. Bagaimana ia terobsesi memiliki tubuh seksi dan sempurna? Bagaimana ia ingin selalu terlihat menarik? Bagaimana ia ingin membuat semua orang menyukainya? Sampai ia menyadari, masalahnya adalah dirinya sendiri. ”I'm the problem, it's me," bunyi sepenggal lirik ”Anti-Hero”.
”Sekarang, aku memilih untuk lebih sadar dengan apa yang aku jalani. Sehat fisik dan mental jauh lebih penting. Aku paham banyak hal yang tak bisa aku kendalikan. Aku dan pikiranku lah yang bisa aku kendalikan. Bahagia itu saat kita bisa terbuka dan menerima diri kita apa adanya. Aku berharap ini bisa membantu mereka untuk mau menerima diri apa adanya,” ungkapnya yang sedang menyiapkan film pendek lagi untuk tahun depan.
Dengan mencintai diri sendiri dan berani memutuskan yang terbaik bagi diri sendiri, semuanya jauh lebih mudah dijalani. Apalagi, ketika bersiap menghadapi tahun baru.